|
SUARA KARYA, 24 Mei 2013
Salah satu cita-cita agung Negara
Indonesia adalah menegakkan jangkar keadilan dan kesejahteraan secara
menyeluruh bagi rakyatnya. Sebagaimana termaktub pada sila kelima Pancasila,
"Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia." Hal ini bertujuan untuk
menciptakan kehidupan masyarakat yang sejahtera secara menyeluruh, tanpa ada
disparitas apa pun dalam menikmati kemerdekaan. Juga, ada diskriminasi apa pun
antara yang satu dengan yang lainnya.
Tetapi, keinginan tersebut rupanya
masih menjadi sebatas cita yang belum bisa direalisasikan dalam kehidupan. Hal
ini dapat dibuktikan dengan realitas angka kesenjangan hidup yang kian
melambung. Kesejahteraan di negeri ini hanya bisa dinikmati oleh segelintir
orang. Yaitu, gerombolan mafia 'beruang' yang sibuk membangun istana palsu sebagai
pesolek politik yang bergincu. Mereka adalah para pejabat pemuja harta dan
kuasa yang piawai melakukan praktik-praktik kolutif dan koruptif. Apalagi,
melihat peran hukum yang tampak begitu lamban ketika berhadapan dengan
perkara-perkara yang melibatkan elite politik, hingga menyebabkan 'tikus-tikus
berdasi' semakin bebas melakukan aksi terlarangnya. Sementara rakyat jelata
semakin tak terurusi dan kian limbung dalam berbagai kesengsaraan dan persoalan
krusial. Seperti, lilitan kemiskinan, pengangguran, premanisme, konflik
horizontal dan lain sebagainya. Mereka seakan terabaikan dari tujuan
kesejahteraan berbangsa dan bernegara.
Padahal, pada hakikatnya rakyat
merupakan subjek sekaligus objek utama yang harus disejahterakan. Apalagi,
dalam negara penganut sistem demokrasi seperti Indonesia tegas-tegas dinyatakan
bahwa kedaulatan tertinggi berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Namun, prinsip tersebut rupanya sudah mengalami perubahan, meminjam istilah
(Ali Rif'an 2013) subjek dan objek demokrasi telah bergeser menjadi 'dari saya,
oleh saya dan untuk saya'. Atau, dari kita, oleh kita dan untuk kita. Yaitu,
mereka yang tergabung dalam satu lingkaran kepentingan untuk mencari rente
individual atau kelompoknya. Sehingga, kesejahteraan yang sejatinya hak seluruh
rakyat, seolah hanya dapat dinikmati oleh para koruptor.
Sedangkan yang lebih
memprihatinkan lagi, barisan politisi yang dulunya gencar sekali
memproklamirkan slogan anti korupsi, saat ini malah menjadi komplotan utama
dari lingkaran hitam yang terjerat dalam euforia korupsi. Satu-per satu
anggotanya terseret dalam kejahatan kelas wahid tersebut.
Tentu fenomena seperti itu
sangatlah menarik sekaligus memalukan, mengingat semangat masa lalunya
meneriakkan retorika anti korupsi, setelah duduk di kursi empuk justru giat
melakukan praktik-praktik tak terpuji tersebut. Rakyat hanya bisa tersenyum iba
melihat sandiwara politik yang dimainkan oleh politikus yang telah lupa dengan
amanah dan kepercayaan rakyatnya. Padahal, sebagai pemimpin, seharusnya mereka
menjadi sosok yang dapat dijadikan teladan (uswah
hasanah) bagi rakyatnya.
Kondisi seperti ini memperkuat
asumsi masyarakat bahwa politikus negeri ini hanya pandai beretorika, namun tak
mampu menerjemahkan atau mengimbanginya dengan aksi nyata. Sehingga, tak ayal
jika kehidupan kita masih jauh dari harapan kesejahteraan. Entah sejauh mana,
pengaruh harta telah membutakan mata hati dan pikirannya. Sehingga jiwa abdi
dan asketisme hidup sangat jauh dari kehidupannya dalam menjalankan kewajiban
sebagai kepercayaan rakyat.
Ketegasan Hukum
Sejauh ini hukum masih tampak
lamban dan tebang pilih dalam mengadili sebuah persoalan. Ibarat dua belah mata
pisau yang hanya tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Atau ibarat bunglon yang
dengan mudah berubah warna, menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi. Hukum
tampak begitu tajam, garang dan tegas ketika berhadapan dengan persoalan kecil
yang melibatkan rakyat jelata. Namun secara otomatis bisa berubah menjadi
majal, lamban dan bertele-tele ketika dihadapkan dengan persoalan besar yang
melibatkan elit politik.
Lihat saja bagaimana hukum
memperlakukan AAL (15), pelajar SMKN 3 Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu
lalu yang dengan tegasnya di vonis penjara lima tahun karena mencuri sandal
seharga Rp 30.000, lalu bandingkan dengan bagaimana hukum menangani kasus
Century yang sampai saat ini tidak ada ujung pangkalnya.
Ini hanya salah satu dari sekian
contoh 'keadilan yang tidak adil'. Keadilan yang tidak sesuai dengan subtansi
dan keinginan rakyat. Di samping itu masih banyak lagi kasus lain yang cukup
menggelitik, seperti kasus Basar Suyanto dan Kholil, yang keduanya warga
Kediri, Jawa Timur, harus berurusan dengan polisi karena diketahui mencuri
sebuah semangka, disamping kasus-kasus yang lain.
Dalam karut-marutnya kehidupan
berbangsa dan bernegara, ketegasan hukum menjadi sangat penting. Hukum harus
mampu tegak di atas kaki sendiri tanpa tekanan dan intervensi dari pihak mana
pun. Hukum harus mampu mengadili setiap persoalan secara cepat dan tepat tanpa
pandang bulu.
Sesuai dengan asas equality before the law, yaitu kesamaan
kedudukan di depan hukum. Entah mau berhadapan dengan tukang becak, pemimpin
partai, atau presiden sekalipun harus memperlakukannya dengan sama. Agar
keadilan benar-benar tegak. Sehingga kesejahteraan hidup pun menjadi nyata.
Semoga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar