|
REPUBLIKA, 07 Mei 2013
Pada
Pemilu Legislatif 2009, terjadi kemerosotan kuantitas pemilih partai-partai
berbasis Islam. Kemungkinan bargaining
dan strategi politik partai Islam dengan partai berbasis nasionalis akan
dilakukan pada Pemilu 2014. Secara kontroversial, misalnya, bahkan Partai
Keadilan Sejahtera (PKS)
memperbolehkan caleg non-Muslim untuk wilayah timur Indonesia. Ini kemungkinan dalam rangka meminimalisasi kekalahan pada pemilu legislatif yang genderangnya sudah mulai ditabuh.
memperbolehkan caleg non-Muslim untuk wilayah timur Indonesia. Ini kemungkinan dalam rangka meminimalisasi kekalahan pada pemilu legislatif yang genderangnya sudah mulai ditabuh.
Dalam
beberapa kesempatan, para elite partai Islam melakukan komunikasi-komunikasi
politik untuk membuka berbagai kemungkinan pemenangan dan suksesi pemilu
legislatif. Dengan komunikasi itu, kemungkinan besar partai Islam akan
menggunakan strategi akomodatif-kooperatif, ketimbang eksklusivitas. Sisi
lain, sangat sulit di antara satu partai Islam dan partai Islam lain melakukan
reunifi kasi. Bukan hanya persoalan minimnya kuantitas perolehan suara dari
masing-masing, tapi juga terdapat celah perbedaan prinsipil yang pada akhirnya
tak memungkinkan satu sama lain untuk berkoalisi.
Dalam
ideologi dakwah partai Islam, misalnya, juga terdapat perbedaan di mana hal ini
memicu perbedaan yang tak mudah untuk disatukan. Ini menguatkan tesis Bassam
Tibi (1998) bahwa gerakan Islam politik sebenarnya tak memiliki kekuatan
domestik, karena satu dengan lainnya memiliki interes/ideologi politik yang
berbeda.
Dalam
sejarah politik Indonesia kontemporer, koalisi sesama partai politik berbasis
Islam memang tak bisa bertahan lama. Pada 1999, misalnya, saat itu koali si
partai-partai Islam yang tergabung dalam Poros Tengah tak bertahan lama.
Kepentingan politik di antara sekian partai yang berbasis Islam saat itu
cenderung pragmatis, tak bersifat permanen.
Perkembangan
politik partai-partai Islam sangat membuat miris, karena sebelumnya bersikap
optimistis bahwa akan memperoleh kenaikan suara, namun fakta politik berbeda.
Pada Pilpres 2009 tak ada satu pun tokoh dari partai Islam yang dicalonkan
sebagai capres.
Koalisi
yang bersifat top-down dari kekuatan
berbasis struktural yang mengerucut ke basis kultural dari partai Islam maupun
nasionalis sangat menguntungkan pada Pemilu 2014. Dalam pengertian, koalisi di
tingkat elite pada akhirnya nanti akan mengerucut secara sendirinya hingga ke
tingkatan akar rumput.
Dari sisi
itulah, blunder kekuatan massa akan tercipta menuai dukungan yang nyata.
Persenyawaan partai Islam-nasionalis pada Pilpres 2014 bisa benar-benar
efektif, manakala elite-elite struktural dari partainya bisa mencip- takan
simbol-simbol politik yang dapat menyinergikan dukungan massa.
Koalisi
itu di satu sisi jelas menguntungkan partai secara mutual, baik untuk partai
Islam maupun nasionalis. Manuver politik yang dilakukan elite partai untuk mendongkrak
dan mendapatkan dukungan signifi kan untuk momen pemilu nanti sangat baik untuk
memunculkan getaran politik di tengah-tengah masyarakat.
Di sisi lain, partai nasionalis tak boleh terlampau percaya diri atas apresiasi
dari sokongan partai Islam. Paling tidak, bagi partai nasionalis harus berekspansi
dan bekerja lebih keras, yakni harus bisa merangkul lebih jauh untuk menjadikan
para elite politik partai Islam benar-benar menjadi loyalis partai.
Sebab,
partai nasionalis (Liddle, 1997) hendaknya melakukan politik devout Muslims. Artinya, merangkul
elite-elite dari partai Islam, sehingga kemudian menjadi loyalis bagi partai
nasionalis. Langkah politik semacam itu pernah dilakukan Bung Karno pada
dekade 50-an. Saat dia berupaya mengambil langkah merangkul elite politik Islam
dengan cara soft politics.
Pola kooperatif
partai Islam dan nasionalis harus lebih ditempatkan pada hitungan yang lebih
matematis dan rasional. Memang, oleh sebagian pengamat, pola kooperatif
dianggap sangat strategis. Lahirnya pola kooperatif partai Islam-nasionalis
memiliki dampak positif. Paling tidak, pola itu menjadi sarana untuk
membongkar kebekuan bagi pemilih Islam dan nasionalis yang terjadi di akar
rumput.
Satu sisi
memang dianggap terlalu dini membicarakan suksesi pemilu soal pola kooperatif
antara partai Islam dan nasionalis. Tapi, di tengah fenomena di mana setiap
partai melihat potensi untuk meraih angka akuntabilitas, wacana itu menjadi
cambuk dan pelajaran bagi setiap partai, terutama bagi partai Islam.
Tampaknya
pola kooperatif partai Islam-nasionalis menjadi hal yang sangat logis.
Pentingnya strategi yang jitu harus dikeluarkan saat menjelang pemilu, demi
mencapai tujuan utama bagi partai politik, yakni mendapat bargaining politik
yang memadai. Karena boleh jadi, ideologi partai bisa saja tersingkirkan ketika
sudah berhadapan dengan bargaining politik.
Di samping
itu, tampaknya kini tak ada lagi dikotomi politik aliran. Koalisi yang dibangun
antarparpol kini buktinya terasa lebih cair. Partai Islam tanpa ragu merangkul
partai-partai nasionalis. Di tengah kemungkinan bahwa tak ada lagi sekat-sekat
pemisah antarparpol, maka yang diperlukan saat ini sebenarnya keberanian untuk
memutuskan siapa teman koalisinya.
Jika ada
zaman di mana partai Islam-nasionalis sangat terlihat `mesra', maka tampaknya
sekaranglah masa pematangan hubungan bagi partai Islam dan nasionalis.
Perubahan konstelasi kehidupan berpolitik ini menciptakan koalisi parpol yang
jauh lebih mudah antara nasionalis dan Islam. Ini memang lebih cenderung
bersifat pragmatis daripada ideologis. Tapi, hendaknya koalisi dibangun dengan
mempertimbangkan agenda politik yang memihak kepentingan umum, tak lagi
kepentingan sempit pribadi dan golongan.
Pola kooperatif
lebih tepat bicara tentang kesamaan program, bukan bagi-bagi kekuasaan semata.
Bagaimana program, visi, misi dalam membangun pemerintahan yang sama, yaitu
demi kepentingan bangsa. Karena itulah, agenda pola kooperatif partai
Islam-nasionalis harus diperjelas sedari awal. Tak hanya soal bargaining politik, tapi agenda yang lebih
penting lagi adalah membawa bangsa ini dari segala keterpurukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar