|
KOMPAS, 26 Mei 2013
Hampir sepanjang kehadirannya dalam
jagat penegakan hukum di Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selalu
menuai pujian sekaligus cercaan. Banyak yang memuji KPK sebagai lembaga penegak
hukum yang paling dipercaya dan paling memberi harapan.
Ada pula yang sering mencacinya dengan nada berang. Saya katakan “banyak” yang memuji dan “ada pula” yang mencaci karena memang jauh lebih banyak yang memuji daripada yang mencaci atau mencerca KPK. Akal sehat publik (public common sense) memuji dan berharap banyak kepada KPK, terlepas dari soal kritik-kritik kecil yang pasti tak terhindarkan. Menurut publik, KPK telah bekerja dengan lurus sesuai pesan sejarah atau latar belakang kelahirannya.
Yang mencerca KPK pada umumnya hanya mereka yang tersandung kasus korupsi di KPK atau kuasa hukum atau teman sekandang orang yang digelandang menjadi tersangka di KPK. Ada juga yang mencerca KPK karena tak sabar, menganggap KPK lamban, atau tidak berani menghadapi kekuatan politik tertentu, padahal tidak begitu. Menariknya, ada beberapa pengacara yang sangat keras menghantam KPK di depan publik mengaku kepada saya bahwa mereka pun memuji KPK sebagai lembaga yang memberi harapan.
Kata mereka, teriakannya menghantam KPK hanya kamuflase untuk mengimbangi opini. “Tugas kami sebagai pengacara memang harus mengimbangi opini publik agar keterpurukan klien bisa sedikit terangkat,” kata pengacara-pengacara itu. Dalam catatan banyak orang, KPK memang sudah berjalan secara baik dari segi prinsip penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Kadang ada yang menuduh KPK telah ikut larut dalam permainan dan kendali kekuatan politik atau parpol tertentu, tetapi tak ada alasan yang bisa ditunjukkan bahwa KPK masuk dalam permainan politik seperti itu. Faktanya, kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang penting dari semua parpol besar maupun menengah digelandang ke proses Peradilan Tipikor.
Lihatlah kasus-kasus Hambalang, Wisma Atlet, Pengadaan Alquran, impor daging sapi, cek pelawat pemilihan DGS (Deputi Gubernur Senior) Bank Indonesia, dan lain-lain. Semua itu melibatkan parpol tanpa pandang bulu. Coba, parpol mana yang bisa dikatakan memengaruhi KPK sekarang? Tidak ada parpol yang diistimewakan, kan? Dua pekan terakhir ini, setelah pemeriksa KPK pulang dari tugasnya memeriksa Sri Mulyani di Washington, ada isu berembus bahwa dalam menangani kasus bailout Bank Century, KPK terlibat dalam permainan politik.
Menurut isu itu, sebenarnya KPK sudah menemukan bukti ada tindak pidana dalam kasus itu dan ada very-very important person (VVIP) atau pejabat penting di Indonesia yang bersalah. Tetapi, isunya, ada operasi politik yang menghendaki pemerintahan ini bertahan sampai 2014 sehingga KPK diarahkan agar mencari korban lain, korban yang bukan pemegang tanggung jawab kebijakan (policy).
Gerakan yang dimotori kelompok politik penguasa ini konon didukung juga oleh kelompok soska (sosialis kanan) yang kini ikut bergerilya untuk menyelamatkan orang penting dan mengorbankan staf biasa di BI. Harapannya, tak ada upaya penjatuhan terhadap pemerintah sampai 2014 sehingga pemerintahan periode ini selesai dengan selamat. Kalau isu itu benar, kiamatlah dunia penegakan hukum di Indonesia.
Kalau sampai KPK bisa dibelokkan dengan permainan politik seperti itu, semua pendukung KPK harus marah. Kita mendukung dan turut merawat KPK selama ini, dengan segala risiko, karena ingin KPK menjadi lembaga penegak hukum yang tak terpengaruh oleh permainan politik dan terus menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Itulah sebabnya awal pekan ini saya mendatangi Gedung KPK dan menanyakan langsung kepada pimpinannya.
Saya sarankan, kalau memang ada yang salah, tidak boleh ada upaya mengalihkan kesalahan karena pertimbangan politik. Tetapi, kalau kebijakan itu memang tidak salah secara pidana, tak boleh dipaksakan untuk harus ada korbannya hanya karena desakan politisi. Saya senang karena mendapat penegasan dari pimpinan KPK bahwa di KPK tak ada sama sekali pemikiran yang seperti itu.
Jangankan langkah pro justicia, berpikir begitu pun tidak ada. Sejak semula saya memang sama sekali tidak percaya pada isu itu. Bagi saya, sampai saat ini KPK cukup steril dari permainan politik. KPK sudah tepat, selalu menulikan diri dari teriakan-teriakan politik, dan itu harus dipertahankan agar rakyat tak kehilangan asa.
Karena keyakinan itulah, pada pertengahan 2009 melalui artikel di koran ini saya sudah menulis bahwa apabila seseorang ditangkap KPK karena sangkaan korupsi, sebaiknya mengaku. Tak mungkin KPK menangkap seseorang hanya karena laporan yang tiba-tiba dari warga masyarakat. Sebelum menangkap seseorang, KPK selalu terlebih dahulu mengantongi bukti-bukti yang tak terbantahkan di persidangan. Bukti-bukti itu dihimpun dari hasil menguntit, merekam, dan memotret selama berminggu-minggu.
Menunda pengakuan biasanya hanya akan memperbanyak fakta memalukan yang kemudian diperdengarkan rekamannya di pengadilan. Isu pokok yang tadinya hanya terfokus pada penyuapan dan penggarongan uang negara kemudian sering melebar ke soal-soal lain seperti pelayanan perempuan yang sebelumnya masyarakat tidak tahu. KPK, teruslah melangkah lurus. Rakyat bersama Anda selama Anda masih lurus. ●
Ada pula yang sering mencacinya dengan nada berang. Saya katakan “banyak” yang memuji dan “ada pula” yang mencaci karena memang jauh lebih banyak yang memuji daripada yang mencaci atau mencerca KPK. Akal sehat publik (public common sense) memuji dan berharap banyak kepada KPK, terlepas dari soal kritik-kritik kecil yang pasti tak terhindarkan. Menurut publik, KPK telah bekerja dengan lurus sesuai pesan sejarah atau latar belakang kelahirannya.
Yang mencerca KPK pada umumnya hanya mereka yang tersandung kasus korupsi di KPK atau kuasa hukum atau teman sekandang orang yang digelandang menjadi tersangka di KPK. Ada juga yang mencerca KPK karena tak sabar, menganggap KPK lamban, atau tidak berani menghadapi kekuatan politik tertentu, padahal tidak begitu. Menariknya, ada beberapa pengacara yang sangat keras menghantam KPK di depan publik mengaku kepada saya bahwa mereka pun memuji KPK sebagai lembaga yang memberi harapan.
Kata mereka, teriakannya menghantam KPK hanya kamuflase untuk mengimbangi opini. “Tugas kami sebagai pengacara memang harus mengimbangi opini publik agar keterpurukan klien bisa sedikit terangkat,” kata pengacara-pengacara itu. Dalam catatan banyak orang, KPK memang sudah berjalan secara baik dari segi prinsip penegakan hukum pemberantasan korupsi.
Kadang ada yang menuduh KPK telah ikut larut dalam permainan dan kendali kekuatan politik atau parpol tertentu, tetapi tak ada alasan yang bisa ditunjukkan bahwa KPK masuk dalam permainan politik seperti itu. Faktanya, kasus-kasus besar yang melibatkan orang-orang penting dari semua parpol besar maupun menengah digelandang ke proses Peradilan Tipikor.
Lihatlah kasus-kasus Hambalang, Wisma Atlet, Pengadaan Alquran, impor daging sapi, cek pelawat pemilihan DGS (Deputi Gubernur Senior) Bank Indonesia, dan lain-lain. Semua itu melibatkan parpol tanpa pandang bulu. Coba, parpol mana yang bisa dikatakan memengaruhi KPK sekarang? Tidak ada parpol yang diistimewakan, kan? Dua pekan terakhir ini, setelah pemeriksa KPK pulang dari tugasnya memeriksa Sri Mulyani di Washington, ada isu berembus bahwa dalam menangani kasus bailout Bank Century, KPK terlibat dalam permainan politik.
Menurut isu itu, sebenarnya KPK sudah menemukan bukti ada tindak pidana dalam kasus itu dan ada very-very important person (VVIP) atau pejabat penting di Indonesia yang bersalah. Tetapi, isunya, ada operasi politik yang menghendaki pemerintahan ini bertahan sampai 2014 sehingga KPK diarahkan agar mencari korban lain, korban yang bukan pemegang tanggung jawab kebijakan (policy).
Gerakan yang dimotori kelompok politik penguasa ini konon didukung juga oleh kelompok soska (sosialis kanan) yang kini ikut bergerilya untuk menyelamatkan orang penting dan mengorbankan staf biasa di BI. Harapannya, tak ada upaya penjatuhan terhadap pemerintah sampai 2014 sehingga pemerintahan periode ini selesai dengan selamat. Kalau isu itu benar, kiamatlah dunia penegakan hukum di Indonesia.
Kalau sampai KPK bisa dibelokkan dengan permainan politik seperti itu, semua pendukung KPK harus marah. Kita mendukung dan turut merawat KPK selama ini, dengan segala risiko, karena ingin KPK menjadi lembaga penegak hukum yang tak terpengaruh oleh permainan politik dan terus menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Itulah sebabnya awal pekan ini saya mendatangi Gedung KPK dan menanyakan langsung kepada pimpinannya.
Saya sarankan, kalau memang ada yang salah, tidak boleh ada upaya mengalihkan kesalahan karena pertimbangan politik. Tetapi, kalau kebijakan itu memang tidak salah secara pidana, tak boleh dipaksakan untuk harus ada korbannya hanya karena desakan politisi. Saya senang karena mendapat penegasan dari pimpinan KPK bahwa di KPK tak ada sama sekali pemikiran yang seperti itu.
Jangankan langkah pro justicia, berpikir begitu pun tidak ada. Sejak semula saya memang sama sekali tidak percaya pada isu itu. Bagi saya, sampai saat ini KPK cukup steril dari permainan politik. KPK sudah tepat, selalu menulikan diri dari teriakan-teriakan politik, dan itu harus dipertahankan agar rakyat tak kehilangan asa.
Karena keyakinan itulah, pada pertengahan 2009 melalui artikel di koran ini saya sudah menulis bahwa apabila seseorang ditangkap KPK karena sangkaan korupsi, sebaiknya mengaku. Tak mungkin KPK menangkap seseorang hanya karena laporan yang tiba-tiba dari warga masyarakat. Sebelum menangkap seseorang, KPK selalu terlebih dahulu mengantongi bukti-bukti yang tak terbantahkan di persidangan. Bukti-bukti itu dihimpun dari hasil menguntit, merekam, dan memotret selama berminggu-minggu.
Menunda pengakuan biasanya hanya akan memperbanyak fakta memalukan yang kemudian diperdengarkan rekamannya di pengadilan. Isu pokok yang tadinya hanya terfokus pada penyuapan dan penggarongan uang negara kemudian sering melebar ke soal-soal lain seperti pelayanan perempuan yang sebelumnya masyarakat tidak tahu. KPK, teruslah melangkah lurus. Rakyat bersama Anda selama Anda masih lurus. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar