|
KOMPAS, 24 Mei 2013
Pesona
dewasa ini adalah munculnya beberapa pemimpin politik luar Jawa: Jusuf Kalla,
Surya Paloh, Aburizal Bakrie, dan Hatta Rajasa. Pada masa Orde Baru,
tokoh-tokoh luar Jawa hanya tampil sebagai teknokrat tanpa komando politik.
Kemunculan
keempat tokoh itu mengingatkan kita pada pemimpin nasional zaman Demokrasi
Parlementer (1945-1957).
Apakah
mereka mampu meraih puncak? Pencapaian itu bergantung pada apakah ada tokoh
Jawa yang mau mendampingi mereka. Maka, untuk sementara, kita harus melihat
tokoh-tokoh asal Jawa yang ”secara etnik” lebih berpeluang. Di sini, kita
menemukan beberapa yang menonjol, seperti Prabowo Subianto, Wiranto, Megawati
Soekarnoputri, dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Untuk sementara,
melalui berbagai survei, Prabowo tampak paling menonjol. Wiranto berpotensi
lebih populer setelah ”efek Hary Tanoe” berkinerja setelah deretan stasiun TV
dan media massa Hary Tanoe mendorong Wiranto dan Partai Hanura lebih mudah
masuk ke dalam orbit cakrawala perhatian publik.
Megawati,
di pihak lain, tetap teperhitungkan, terutama karena memiliki pendukung yang
menetap. Sebanyak 20 juta suara yang diperoleh pada Pemilu Presiden 2009 tak
akan banyak berkurang pada 2014. Karena itu, sebagai calon presiden, Megawati
memiliki kepastian lebih tinggi dibandingkan dengan yang lain.
Terakhir
adalah Jokowi. Keku- atan tokoh ini terletak pada ”keluguan”-nya. Secara
konseptual, dia pencipta preseden proses ”nasionalisasi lokal” dan sekaligus
”lokalisasi nasional” ketika peristiwa-peristiwa dan tindak- an-tindakannya
atas kota kecil Jawa Tengah (Solo) mendapat perhatian nasional.
Kemenangannya
di Jakarta pada 2012 lebih terletak pada keterpesonaan rakyat atas ”keluguan”
ini daripada pengaruh partai-partai politik pendukungnya.
Polarisasi
dan repolarisasi
Tentu,
seluruh proses ini tidak akan sederhana. Dalam perkiraan saya, akan terjadi
polarisasi dan repolarisasi masif yang menandai dinamika Pilpres 2014. Sambil
menunggu perkembangan popularitas Wiranto, perhatian patut diberikan kepada
sosok Prabowo. Menjelang Pilpres 2009, tokoh ini membangun citra sendiri
dengan, antara lain, berpakaian gaya seorang progresif, seperti Hugo Chaves
dari Venezuela, antikapitalisme global. Statusnya sebagai calon wakil presiden
Megawati pada 2009 adalah investasi politik yang decisive karena sosoknya
tersimpan dalam kenangan kolektif rakyat.
Namun,
”kemajuan politik” Probowo berpotensi mendorong dinamika unik perpolitikan
nasional. Kaum intelektual kota dan kalangan sadar lainnya, termasuk sebagian
elite militer, akan membendung gerak maju Prabowo. Dasar ”gerakan kota” ini
adalah peristiwa penculikan aktivis prodemokrasi sepanjang 1996 hingga 1998.
Kita ketahui, Prabowo adalah pemimpin puncak Kopassus, dan beberapa anggotanya
terlibat dalam peristiwa itu.
Sepanjang
kegelisahan ini terbatas pada kaum intelektual kota, secara teoretis, kemajuan
Prabowo tak terhambat. Selain berjumlah kecil, kaum intelektual ini tak punya
alat efektif memproyeksikan kegelisahan kepada rakyat banyak. Namun, daya
persuasi mereka cukup penetratif di kalangan elite nasional. Dalam konteks ini,
Megawati atau Jokowi akan terdorong ke depan.
Hemat
saya, demi membendung Prabowo, kalangan intelektual akan menskenariokan Jokowi
maju menghadang. Meski masih harus diuji dalam memimpin Jakarta, popularitas
Jokowi akan lebih terdongkrak dengan status capres dibandingkan dengan sekadar
jadi calon gubernur DKI. Pendongkrak popularitas ini adalah karena ia wujud
marhaenisme sejati. ”Keluguan”-nya membuat Jokowi marhaenis yang tidak
dibuat-buat.
Skenario
ini tentu bermasalah: Megawati dan putrinya, Puan Maharani, mungkin tidak rela
Jokowi menyabet kesempatan langka ini. Maka, ada skenario kedua: membujuk
Megawati sendiri untuk maju. Tentu, melihat pengalaman lalu, bobot Megawati
tidaklah sekuat Pilpres 2004. Karena itu, kaum intelektual akan mendorong
pendampingnya yang cocok. Di sini tokoh-tokoh luar Jawa yang telah disebut bisa
tampil ke depan. Kaum intelektual kota tentu tidak berkeberatan melihat
alternatif pasangan seperti ini: Megawati-Aburizal Bakrie, Megawati-Jusuf
Kalla, Megawati-Surya Paloh, atau Megawati-Hatta Rajasa.
Namun,
satu hal perlu juga dilihat. Seperti Susilo Bambang Yudhoyono dalam Pilpres
2009, sekarang Prabowo dalam keadaan naik daun. Maka, ia pun leluasa memilih
tokoh lain, seperti Dahlan Iskan atau bahkan Mahfud MD sekalipun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar