|
KOMPAS, 27 Mei 2013
Paradoks
Indonesia berlanjut terus. Indonesia telah merdeka dari penjajah kolonial Belanda.
Tapi, hukumnya yang represif terhadap orang-orang pers masih tinggal dan
digunakan oleh pemerintah.
Paradoksnya,
di era Reformasi berusia 15 tahun pada bulan Mei ini, pemerintah mengirim
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ke DPR, yang justru lebih
mengancam dibanding KUHP buatan kolonial Belanda.
KUHP
adalah produk hukum hasil konkordansi dengan Wetboek van Strafrecht Belanda,
yang berlaku di Indonesia sejak 1917, yang sampai kini berlaku berdasarkan UU
No 1/1946 jo No 73/1950. KUHP tersebut dimaksudkan oleh pemerintah kolonial
Belanda untuk meredam pandangan kritis kalangan pribumi terjajah dan menghukum
warga pribumi yang berani mengkritik kebijakan kolonial Belanda.
Pada
1932, pasal-pasal KUHP dikenakan kepada Soekarno karena pidatonya, ”Indonesia
Menggugat”, di Volksraad. Soekarno dijebloskan ke Sukamiskin, Bandung, empat
tahun penjara.
KUHP
memiliki 35 pasal yang dapat memidanakan orang-orang pers. Ratusan orang pers
yang sekaligus jadi orang pergerakan, atau orang-orang pergerakan yang juga
jadi orang pers, telah dipenjarakan karena didakwa melanggar pasal-pasal
tersebut.
Lebih
represif
Meminjam
istilah Al Gore dalam bukunya, The Future, pikiran dan perasaan perumus RUU
KUHP tadinya diharapkan terkoneksi dengan konsep criminal law negara-negara
demokrasi, yang tak mengkriminalkan wartawan dalam pekerjaan jurnalistik, tapi
dapat memprosesnya dalam perkara perdata dengan denda proporsional. Tapi
rancangan perumus tersebut justru terelasi dengan pikiran penjajah kolonial
Belanda dan menerbitkan Rancangan KUHP yang lebih represif terhadap pers.
Pertama,
Rancangan KUHP lebih fasis. Pasal-pasal ”delik pers” dalam Rancangan KUHP draf
1999/2000 yang perumusnya juga diikuti Menteri Kehakiman (1998-1999) Muladi
bukan hanya meningkat dari 35 jadi 49 pasal, ancamannya pun lebih berat. Pasal
311 (1) KUHP misalnya, ancamannya hanya pidana penjara paling lama empat bulan,
Pasal 448 (1) Rancangan KUHP menjadi paling lama lima tahun.
Pasal
448 (1) Rancangan KUHP berbunyi: ”Jika pembuat tindak pidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 447 diberi kesempatan membuktikan kebenaran hal yang
dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut bertentangan
dengan yang diketahuinya, dipidana karena pemfitnahan, dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan paling singkat 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Kategori IV”.
Sementara
KUHP Pasal 311 (1) KUHP: ”Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau
pencemaran tertulis dibolehkan membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tak
membuktikannya, dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui,
maka diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling lama empat bulan”.
Kedua,
pemerintah masih mempertahankan pasal-pasal haatzai artikelen. Delik
permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap pemerintah (Pasal 154, 155,
156, dan 157 di KUHP) dikenal sebagai pasal-pasal haatzai artikelen menjadi
senjata ampuh untuk mengekang kebebasan pers. Karena kontrol dan kritik pers
terhadap kebijakan kolonial Belanda dinilai sebagai tindak permusuhan,
kebencian, dan penghinaan, ratusan orang pers dipidana penjara atau dibuang
antara lain ke Boven Digul.
Pemred
Indonesia Raya Mochtar Lubis atas kritiknya terhadap pemerintah Presiden
Soekarno didakwa melanggar Pasal 154 KUHP dengan ancaman pidana 7 tahun. Hakim
Razak Sutan Malelo membebaskannya, tapi di luar pengadilan, polisi militer
menangkapnya. Mochtar pun dipenjarakan 9 tahun.
Terhadap
pers yang pemberitaannya dinilai mengandung permusuhan, kebencian, atau
penghinaan, fakta menunjukkan penguasa rezim Orde Lama dan Orde Baru memilih
membredel ratusan penerbitan pers.
Adalah
suatu paradoks, ketika UU No 40/1999 tentang Pers selama 14 tahun ini
melindungi pers mengontrol dan mengkritik kinerja pemerintah, tiba-tiba Menteri
Hukum dan HAM Amir Syamsuddin mengirim Rancangan KUHP 2013 ke DPR, yang kembali
menghidupkan pasal-pasal haatzai artikelen (Pasal 284, 285, 288, 289, 405, dan
406), yang dikenal sangat efektif untuk membungkam kebebasan pers.
Pasal
406, misalnya, berbunyi: ”Setiap orang
yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga
terlihat oleh umum atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum,
yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan
maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda
paling banyak Kategori IV”.
Ketiga,
berdasarkan Rancangan KUHP, karya jurnalistik adalah karya kejahatan [Pasal
308, 537 (1) dan 538 (1)]. Pasal 308: ”Setiap
orang yang menyiarkan berita yang tidak pasti, berita yang berlebihan, atau
berita yang tidak lengkap yang mengakibatkan timbulnya keonaran dalam
masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau
pidana denda paling banyak Kategori II”.
Pasal
537 (1): ”Setiap orang yang dengan lisan menyerang kehormatan atau nama baik
orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut
diketahui umum, dipidana karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II”.
Pasal
538 (1): ”Jika pembuat tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 537 diberi kesempatan membuktikan kebenaran
hal yang dituduhkan tetapi tidak dapat membuktikannya, dan tuduhan tersebut
bertentangan dengan yang diketahuinya, dipidana karena fitnah, dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling sedikit Kategori III dan paling banyak Kategori IV”.
Berdasarkan
konsep UU Pers, berita tentang pejabat, politisi, atau pengusaha yang diduga
korupsi, sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik mensyaratkan sumber yang kredibel,
termasuk sumber tertutup yang diyakini kredibilitasnya dan dikemas dengan cover
both sides dan verifikasi. Jika Rancangan KUHP mengharuskan pers hanya memasok
berita yang pasti dan harus dapat membuktikan kebenaran tuduhannya, yakni
dugaan tindak korupsi, maka karya jurnalistik yang dilindungi UU Pers adalah
hanya karya kejahatan menurut Rancangan KUHP.
Pasal-pasal
Rancangan KUHP tersebut adalah langkah mundur. Menyikapi konflik Garuda Medan
dan PT Anugerah Langkat Makmur, amar putusan Mahkamah Agung (12/4/1993) antara
lain menyatakan: ”Apa yang hendak diulas
dan diberitakan pers tidak mesti kebenaran yang bersifat absolut. Jika
kebenaran absolut yang boleh diberitakan, berarti sejak semula kehidupan pers
yang bebas dan bertanggung jawab sudah mati sebelum lahir”.
Hakim
dalam perkara majalah Time vs Soeharto kembali mengulangi: ”Pemberitaan pers tidak harus diartikan mengandung kebenaran mutlak”.
Keempat,
tindak kekerasan terhadap pers akan meningkat. Pasal 307 (1), 308, dan 405
masing-masing menyebut berita bohong—berita yang tidak pasti— berita penghinaan
yang mengakibatkan timbulnya keonaran, dipidana dengan pidana penjara sekian
tahun.
Pejabat,
politisi, dan pengusaha yang menjadi sorotan investigasi pers terkait dugaan
tindak korupsi dapat mengadukan pers yang bersangkutan sebagai melanggar Pasal
307 (1), 308 atau 405. Agar gugatannya lebih memenuhi syarat sebagai berita
bohong—berita tidak pasti—atau berita penghinaan yang mengakibatkan timbulnya
keonaran, pejabat, politisi, pengusaha tersebut dapat menggerakkan kader-kader
atau anak buahnya untuk berunjuk rasa: keonaran yang direkayasa.
Kesimpulan
Perjuangan
pers nasional untuk bebas dari berbagai perundang-undangan yang mengancam pers
masih sulit. Mengapa? Karena sebagian besar elite bangsa belum punya tradisi
menghargai kebebasan pers.
Mantan
Menteri Kehakiman Muladi (13/11/2003), menjawab pers terkait revisi KUHP
1999/2000, menyatakan, ”RUU KUHP itu
bertujuan melindungi pemerintah yang sah. Berita yang menghina pemerintah yang
berdampak keonaran, wartawannya dapat dipidana penjara.”
Mahkamah
Konstitusi yang (waktu itu) diketuai Jimly Asshiddiqie, dalam putusannya
(15/8/2008) terkait uji materi KUHP, menyatakan, pemidanapenjaraan wartawan
karena melanggar Pasal 310 (1) dan (2), Pasal 311 (1), Pasal 316, dan Pasal 207
tidak melanggar konstitusi. Dalam persidangan di MK terkait putusan tersebut,
Dr Mudzakir, mewakili pemerintah, berpendapat: ”...untuk masyarakat adat kita dan dalam ajaran agama, tindak pidana
penghinaan termasuk kategori berat. Maka yang terkait penghinaan ancaman pidana
penjaranya diperberat”.
Dari
uraian di atas tersimpul, pertama, pers hanya mungkin mendapat perlindungan
hukum jika kemerdekaan pers telah jadi hak konstitusional warga negara negeri
ini. Tanpa mencantumkan ”MPR, DPR,
pemerintah tidak boleh membuat perundang-undangan yang mengancam, membatasi
kemerdekaan pers” di konstitusi, pers tetap terancam.
Kedua,
perlindungan konstitusi terhadap kemerdekaan pers bergantung apresiasi DPR,
DPD, pemerintah hasil Pemilu 2014. Kemerdekaan pers hanya mungkin jadi hak
konstitusional warga jika penyelenggara negara sungguh-sungguh akan menyelenggarakan
prinsip-prinsip clean and good governance.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar