|
SUARA KARYA, 24 Mei 2013
Dalam sebuah kesempatan di penghujung
tahun 2012, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi memberikan penilaian
kritis tentang pemekaran wilayah yang telah bergulis demikian cepat hingga hari
ini. Setelah mengevaluasi 205 DOB yang terdiri atas 7 provinsi, 146 kabupaten,
dan sisanya kabupaten kota, Kemendagri berkesimpulan bahwa pemekaran wilayah
belum memuaskan bagi kesejahteraan rakyat. Gamawan secara tegas bahkan
mengatakan 70 persen dari 205 daerah otonom baru (DOB) gagal.
Kita perlu mencermati hasil
evaluasi tersebut secara proporsional terkait dampak pemekaran wilayah yang
hingga hari ini terus didengungkan di beberapa daerah. Kesadaran melihat secara
kritis kasus ini untuk melihat sejauh mana efektivitas pemekaran daerah bagi
kesejahteraan rakyat di daerah.
Namun faktanya, ada kecenderungan
naif yang terjadi di beberapa daerah yang telah resmi menyandang DOB, yaitu
terjadinya kebuntuan proses reformasi pemerintahan lokal untuk perbaikan
pelayanan publik. Upaya memperbaiki layanan publik demi kesejahteraan bersama
di daerah, sebagai spirit dasar di balik otonomi, sama sekali tidak diurus
secara serius. Akhirnya, keberadaan DOB tidak meningkatkan pelayanan publik
secara signifikan. Jika dipersentase, hanya 30 persen saja yang benar-benar
menjalankan amanah.
Kasus kekerasan di balik upaya
pemekaran wilayah di beberapa daerah kerap terjadi. Pemanfaatan gerakan massa
dengan mengumpan rakyat sipil sebagai ujung tombak berakibat fatal. Kematian
pun merupakan pola lama yang kerap kali ditemukan dalam aksi-aksi kekerasan
sipil di berbagai daerah di Indonesia. Lawannya selalu sama, yaitu aparat
keamanan sendiri yang tidak mampu mengelola konflik dan menemukan negosisasi
dengan cara yang elegan dan damai.
Padahal negara sudah mempunyai UU
dan sejumlah kriteria dan indikator yang mengatur secara ketat pengajuan
pemekaran di sebuah daerah, seperti tertuang dalam UU No 32 Tahun 2004.
Di samping itu, PP 129/2000 yang
diganti dengan PP 78/2007 telah menjelaskan proses pemekaran daerah yang harus
berdasarkan kepada aspirasi dari akar rumput secara eksplisit. Tapi, sayang
sekali, dalam banyak pratiknya, rakyat kecil hanya menjadi umpan yang sengaja
dipasang oleh sebagian kelompok berkepentingan untuk menyuarakan dukungan
pemekaran. Dalam kondisi masyarakat sudah terbiasa dijejali aksi-aksi kekerasan
yang terjadi di daerah lain, memungkinkan kekerasan menjadi jalan yang akan
ditempuh ketika chaos dan kebuntuan terjadi. Akhirnya amuk massa, sebagai ciri
khas kekerasan masif yang melekat dengan masyarakat kita, menjadi salah satu
jalan yang harus terjadi dari anomali kultur kekerasan yang terbentuk, tanpa
adanya manajemen konflik secara konprehensif.
Sindrom kekerasan akhirnya menjadi
semacam simtom bagi masyarakatnya. Sintom kekerasan dan amuk massa akan semakin
menghinggapi 'kesadaran' masyarakat dengan menunjukkan ekses ketidakpercayaan
terhadap aparat negara. Hal ini tentu tidak diharapkan terjadi di Indonesia.
Untuk itu, pemerintah dengan mengajak semua elemen harus mempunyai political
will dalam hal menangani kekerasan dengan nirkekerasan, baik dalam pendekatatan
demokratis, kesejahteraan dan lebih-lebih keadilan.
Siapa pun rakyat Indonesia tentu
tidak ingin mendengar lagi hasil survei yang diperlihatkan Lingkaran Survei
Indonesia (LSI) tentang merosotnya kepuasan publik terhadap penegakan hukum, sehingga
masyarakat setuju untuk menegakkan keadilan dengan main hakim sendiri. Untuk
itu, semua pihak harus menyadari beberapa pelajaran yang sudah ditunjukkan
secara konktret dalam kasus-kasus pemekaran wilayah.
Menurut catatan Zuly Qodir (2012),
setidaknya ada enam masalah yang ditemukan dalam kasus-kasus pemekaran wilayah.
(1) Yuridis: tidak jelasnya batas daerah dalam Undang-Undang Pembentukan
Daerah. (2) Ekonomi: Perebutan Sumber Daya (SDA, Kawasan Niaga/Transmigrasi,
Perkebunan). (3) Kultural: Isu terpisahnya etnis atau sub etnis. (4) Politik
dan Demografi: Perebutan pemilih dan perolehan suara bagi anggota DPRD/KDH. (5)
Sosial: Munculnya kecemburuan sosial, riwayat konflik masa lalu, isu penduduk
asli dan pendatang. (6) Pemerintahan: Jarak ke pusat pemerintahan, diskriminasi
pelayanan, keinginan bergabung ke daerah tetangga.
Lebih lannjut ada catatan menarik
tentang evaluasi dampak pemekaran wilayah yang diterbitkan oleh Bappenas
bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP). Menurut laporan
Bappenas, dari aspek kinerja perekonomian daerah ditemukan dua masalah utama
yang dapat diidentifikasi. Yaitu: pembagian potensi ekonomi yang tidak merata,
dan beban penduduk miskin yang lebih tinggi.
Di sisi keuangan daerah
disimpulkan bahwa daerah baru yang terbentuk melalui kebijakan Pemerintahan
Daerah menunjukkan kinerja yang relatif kurang optimal dibandingkan daerah
kontrol. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, hasil studi menunjukkan bahwa daerah
otonom baru lebih fluktuatif dibandingkan daerah induk yang relatif stabil dan
meningkat. Dari sisi pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan
masyarakat di daerah DOB belum dapat mengejar ketertinggalan daerah induk.
Dari sisi ekonomi, ketertinggalan
daerah otonom baru terhadap daerah induk maupun daerah lainnya pada umumnya
disebabkan keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia
(Bappendas, 2008). Melalui tumpukan hasil penelitian yang secara spesifik
menelaah tentang kasus-kasus pemekaran wilayah, pemerintah sudah harus melakukan
langkah konkrit demi menjamin proses daerah otonomi baru benar-benar terbebas
dari segala bentuk gejolak kekerasan dan sengketa. Penemuan-penemuan penting di
atas harus ditempatkan sebagai evaluasi bersama hingga pun ke
pemerintah-pemerintah daerah di mana isu-isu pemerakan sedang digodok. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar