Sabtu, 25 Mei 2013

“Mainan” Pemekaran Wilayah

“Mainan” Pemekaran Wilayah
Bernando J Sucibto ;  Sosiolog, Alumnus Cultural and Language 
Program University of South Carolina, AS
SUARA KARYA, 24 Mei 2013


Dalam sebuah kesempatan di penghujung tahun 2012, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi memberikan penilaian kritis tentang pemekaran wilayah yang telah bergulis demikian cepat hingga hari ini. Setelah mengevaluasi 205 DOB yang terdiri atas 7 provinsi, 146 kabupaten, dan sisanya kabupaten kota, Kemendagri berkesimpulan bahwa pemekaran wilayah belum memuaskan bagi kesejahteraan rakyat. Gamawan secara tegas bahkan mengatakan 70 persen dari 205 daerah otonom baru (DOB) gagal.
Kita perlu mencermati hasil evaluasi tersebut secara proporsional terkait dampak pemekaran wilayah yang hingga hari ini terus didengungkan di beberapa daerah. Kesadaran melihat secara kritis kasus ini untuk melihat sejauh mana efektivitas pemekaran daerah bagi kesejahteraan rakyat di daerah.

Namun faktanya, ada kecenderungan naif yang terjadi di beberapa daerah yang telah resmi menyandang DOB, yaitu terjadinya kebuntuan proses reformasi pemerintahan lokal untuk perbaikan pelayanan publik. Upaya memperbaiki layanan publik demi kesejahteraan bersama di daerah, sebagai spirit dasar di balik otonomi, sama sekali tidak diurus secara serius. Akhirnya, keberadaan DOB tidak meningkatkan pelayanan publik secara signifikan. Jika dipersentase, hanya 30 persen saja yang benar-benar menjalankan amanah.

Kasus kekerasan di balik upaya pemekaran wilayah di beberapa daerah kerap terjadi. Pemanfaatan gerakan massa dengan mengumpan rakyat sipil sebagai ujung tombak berakibat fatal. Kematian pun merupakan pola lama yang kerap kali ditemukan dalam aksi-aksi kekerasan sipil di berbagai daerah di Indonesia. Lawannya selalu sama, yaitu aparat keamanan sendiri yang tidak mampu mengelola konflik dan menemukan negosisasi dengan cara yang elegan dan damai.

Padahal negara sudah mempunyai UU dan sejumlah kriteria dan indikator yang mengatur secara ketat pengajuan pemekaran di sebuah daerah, seperti tertuang dalam UU No 32 Tahun 2004.

Di samping itu, PP 129/2000 yang diganti dengan PP 78/2007 telah menjelaskan proses pemekaran daerah yang harus berdasarkan kepada aspirasi dari akar rumput secara eksplisit. Tapi, sayang sekali, dalam banyak pratiknya, rakyat kecil hanya menjadi umpan yang sengaja dipasang oleh sebagian kelompok berkepentingan untuk menyuarakan dukungan pemekaran. Dalam kondisi masyarakat sudah terbiasa dijejali aksi-aksi kekerasan yang terjadi di daerah lain, memungkinkan kekerasan menjadi jalan yang akan ditempuh ketika chaos dan kebuntuan terjadi. Akhirnya amuk massa, sebagai ciri khas kekerasan masif yang melekat dengan masyarakat kita, menjadi salah satu jalan yang harus terjadi dari anomali kultur kekerasan yang terbentuk, tanpa adanya manajemen konflik secara konprehensif.

Sindrom kekerasan akhirnya menjadi semacam simtom bagi masyarakatnya. Sintom kekerasan dan amuk massa akan semakin menghinggapi 'kesadaran' masyarakat dengan menunjukkan ekses ketidakpercayaan terhadap aparat negara. Hal ini tentu tidak diharapkan terjadi di Indonesia. Untuk itu, pemerintah dengan mengajak semua elemen harus mempunyai political will dalam hal menangani kekerasan dengan nirkekerasan, baik dalam pendekatatan demokratis, kesejahteraan dan lebih-lebih keadilan.

Siapa pun rakyat Indonesia tentu tidak ingin mendengar lagi hasil survei yang diperlihatkan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tentang merosotnya kepuasan publik terhadap penegakan hukum, sehingga masyarakat setuju untuk menegakkan keadilan dengan main hakim sendiri. Untuk itu, semua pihak harus menyadari beberapa pelajaran yang sudah ditunjukkan secara konktret dalam kasus-kasus pemekaran wilayah.

Menurut catatan Zuly Qodir (2012), setidaknya ada enam masalah yang ditemukan dalam kasus-kasus pemekaran wilayah. (1) Yuridis: tidak jelasnya batas daerah dalam Undang-Undang Pembentukan Daerah. (2) Ekonomi: Perebutan Sumber Daya (SDA, Kawasan Niaga/Transmigrasi, Perkebunan). (3) Kultural: Isu terpisahnya etnis atau sub etnis. (4) Politik dan Demografi: Perebutan pemilih dan perolehan suara bagi anggota DPRD/KDH. (5) Sosial: Munculnya kecemburuan sosial, riwayat konflik masa lalu, isu penduduk asli dan pendatang. (6) Pemerintahan: Jarak ke pusat pemerintahan, diskriminasi pelayanan, keinginan bergabung ke daerah tetangga.

Lebih lannjut ada catatan menarik tentang evaluasi dampak pemekaran wilayah yang diterbitkan oleh Bappenas bekerjasama dengan United Nations Development Programme (UNDP). Menurut laporan Bappenas, dari aspek kinerja perekonomian daerah ditemukan dua masalah utama yang dapat diidentifikasi. Yaitu: pembagian potensi ekonomi yang tidak merata, dan beban penduduk miskin yang lebih tinggi.

Di sisi keuangan daerah disimpulkan bahwa daerah baru yang terbentuk melalui kebijakan Pemerintahan Daerah menunjukkan kinerja yang relatif kurang optimal dibandingkan daerah kontrol. Dari sisi pertumbuhan ekonomi, hasil studi menunjukkan bahwa daerah otonom baru lebih fluktuatif dibandingkan daerah induk yang relatif stabil dan meningkat. Dari sisi pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum dapat mengejar ketertinggalan daerah induk.


Dari sisi ekonomi, ketertinggalan daerah otonom baru terhadap daerah induk maupun daerah lainnya pada umumnya disebabkan keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang tersedia (Bappendas, 2008). Melalui tumpukan hasil penelitian yang secara spesifik menelaah tentang kasus-kasus pemekaran wilayah, pemerintah sudah harus melakukan langkah konkrit demi menjamin proses daerah otonomi baru benar-benar terbebas dari segala bentuk gejolak kekerasan dan sengketa. Penemuan-penemuan penting di atas harus ditempatkan sebagai evaluasi bersama hingga pun ke pemerintah-pemerintah daerah di mana isu-isu pemerakan sedang digodok. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar