|
SUARA KARYA, 24 Mei 2013
Reformasi yang berjalan selama 15
tahun telah berkembang liar dari cita-cita nasional dan konstitusi UUD 1945.
Bahkan, reformasi sudah kebablasan. Parpol juga memiliki agenda sendiri. Parpol
tidak melakukan tanggung jawab untuk melakukan perubahan dan menjalankan
fungsinya dengan baik. Konflik keagamaan masih banyak terjadi. Era reformasi
pun gagal menjalankan agenda cita-cita nasional.
Politik saat ini cenderung
dijadikan mata pencaharian, tidak sekadar untuk mengabdi kepada rakyat. Jalan
politik digunakan untuk menjadi kaya. Oleh sebab itu, perlu revitalisasi
cita-cita bangsa, karakter serta watak bangsa.
Kegagalan reformasi sebenarnya
merupakan konsekuensi dari penerapan demokrasi liberal yang kebablasan. Ini
juga sebuah kemalangan karena kita menerima mentah-mentah demokrasi liberal.
Akibat lebih jauh, kita gagal menciptakan cita-cita baru, tidak mampu
merumuskan strategi reformasi karena kegagalan baik kepemimpinan secara formal
maupun di tingkat struktural.
Memang, pihak luar negeri telah
memberikan pengakuan resmi atas proses demokrasi yang berjalan sukses di Tanah
Air. Tetapi, harus diingat bahwa hal itu hanya demokrasi prosedural, sedangkan
secara substansi, demokrasi kita gagal. Lebih parah lagi, politik di Indonesia
diperburuk dengan politik transaksional yang sangat berbahaya. Maka, politik
dagang sapi pun terus mengancam negara.
Namun, harus pula diakui bahwa
reformasi telah memberikan sebuah warna pada bangsa ini. Terjadi sebuah
perubahan besar, tetapi tidak lantas membawa perubahan mendasar sebagaimana
agenda reformasi 1998 dan cita-cita nasional. Sebaliknya, kehidupan berbangsa
dan bernegara makin terpuruk karena wajah politik Indonesia tidak bermoral.
Karena itu, banyak hal yang masih
menjadi pekerjaan rumah (PR) terutama bagi para pemimpin bangsa ini. Sebut
saja, mulai dari berbagai kasus korupsi yang melibatkan elite bangsa, kekerasan,
ketidakadilan, karut-marut politik, persoalan migas hingga harga BBM yang tidak
jelas dan memberikan kekhawatiran bagi rakyat. Masih banyak persoalan bangsa
yang semuanya masuk dalam agenda reformasi.
Bangsa ini seperti tidak tahu apa
yang seharusnya dilakukan. Karena itu, bagi Indonesia baru dengan agenda
reformasi, harus ada blue print (cetak biru) reformasi. Salah satunya, harus
jelas haluan dari negara dalam menjalankan amanat reformasi--haluan negara
berupa konsensus seluruh rakyat. Jika itu ada, maka pemimpin Indonesia hanya
memerlukan pendekatan kepada rakyat yang dipimpinnya. Tidak harus menyerahkan
sepenuhnya pada visi dan misinya saja.
Implikasi tanpa sebuah haluan
negara, saat terjadi perubahan, saat itu pula agen-agen asing berkeliaran. Mereka
gencar melakukan intervensi, mengeruk kekayaan alam Indonesia. Tak dinafikan,
mereka menguasai kekayaan alam dan "menjarah" kekayaan alam
Indonesia.
Penguasaan asing itu menggambarkan
adanya distorsi dan deviasi dari cita-cita nasional bangsa seperti tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945. Kondisi itu membuat terjadinya kesenjangan
kesejahteraan yang dirasakan rakyat Indonesia.
Namun, tetap ada peluang untuk
memperbaiki kondisi tersebut. Masih ada sisa-sisa optimisme untuk memperbaiki
bangsa ini karena kita bangsa besar. Hanya saja, apabila kesempatan untuk
memperbaiki diri itu kehilangan momentum dan tidak segera dilakukan, maka
tamatlah bangsa ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar