|
KORAN TEMPO, 24 Mei 2013
Tersiar kabar dari media bahwa Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono akan menerima World Statesman
Award dari Appeal of Conscience
Foundation (ACF). Di website resmi ACF, tidak dijelaskan alasan kenapa SBY
dianugerahi World Statesman Award
(WSA). Namun, bila melihat visi dan misi ACF, penganugerahan ini berkaitan
dengan sosok SBY yang dipandang berhasil dalam memperjuangkan penegakan hak
asasi manusia, kebebasan beragama, toleransi antar-umat beragama, dan
penyelesaian konflik etnis secara damai.
Wajar bila ada pertanyaan mengenai kredibilitas ACF, karena
lembaga ini asing di telinga publik Indonesia. Penulis mendapat informasi bahwa
ACF adalah "lembaga kecil yang biasa-biasa saja". Reputasi lembaga
ini jauh di bawah lembaga-lembaga internasional di Amerika Serikat (AS),
seperti World Conference on Religion for
Peace, Freedom House, World Movement for Democracy, atau Human Rights Watch.
Kriteria penganugerahan WSA pun tidak jelas dan transparan.
Para aktivis dan lembaga yang memperjuangkan HAM serta kebebasan beragama di
Indonesia tidak ada satu pun yang merasa diajak "ngobrol" mengenai
WSA. Informasi lain mengatakan, Rabbi Arthur Schneier, pendiri AFC, adalah
seorang rabbi yang tinggi hati dan elitis, namun mempunyai kemampuan lobi kuat
dengan para pengambil kebijakan di AS. Pada 1998, Presiden Bill Clinton
mempercayainya untuk memulai dialog mengenai kebebasan beragama dengan Presiden
Cina Jiang Zemin. Misi ini tidak berbuah apa pun kecuali melambungkan reputasi
pribadi Rabbi Schneier sebagai "orang dekat" Gedung Putih. Reputasi
inilah yang ia pergunakan untuk melobi para pemimpin dunia, seperti untuk
menerima WSA. Pintu lobi-lobi elitis inilah yang bisa menerangkan nominasi SBY
sebagai penerima WSA tahun ini.
Sosok negarawan
Kata statesman dapat diartikan sebagai
"negarawan". Pertanyaannya: layakkah SBY menyandang predikat sebagai
seorang negarawan, terutama bila dikaitkan dengan komitmennya terhadap
kebebasan beragama dan proteksi hak minoritas?
Ada dua cerita menarik dari AS yang dapat menggambarkan
bagaimana sosok negarawan sejati. Pertama, tindakan tegas Presiden Eisenhower
menyelesaikan "Krisis Little Rock". Pada 1950-an, masyarakat AS
terbelah oleh isu pro dan kontra segregasi berdasarkan warna kulit. Beberapa
pemerintah negara bagian masih berpihak kepada supremasi kulit putih, meskipun
Mahkamah Agung AS pada 1954 telah memutuskan bahwa segala praktek segregasi
rasial pada institusi pendidikan adalah inkonstitusional.
Gubernur Arkansas, Orval Faubus, berkeras menolak proses
desegregasi. Bahkan, pada musim gugur tahun 1957, Orval Faubus mengirim tentara
untuk memagari "sekolah kulit putih", The Little Rock Central High School, agar tidak dimasuki sembilan
pelajar kulit hitam. Ketegangan antar-ras memuncak. Unjuk rasa dari yang pro
dan kontra semakin panas.
Mendengar hal ini, tidak tanggung-tanggung, Presiden
Eisenhower mengirim tentara dari The 101
Airborne Division untuk menjamin keamanan dan mengawal sembilan pelajar
kulit hitam untuk memasuki sekolah. Eisenhower juga mengambil kendali atas 10
ribu tentara Negara Bagian Arkansas dari tangan Orval Faubus agar tidak disalahgunakan.
Bayangkan, seorang presiden dari tempat liburannya membuat sebuah keputusan
besar, penting, dan tegas guna memproteksi hak-hak minoritas yang dijamin
konstitusi.
Cerita kedua terjadi sekitar tahun 2010 ketika publik AS
terbelah oleh isu kontroversial mengenai rencana pendirian sebuah masjid di
(dekat) Ground Zero. Survei
menunjukkan mayoritas penduduk AS tidak setuju dengan rencana itu. Namun,
secara mengejutkan, Presiden Barack Obama pada acara buka puasa bersama di
Gedung Putih mendeklarasikan dukungannya terhadap rencana kontroversial itu.
Tanpa tedeng aling-aling, Obama mengatakan: "….Saya
percaya bahwa muslim mempunyai hak yang sama untuk melaksanakan agama mereka
sebagaimana pemeluk agama lain. Dan ini termasuk hak untuk membangun tempat
ibadah dan community centre di Lower Manhattan (daerah Ground Zero) sesuai dengan hukum yang
berlaku. Ini adalah Amerika. Komitmen kita untuk kebebasan agama tidak akan
pernah tergoyahkan!"
Obama bukan presiden bodoh yang tidak mengetahui
kecenderungan sentimen publik. Bila Obama hanya ingin menjadi presiden pesolek,
tidak perlu ia mengatakan hal di atas, yang justru menambah sentimen negatif
terhadap dirinya dan Partai Demokrat yang ketika itu akan mengikuti pemilu
sela.
Namun ada saatnya seorang negarawan "pasang
badan" untuk menegakkan prinsip-prinsip dasar negara modern, termasuk
menjamin kebebasan beragama, tanpa peduli pada bedak dan citra diri. Inilah
sikap seorang negarawan: berani melawan arus publik demi menegakkan sendi-sendi
negara dan konstitusi.
Silakan para pembaca membandingkan kepemimpinan Eisenhower
dan Obama dengan SBY dalam membela hak minoritas. Ketika seorang pendeta
ditusuk oleh "preman berjubah" di Bekasi, SBY mengutus Menteri
Kesehatan dengan membawa "kabar gembira" bahwa seluruh biaya
pengobatan akan ditanggung negara. Persis seperti SBY mengirim staf khususnya
untuk memberikan uang kepada Tasrifin (Cilacap) tanpa menyentuh akar
masalahnya.
Seorang kawan baru saja kembali dari Transito, barak
pengungsian jemaah Ahmadiyah di Mataram. Tujuh tahun yang lalu, rumah, kebun,
dan ladang mereka dibakar kelompok intoleran tanpa ada perlindungan dari
aparat. Tujuh tahun pula nasib 35 keluarga ini terlunta-lunta tanpa ada
perhatian sama sekali dari pemerintah. Ke mana SBY? Mungkin ia sibuk mengurus
partainya yang hampir karam karena korupsi.
Jalan terjal
WSA yang akan diterima SBY adalah "kado terbaik"
bagi MAARIF Institute, yang bulan
depan akan merayakan usia kesepuluh. WSA adalah pernyataan bahwa perjalanan
menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan beragama, yang merupakan salah satu
fokus kerja MAARIF Institute, masih panjang, terjal, dan berliku. Sembilan
tahun pemerintahan SBY adalah masa kelam ketika orang merasa sah melakukan
anarkisme dan membunuh asalkan dilakukan secara berjemaah dan mengatasnamakan
agama.
Selamat satu dekade MAARIF
Institute! Semoga pada 2014 Ibu Pertiwi melahirkan seorang negarawan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar