Sabtu, 25 Mei 2013

Festive Culture

Festive Culture
Komaruddin Hidayat ;  Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
KORAN SINDO, 24 Mei 2013



Dari sekian banyak predikat yang dilekatkan pada manusia, salah satunya adalah homo festivus. Ini karena manusia sangat senang dan kreatif mencipta acara festival, acara pesta perayaan. 

Coba saja perhatikan, masyarakat dan bangsa mana pun di dunia pasti memiliki tradisi festival yang pada umumnya dan pada mulanya berkaitan dengan keyakinan keagamaan. Banyak festival yang sampai sekarang masih kental warna agamanya, namun banyak juga yang dimensi agamanya hilang, yang bertahan tinggal festivalnya yang bersifat profan. Acara festival selalu tampil dalam bentuk kemeriahan publik, disertai nyanyian-nyanyian dan tarian. 

Mengapa festival selalu bertahan dan dipertahankan? Satu, festival mampu mengikat emosi warga komunitas, mengusir rasa sepi dan terasing dari komunitasnya. Seseorang dengan mudah lebur ke dalam keramaian publik, terlebih lagi jika ada musik dan tarian massal. Lebih semangat lagi jika festival itu diperlombakan, maka emosi dan identitas kelompok kian menguat. 

Dua, festival bisa mengobati kegelisahan (axiety) warga masyarakat ketika merasa kehilangan makna dan arah dalam hidup, sehingga dengan festival mereka diingatkan akan nilainilai warisan masa lalu serta cita-cita hidup yang lebih tinggi, terutama ketika seseorang ikut festival keagamaan. Yang paling kolosal adalah festival haji. Sebuah ritual keagamaan yang dirayakan secara spektakuler, melewati sekatsekat etnis dan bangsa, yang semuanya terarah untuk memuji Allah. 

Di situ terdapat unsur bacaan puji-pujian, gerakan yang terstruktur, dan pakaian ihram yang khas. Tiga, setiap festival selalu melahirkan suasana kegembiraan dalam kebersamaan. Dimensi estetika tak pernah ketinggalan. Dalam festival budaya, olahraga dan kenegaraan selalu mengundang kreasi baru dari tahun ke tahun. 

Dalam festival kenegaraan, faktor uang dan ongkos lain yang diperlukan, tak lagi menggunakan logika bisnis. Negara tak segan-segan mengeluarkan biaya tinggi. Di situ telah terjadi sakralisasi dan mitologi, sekalipun di luar domain agama. Kalau dalam ritual agama terjadi sakralisasi terhadap simbol dan instrumen keagamaan, dalam festival kenegaraan sakralisasi dilekatkan pada simbol-simbol negara seperti bendera, tanah air, dan para pahlawan bangsa. 

Di luar festival agama dan negara, masyarakat juga sangat kreatif dan produktif mencipta festival lain. Misalnya peristiwa ulang tahun, pernikahan, open house, dan lainnya. Semakin banyak penduduk bumi, semakin banyak jumlah dan ragam penyelenggaraan festival. Mari kita amati kehidupan sekeliling kita sendiri maupun melalui pemberitaan di media massa. 

Selalu saja ada panggung pesta, perayaan, perlombaan karya seni, dan ritual kehidupan yang memiliki pola sama, lalu diulang- ulang dengan berbagai modifikasi dan tambahan aksesori seiring dengan kemajuan teknologi. Indonesia, yang dikenal sebagai masyarakat majemuk, sungguh kaya ragam festival yang diselenggarakan masyarakatnya. 

Kini kemajemukan tadi ditambah lagi oleh munculnya ormas, parpol, forum, paguyuban, asosiasi hobi, organisasi profesi, dan entah apa lagi yang masing-masing pasti memiliki agenda festival, sehingga mendorong lahirnya apa yang disebut festiveculture. Tren ini tentu menjadi sasaran dan peluang bagi kalangan perancang mode, koreografer, dan industri hiburan serta media sosial seperti televisi. 

Di luar keluh kesah dan hiruk-pikuk kegiatan politik dengan bumbu korupsi yang kadang menyebalkan, festival kehidupan tetap berjalan dan semakin meriah karena telah membaur berbagai ritme, gaya dan pola hidup dalam panggung budaya dan agama. Saya sering tercenung ketika duduk di airport, mengamati lalu-lalang orang melakukan perjalanan. Bandar udara selalu saja ramai dan masing-masing pribadi atau kelompok memiliki agenda serta tujuan yang berbeda. 

Di situ terdapat kemeriahan, kegembiraan, keluh kesah, kekecewaan, dan perasaan lain, namun semuanya berlangsung bagaikan sebuah ritme dan festival kehidupan itu sendiri. Hal serupa juga terjadi di perkantoran, mal, pusat-pusat industri, kantor birokrasi dan sebagainya. Sekali lagi, hidup itu sendiri merupakan festival yang mesti dirayakan. Bagaimana cara mencapainya dan untuk kepentingan apa dan siapa, serta apa niatnya, tergantung pribadi masing-masing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar