|
KOMPAS, 08 Mei 2013
Since
man cannot live without miracles, he will provide himself with miracles of his
own making. He will believe in witchcraft and sorcery, even though he may
otherwise be a heretic, an atheist, and a rebel (Karena manusia tidak bisa
hidup tanpa keajaiban, ia akan menciptakan keajaiban untuk dirinya. Ia akan
percaya segala ilmu gaib dan ramalan, meskipun kalau tidak, ia bisa jadi
seorang penista agama, ateis, atau pemberontak). Fyodor Dostoyevsky, Sastrawan
Rusia (1821-1881)
Begitulah kisah dukun, penyihir, peramal,
atau apa pun namanya, berawal. Kebencian sekaligus kerinduan manusia pada
kegaiban memang telah berlangsung panjang. Dipercaya mulai tumbuh pada Zaman
Batu, mereka yang menguasai ilmu gaib mendapat tempat istimewa dalam
komunitasnya. Mereka dihormati, menjadi sumber segala kebijakan, serta
mengatasi penyakit dan masalah.
Ilmu sihir umumnya didefinisikan sebagai
penggunaan kekuatan gaib untuk memengaruhi orang, masyarakat, atau suatu
peristiwa. Namun, ketika peradaban mulai bersentuhan dengan agama, mereka yang
terkait dengan ilmu sihir memasuki masa suram.
Masa paling kelam itu—bahkan dalam sejarah
hak asasi umat manusia—berlangsung di Eropa pada abad ke-6-8. Paganisme,
lengkap dengan kegaiban di dalamnya, dianggap sebagai kekuatan jahat. Maka,
mereka yang dituduh sebagai tukang sihir ditangkap dan dihukum mati. Perburuan
dan pembunuhan terus berlangsung pada abad ke-13, 15, dan 17, juga di
negara-negara koloni Amerika.
Tonggak pengetahuan
Namun, di belahan dunia lain, ilmu gaib masih
mendapat tempat. Suku-suku di Afrika menempatkan para dukun sebagai narasumber
untuk menjawab segala hal, mulai dari ketidakberuntungan hingga kematian.
Budaya yang sudah berlangsung ratusan tahun
itu muncul ke permukaan ketika Sir Edward Evans-Pritchard—yang kemudian menjadi
Guru Besar Antropologi Sosial di Universitas Oxford, Inggris—melakukan studi
etnografi terhadap suku Azande di kawasan Sudan Selatan, tahun 1920-an.
Berjudul Witchcraft Oracle, and Magic
among the Azande, penelitian itu mengungkap kearifan lokal suku Azande
sekaligus menjadi tonggak pemahaman terhadap ilmu gaib. Buku Evans-Pritchard
jadi bacaan wajib antropologi di sejumlah universitas terkemuka Eropa, bahkan
hingga sekarang.
Suku Azande tinggal di padang savana. Mereka
hidup dari berladang, berburu, memancing, dan mengumpulkan hasil hutan.
Masyarakat Azande menyukai rayap dan selalu memelihara unggas. Dua hal yang
berperan penting dalam kehidupan mereka: rayap sebagai makanan lezat dan unggas
sebagai medium segala persoalan pelik: mulai dari perselingkuhan hingga
kematian.
Jawaban seorang dukun bergantung pada reaksi
ayam yang dipaksa menelan racun: bubuk merah yang diekstrak dari tumbuhan
menjalar di hutan. Dosis yang diberikan biasanya cukup untuk membuat unggas
domestik kejang-kejang lalu mati. Namun, tak jarang ayam itu bertahan dan sehat
lagi.
Evans-Pritchard membawa bubuk racun itu ke
Inggris untuk diuji di laboratorium. Hasilnya: racun mengandung analog strychnine,
senyawa kimia yang bisa menimbulkan kematian, bahkan pada manusia.
Dukun di Indonesia
Berbagai penelitian tentang dukun juga pernah
dilakukan di Indonesia. Salah satunya adalah etnografi klasik karya Clifford
Geertz, The Religion Of Java (1960). Geertz mengelompokkan dukun di Jawa
menjadi dukun penyembuh, dukun tiban, dukun santet, dan dukun adat.
Dalam buku The Javanese Dukun (1991)
yang ditulis Parsudi Suparlan disebutkan, dukun yang memiliki kuasa atas
kekuatan baik dan jahat bisa jadi penghubung antara makrokosmos dan
mikrokosmos. Inilah yang kemudian didefinisikan antropolog Koentjaraningrat
sebagai kepercayaan terhadap kekuatan supernatural dalam hubungan yang timbal
balik. Ilmu gaib ini juga berkait dengan berbagai fenomena alam, benda pusaka,
ataupun jimat. Maka, setiap kali mencari kejelasan atas suatu
peristiwa—bencana, kelahiran, perkawinan, masa depan—orang akan meminta bantuan
seorang dukun sebagai penghubung makrokosmos dan mikrokosmos.
Namun, berbeda dengan dukun penyembuh dan
dukun adat yang masih mendapat tempat terhormat di beberapa tempat, dukun
santet dianggap sebagai musuh masyarakat dan musuh agama yang terus diperangi.
Dukun santet
Sejarah Indonesia juga mencatat peristiwa
hitam, bahkan pada zaman modern ini, ketika ratusan orang tewas dibantai dengan
tuduhan dukun santet. Peristiwa itu terjadi sepanjang tahun 1998 di desa-desa
di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Jember, Pasuruan,
Pamekasan, dan Sampang, Jawa Timur. Ironisnya, daerah itu merupakan
kantong-kantong masyarakat Nahdlatul Ulama.
Fakta ini harus menjadi pertimbangan penting,
mengingat pemerintah memasukkan isu santet (Pasal 293) dalam revisi Kitab
Undang-undang Hukum Pidana.
Dalam artikelnya, ”Santet: Budaya dan
Kejahatan” (Kompas, 12/4/2013), antropolog Amich Alhumami menjelaskan, santet
harus dipahami dalam tiga kategori perbuatan: santet yang menyebabkan orang
lain menderita, anarki akibat syak wasangka terhadap seseorang yang dituduh
dukun santet, ataupun tindakan main hakim sendiri terhadap seseorang yang
dituduh dukun santet.
Tanpa kehati-hatian, apalagi mengingat
sejarah panjang bangsa Indonesia, pasal santet bisa menjadi sumber fitnah dan
konflik. Tanpa isu santet pun, anarki dan tindakan main hakim sendiri sudah
berulang kali terjadi. Sebutlah kasus-kasus penyerbuan Ahmadiyah, atau yang
lebih ke belakang: pembunuhan ratusan ribu anak bangsa yang dituduh sebagai
anggota PKI.
Masih akan kita ulangkah tragedi ini? Masih
kurangkah darah dan air mata yang tertumpah? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar