Sabtu, 25 Mei 2013

Mengapa Yudhoyono Ngotot Menerima ‘World Statesman Award’?

Mengapa Yudhoyono Ngotot
Menerima ‘World Statesman Award’?
Antonius Made Tony Supriatma ;  Kontributor IndoPROGRESS
IndoPROGRESS, 24 Mei 2013


KONTROVERSI pemberian penghargaan kepada Presiden Yudhoyono semakin menunjukkan keganjilan. Semakin diamati, tampak semakin aneh dan semakin mengundang pertanyaan. Bisa dikatakan ganjil karena pertama, organisasi yang memberikan penghargaan tersebut the Appeal of Conscience Foundation,  bukanlah sebuah organisasi ternama. Organisasi ini adalah sebuah organisasi kecil yang tidak jelas orientasinya. Dalam website-nya mereka mengklaim ingin menegakkan perdamaian dengan melibatkan tokoh-tokoh lintas agama dan tokoh-tokoh bisnis. Organisasi ini memberikan penghargaan kepada tokoh bisnis dan tokoh politik. Ada tiga kepala negara yang diberi penghargaan, yaitu mantan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, Kanselor Jerman Angela Merkel, dan PM Kanada Stephen Harper. Saya tidak tahu apakah ini kebetulan atau tidak, ketiga kepala negara penerima penghargaan ini berasal dari kalangan kanan-konservatif.

Pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh ini mungkin memperlihatkan kuatnya pengaruh Foundation ini, terutama pendirinya, Rabbi Arthur Schneier. Namun, tidak dengan serta merta menempatkan Foundation ini sebagai lembaga berwibawa, yang penghargaannya bisa dipergunakan oleh penerimanya untuk menyampaikan pesan yang ingin disampaikan oleh pemberinya. Misalnya, penerima Nobel Perdamaian jelas akan dihormati pendapatnya karena penerimanya itu membawa pesan dari Komite Nobel dalam hal perdamaian.
Kedua, tidak pernah ada kejelasan apa yang menjadi kriteria pemberian ‘World Statesman award’ ini. Walaupun hanya dalam lingkup Asia, hadiah Raymond Magsaysay rasanya lebih memberi bobot ketimbang ‘World Statesman Award’ ini. Itu karena pemberian Raymond Magsaysay dilakukan setelah melewati pertimbangan yang serius dan melibatkan orang-orang yang memiliki reputasi dan kapasitas untuk itu.
Ketiga, The Appeal of Conscience Foundation tampaknya menutup diri dari segala macam upaya untuk menggali informasi terhadap pemberian hadiah ini. Semua upaya wawancara atau dialog ditolak. Upaya Rev. Max Soerjadinata, seorang pendeta asal Indonesia yang berdomisili di New York, untuk bertemu dengan pihak Foundation ditolak. Padahal Pendeta Max hanya ingin menyampaikan keterangan tentang keadaan kehidupan beragama dan toleransi di Indonesia. Beliau hanya diijinkan menyampaikan surat lewat security (satpam) dari Foundation ini di pintu masuk. Penolakan untuk berdialog, memberikan informasi, dan menanggapi berbagai macam protes yang masuk, tentu mengundang tanda tanya besar.

Sementara pihak pemberi penghargaan diam seribu bahasa, pihak administrasi Presiden Yudhoyono dan pendukung-pendukungnya gencar melakukan serangan terhadap orang-orang yang keras bersuara terhadap pemberian penghargaan tersebut. Ini terlihat dari serangan Sekretaris Kabinet Dipo Alam kepada pastur Katolik Frans Magnis Suseno, SJ, yang keras mengritik pemberian penghargaan itu. Dipo Alam mengatakan bahwa Magnis berpikiran dangkal dengan mengangkat persoalan minoritas ke forum internasional. Dia mengatakan itu seraya mengecilkan soal Ahmadiyah, Syiah, GKI Yasmin dibandingkan dengan hidup 250 juta rakyat Indonesia.
Agak lucu juga melihat, di tengah demikian banyak kritik yang dilancarkan dari dalam dan luar negeri, hanya pastur Magnis-lah yang menjadi sasaran ‘coordinated attack’ dari kalangan dekat presiden Yudhoyono. Tapi ini bisa dimaklumi. Pastur Magnis adalah sasaran paling lemah. Seolah tidak menyadari, Dipo Alam dalam tweet-nya yang banyak dikutip oleh pers, berusaha menggiring persoalan menjadi Muslim-Non Muslim. Persis seperti yang terjadi di daerah-daerah dimana agama dipolitisasi sedemikian rupa dengan menciptakan politik pembilahan seperti yang dilakukan Dipo Alam. Dengan membikin dikotomi seperti itu, Dipo Alam sesungguhnya justru memperkuat dugaan banyak orang, bahwa administrasi pemerintahan Presiden Yudhoyono memang memakai politik mayoritas-minoritas untuk berkuasa.

Lapis kedua yang memberikan pembelaan berasal dari pendukung presiden Yudhoyono – atau paling tidak mendukung sementara untuk suatu kepentingan tertentu. Argumen yang disampaikan sebenarnya juga tidak kalah ganjil. Mereka mengatakan bahwa penghargaan ini diberikan tidak kepada presiden Yudhoyono pribadi, tetapi kepada bangsa Indonesia. Saya katakan agak ganjil karena penghargaan ini bertajuk ‘World Statesman Award.’ Para pelajar bahasa Inggris tingkat pemula akan segera mahfum bahwa penghargaan ini ditujukan kepada orang perorangan. Yakni dengan mengangkat atau memberikan pengakuan bahwa si penerimanya adalah ‘negarawan dunia’ (world statesman – singular!) Jadi ya mestinya ini kan ditujukan kepada pribadi presiden Yudhoyono.

Pembelaan yang kesannya sangat ngotot dari lingkaran dalam dan pendukung Yudhoyono serta sikap diam dari pihak the Appeal of Conscience, tentu membikin saya penasaran. Sampailah dua hari yang lalu, ada satu artikel muncul di majalah online Tablet. Pengarangnya adalah seorang akademisi dari Boston University, Jeremy Menchik. Dia bukan orang yang sama sekali buta tentang Indonesia. Sebaliknya, dia sangat well-informed, sangat tahu seluk beluk masyarakat Indonesia. Jeremy menulis disertasi tentang toleransi umuat beragama di Indonesia. Dia mengumpulkan data-data tentang tokoh-tokoh umat Islam. Dia juga mengumpukan ribuan fatwa yang pernah dikeluarkan oleh ulama-ulama Indonesia.

Seperti saya, Jeremy Menchik juga dihinggapi teka-teki: Mengapa Rabbi Arthur Schneier memberikan penghargaan kepada presiden Yudhoyono? Dalam tulisan yang berjudul, New York Rabbi’s Awful Award, Menchik sempat menyinggung beberapa kemungkinan. Apakah presiden Yudhoyono mendapatkan penghargaan ini karena dia dipandang sebagai pemimpin dari negeri ‘Muslim yang moderat’ – yang dalam hal ini mungkin harus dipahami sebagai pemimpin yang tidak mencap Israel sebagai setan di forum Sidang Umum PBB? Ataukah pihak Rabbi Schneier sendiri sebenarnya tahu track record dari Yudhoyono, tetapi karena sadar bahwa pengaruhnya di dunia internasional makin membesar, maka Schneier mengesampingkan catatan HAM yang dimiliki oleh Yudhoyono?

Tablet adalah sebuah majalah online yang khusus mengulas kehidupan, seni, dan ide-ide dari etnik Yahudi. Majalah ini dua kali memenangkan hadiah ‘National Magazine Award,’ sebuah penghargaan prestisius khusus untuk majalah. Tulisan-tulisan yang muncul disini dikenal sangat berbobot. Pada bulan Juni, 2011, majalah ini menurunkan feature panjang tentang Rabbi Marc Schneier, anak dari Rabbi Arthur Schneier, yang dijuluki sebagai ‘rabbi to the stars’ itu.

Tulisan di majalah Tablet tersebut semakin membikin penasaran. Mengapa sebuah majalah etnik Yahudi terkemuka justru memuat tulisan yang bernada tidak setuju dengan penghargaan ‘World Statesman Award’ itu? Secara hampir bersamaan, sebuah artikel muncul di harian The Haaretz, sebuah suratkabar yang terbit di Israel dan berhaluan liberal-kiri. Artikel itu berjudul agak panjang, Jewish group gives tolerance award to Indonesian leader blamed for crackdown (Kelompok Yahudi memberikan hadiah toleransi kepada pemimpin Indonesia yang dipersalahkan karena tindak kekerasan). Tulisan di The Haaretz ini banyak bercerita tentang diskriminasi dan kekerasan atas nama agama di Indonesia.

Kita tahu bahwa etnik Yahudi juga terbagi-bagi atas berbagai macam aliran keagamaan, pandangan politik, dan kebudayaan. Dengan kata lain, mereka sangat majemuk. Dua media yang disebutkan di atas secara kebetulan adalah media yang berorientasi kiri-liberal. Tetapi, secara dalam tata politik Amerika, tampaknya Rabbi Arthur Shcneier lebih berorientasi pada partai Demokrat yang liberal. Dia dekat dengan Presiden Clinton.
Apakah yang menjadi motivasi orang-orang sekitar pemerintahan presiden Yudhoyono untuk menerima penghargaan ini? Itu yang menjadi pertanyaan besar saya yang lain. Apakah orang-orangnya presiden yang me-lobby the Appeal of Conscience Foundation untuk memberikan penghargaan itu? Pada website dari Foundation ini, memang disebutkan bahwa ada delegasi dari Indonesia pada 4 Februari 2013. Mungkinkah delegasi ini yang melakukan  lobby? Atau ada pihak lain?

Sebaliknya, orang juga bisa berspekulasi bahwa ini semua berkaitan dengan habisnya masa kepresidenan Yudhoyono. Dari beberapa kawan wartawan (yang kebetulan koresponden asing), saya pernah mendengar bahwa presiden Yudhoyono sudah mulai melihat peluang di dunia internasional untuk mengisi waktu setelah tidak menjabat sebagai presiden. Adakah penghargaan ini terkait dengan usaha memasuki dunia internasional itu? Ada yang berspekulasi bahwa Yudhoyono membutuhkan ‘lobby Yahudi’ untuk masuk ke dunia internasional. Kalau iya, posisi apa yang diinginkan? Apakah presiden Yudhoyono mengincar kursi Sekjen PBB?
Saya sendiri cenderung untuk tidak yakin akan dugaan ini. Posisi Sekjen PBB sekarang dijabat oleh orang Asia, Ban Ki-Moon dari Korea Selatan. Jabatan ini biasanya digilir antar-benua. Jadi tertutup kemungkinan untuk menjadi Sekjen PBB. Tapi bagaimana dengan posisi badan-badan PBB yang lain? Itu mungkin saja. Tetapi perlu diingat bahwa yang memegang peranan dalam lembaga-lembaga PBB adalah negara-negara anggota, yang sebagian besar adalah negara berkembang itu. Yudhoyono dikenal lebih dekat dengan negara-negara maju ketimbang bergaul dan menggalang solidaritas sesama negara berkembang dan miskin.
Hal yang membikin saya sulit untuk memahami adalah mengapa Yudhoyono mau menerima penghargaan ini? Tidak ada keuntungan sedikit pun yang didapat oleh presiden dengan menerima penghargaan dari sebuah organisasi yang tidak dikenal ini. Organisasi ini tidak menawarkan akses apapun ke dunia internasional. Sebaliknya, karena expose media yang demikian besar, sampai-sampai media seperti Tablet dan The Haaretz pun meluangkan ruang mereka untuk membahasnya. Tentulah ini bisa menjadi public relations disaster untuk presiden Yudhoyono. Kalau seandainya media seperti The New York Times atau Wahsington Post ikut-ikutan mengulasnya, lengkaplah sudah bencana public relations itu. Untuk presiden yang sangat cermat menjaga citra dirinya, ini tentu bukan kabar yang menyenangkan.

Terakhir, siapa yang diuntungkan? Untuk saya, pemberian penghargaan ini kayaknya lebih untuk kepentingan the Appeal of Conscience Foundation ketimbang untuk presiden Yudhoyono. Seraya dihinggapi banyak teka-teki dalam soal pemberian penghargaan ini, tiba-tiba saya teringat akan cerita Hans Christian Andersen yang berjudul ‘The Emperor’s New Clothes’yang versi bahasa Indonesianya didongengkan kepada saya waktu saya kanak-kanak. Pemberian penghargaan ini setidaknya memungkinkan kita untuk melihat dan mendiskusikan kembali semua track record dari administrasi pemerintahan presiden Yudhoyono. Banyak hal harus dijelaskan kembali oleh Yudhoyono. Dengan menerima penghargaan dari organisasi yang memajukan toleransi, Presiden Yudhoyono akan dipaksa untuk menjelaskan semua track-record-nya. Jika itu dilakukan dengan cara seperti yang ditampilkan oleh pembantunya, Dipo Alam, maka orang akan semakin bertanya. Waktu semakin sempit untuk Pak Presiden. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar