Sabtu, 25 Mei 2013

Inpres Moratorium Hutan Jilid II

Inpres Moratorium Hutan Jilid II
Deni Bram ;  Kandidat Doktor Hukum Lingkungan Universitas Indonesia
MEDIA INDONESIA, 23 Mei 2013


TEPAT sepekan sebelum Inpres Moratorium Hutan berakhir pada 20 Mei 2013, Presiden memperpanjang napas dari regulasi eksekutif tersebut dengan hadirnya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2013. Berbagai bentuk respons diberikan terkait dengan hadirnya ketentuan yang bersumber dari Inpres Nomor 10 Tahun 2011 itu. Instruksi Presiden itu dilahirkan pada jilid pertama dalam suasana pemerintah Indonesia membuktikan komitmen kepada Norwegia terkait pelaksanaan letter of intent yang mewajibkan Indonesia untuk melakukan moratorium izin di bidang kehutanan.

Dalam konteks itu terlihat bahwa semangat melindungi sumber daya hutan justru didorong pihak asing dengan iming-­iming uang serta menggerus kesadaran dan kedaulatan Indonesia. Hadirnya instruksi itu tidak tanggung-tanggung, diturunkan kepada instansi terkait yang meliputi pihak Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Kepala Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional hingga kepada tataran kepala daerah di tingkat gubernur dan bupati/wali kota.

Kondisi itu menunjukkan sekali lagi bobroknya kondisi kesadaran terhadap paru-paru dunia di Indonesia yang dijadikan down payment dalam rangka memenuhi kriteria surat niat Indonesia-Norwegia.

Refleksi moratorium jilid pertama

Namun, menjadi menarik jika kita selisik inpres moratorium jilid pertama menentukan wilayah penerapan moratorium izin baru terbatas pada wilayah yang termasuk peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) yang diamanatkan untuk dilakukan revisi setiap enam bulan. Hingga saat ini, PIPIB telah dirilis sebanyak tiga kali.

Dalam PIPIB versi pertama yang dirilis Kementerian Kehutanan terlihat bahwa luas wilayah moratorium sebanyak 69.144.073 hektare. Sementara itu, dalam versi terakhir dalam PIPIB ketiga luas wilayah moratorium hanya tersisa sebanyak 64.796.237 hektare. Fakta itu menunjukkan bahwa kondisi wilayah yang termasuk penundaan izin baru terusmenerus mengecil dan justru akan memberikan peluang tersendiri.

Kondisi itu menunjukkan afirmasi bahwa tujuan lahirnya instruksi presiden itu hanya mengejar keuntungan dana dari Norwegia an sich sehingga menyebabkan tidak tercapainya laju pengurangan hutan secara substansial, tapi hanya berbasis waktu yang tidak terukur dan indah kabar dari rupa. Hal pelik lainnya yang menyentuh tataran substansi pengurangan laju deforestasi hadir pada saat skala yang digunakan berbasis 1: 250 ribu.

Kondisi itu tentu menyulitkan pada tataran implementasi karena begitu besar satuan yang digunakan membuat wilayah yang termasuk menjadi absurd dan justru memicu konflik penafsiran terhadap kondisi yang ada. Hal itulah yang membuat pemerintahan pada tingkat lokal justru enggan menata instruksi presiden terkait moratorium jilid pertama.

Indah kabar dari rupa

Serangkaian masalah yang hadir dari inpres jilid pertama bukannya tidak diketahui atau tidak diberi tahu, melainkan berbagai bentuk kajian, seminar, dan forum diskusi sudah dilaksanakan dan telah melalui proses diseminasi secara terus-menerus. Kurun waktu dua tahun tentu bukan waktu yang sebentar untuk dapat mengambil pembelajaran sehingga berbagai cerita buruk di masa lalu dapat lebih terobati dan dapat memberikan solusi yang lebih substansial.

Namun, ekspektasi tersebut gugur saat hadirnya instruksi presiden moratorium jilid II tidak mengubah apa pun kecuali tenggat keberlakuan dari inpres terdahulu. Hal itu membuat seolah memberikan harapan di tengah kepungan masalah yang ada. Berkaca dari dua tahun proses terdahulu, paling tidak terdapat beberapa masukan yang lebih substansial. Yaitu, pertama, penundaan pemberian izin hutan sebaiknya tidak ber basis waktu, tapi berbasis capaian. Merujuk pada angka penurunan laju deforestasi tertentu, upaya melestarikan hutan diharapkan dapat lebih gesit. Mencontoh kepada Brasil yang menyentuh angka deforestasi terendah selayaknya kita dapat lakukan lesson learnt untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.

Selanjutnya, melakukan penyempurnaan terkait dengan hal­hal yang teknis, tapi memiliki peranan penting seperti luasan daerah yang termasuk PIPIB serta skala yang digunakan. Hal itu penting untuk menyamakan visi dan tujuan terkait penyelamatan hutan dan semangat otonomi daerah sekarang ini.


Terakhir, yang merupakan basis dan alas pikir utama hendaknya upaya penyelamatan lingkungan dan penundaan pemberian izin hutan itu mampu menjadi instrumen diseminasi dari pemerintah untuk menunjukkan pentingnya hutan dalam kehidupan. Dengan konstruksi berpikir seperti itu, ada atau tidaknya bantuan asing menjadi tidak penting guna menyelamatkan anak cucu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar