|
MEDIA INDONESIA, 23 Mei 2013
TEPAT sepekan sebelum Inpres
Moratorium Hutan berakhir pada 20 Mei 2013, Presiden memperpanjang napas dari
regulasi eksekutif tersebut dengan hadirnya Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun
2013. Berbagai bentuk respons diberikan terkait dengan hadirnya ketentuan yang
bersumber dari Inpres Nomor 10 Tahun 2011 itu. Instruksi Presiden itu
dilahirkan pada jilid pertama dalam suasana pemerintah Indonesia membuktikan
komitmen kepada Norwegia terkait pelaksanaan letter of intent yang mewajibkan Indonesia untuk melakukan moratorium izin
di bidang kehutanan.
Dalam konteks itu terlihat bahwa semangat melindungi sumber
daya hutan justru didorong pihak asing dengan iming-iming uang serta menggerus
kesadaran dan kedaulatan Indonesia. Hadirnya instruksi itu tidak
tanggung-tanggung, diturunkan kepada instansi terkait yang meliputi pihak
Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup, Menteri Dalam Negeri, Kepala Badan
Pertanahan Nasional, Ketua Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional, Kepala
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional hingga kepada tataran kepala
daerah di tingkat gubernur dan bupati/wali kota.
Kondisi itu menunjukkan sekali lagi bobroknya kondisi
kesadaran terhadap paru-paru dunia di Indonesia yang dijadikan down payment dalam rangka memenuhi kriteria
surat niat
Indonesia-Norwegia.
Refleksi
moratorium jilid pertama
Namun, menjadi menarik jika kita selisik inpres moratorium
jilid pertama menentukan wilayah penerapan moratorium izin baru terbatas pada
wilayah yang termasuk peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) yang
diamanatkan untuk dilakukan revisi setiap enam bulan. Hingga saat ini, PIPIB
telah dirilis sebanyak tiga kali.
Dalam PIPIB versi pertama yang dirilis Kementerian
Kehutanan terlihat bahwa luas wilayah moratorium sebanyak 69.144.073 hektare.
Sementara itu, dalam versi terakhir dalam PIPIB ketiga luas wilayah moratorium
hanya tersisa sebanyak 64.796.237 hektare. Fakta itu menunjukkan bahwa kondisi
wilayah yang termasuk penundaan izin baru terusmenerus mengecil dan justru akan
memberikan peluang tersendiri.
Kondisi itu menunjukkan afirmasi bahwa tujuan lahirnya
instruksi presiden itu hanya mengejar keuntungan dana dari Norwegia an sich sehingga menyebabkan tidak
tercapainya laju pengurangan hutan secara substansial, tapi hanya berbasis
waktu yang tidak terukur dan indah kabar dari rupa. Hal pelik lainnya yang menyentuh
tataran substansi pengurangan laju deforestasi hadir pada saat skala yang
digunakan berbasis 1: 250 ribu.
Kondisi itu tentu menyulitkan pada tataran implementasi
karena begitu besar satuan yang digunakan membuat wilayah yang termasuk menjadi
absurd dan justru memicu konflik penafsiran terhadap kondisi yang ada. Hal
itulah yang membuat pemerintahan pada tingkat lokal justru enggan menata
instruksi presiden terkait moratorium jilid pertama.
Indah kabar dari
rupa
Serangkaian masalah yang hadir dari inpres jilid pertama
bukannya tidak diketahui atau tidak diberi tahu, melainkan berbagai bentuk
kajian, seminar, dan forum diskusi sudah dilaksanakan dan telah melalui proses
diseminasi secara terus-menerus. Kurun waktu dua tahun tentu bukan waktu yang
sebentar untuk dapat mengambil pembelajaran sehingga berbagai cerita buruk di
masa lalu dapat lebih terobati dan dapat memberikan solusi yang lebih
substansial.
Namun, ekspektasi tersebut gugur saat hadirnya instruksi
presiden moratorium jilid II tidak mengubah apa pun kecuali tenggat keberlakuan
dari inpres terdahulu. Hal itu membuat seolah memberikan harapan di tengah
kepungan masalah yang ada. Berkaca dari dua tahun proses terdahulu, paling
tidak terdapat beberapa masukan yang lebih substansial. Yaitu, pertama,
penundaan pemberian izin hutan sebaiknya tidak ber basis waktu, tapi berbasis
capaian. Merujuk pada angka penurunan laju deforestasi tertentu, upaya
melestarikan hutan diharapkan dapat lebih gesit. Mencontoh kepada Brasil yang
menyentuh angka deforestasi terendah selayaknya kita dapat lakukan lesson
learnt untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
Selanjutnya, melakukan penyempurnaan terkait dengan halhal
yang teknis, tapi memiliki peranan penting seperti luasan daerah yang termasuk
PIPIB serta skala yang digunakan. Hal itu penting untuk menyamakan visi dan
tujuan terkait penyelamatan hutan dan semangat otonomi daerah sekarang ini.
Terakhir, yang merupakan basis dan alas pikir utama
hendaknya upaya penyelamatan lingkungan dan penundaan pemberian izin hutan itu
mampu menjadi instrumen diseminasi dari pemerintah untuk menunjukkan pentingnya
hutan dalam kehidupan. Dengan konstruksi berpikir seperti itu, ada atau
tidaknya bantuan asing menjadi tidak penting guna menyelamatkan anak cucu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar