|
INILAH.COM, 23 Mei 2013
Ada yang ‘panas’ dari kasus uang
panas Ahmad Fathanah. Tersangka kasus dugaan suap kuota daging impor sapi di
Kementerian Pertanian dan pencucianuang itu dinilai bukan hanya sebagai calo
untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tetapi Ahmad Fathanah (AF) juga dianggap
mesin pencari uang bagi partai itu.
Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi mengatakan, "Banyak
publik curiga kalau AF bukan hanya sekedar seorang calo. Bisa kemungkinan
sebagai "ATM" (Anjungan Tunai Mandiri) berjalan PKS."
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
Busyro Muqoddas berjanji lembaganya akan menelisik aliran dana dari rekening
tersangka kasus suap impor sapi dan pencucian uang Ahmad Fathanah ke 45
perempuan.
Konon aliran duit Fathanah kepada para wanita itu
berlangsung dalam kurun waktu delapan tahun. Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf mengatakan, dana dari rekening
Fathanah itu mengalir sejak 2005 sampai 2013.
Dari penelusuran media, diketahui bahwa perpindahan duit
dengan nilai transaksi mulai Rp 1,1 juta hingga Rp 2 miliar mengalir lewat
rekening Bank Mandiri dan Bank Central Asia.
Kita memang tak bisa menghakimi Fathanah, sebelum ia
terbukti bersalah. Tetapi menurut Yusuf, para wanita yang menerima dana dari
Fathanah patut dicurigai karena mereka bukan istri atau kerabatnya – dan itu,
katanya, berpotensi sebagai modus penyamaran dana yang diduga merupakan hasil
korupsi. Kalaupun opsi ini tidak terbukti, kata Yusuf, para perempuan itu
berpotensi dijerat terlibat pencucian uang, dan itu mesti dibuktikan KPK.
Kedermawanan palsu
‘Kedermawanan’ Fathanah kepada para wanita tersebut, bila
kelak terbukti benar, agaknya memang bukan tanpa embel-embel. Kejadian itu
mengingatkan kita, bahwa segala yang ditawarkan secara gratis itu berbahaya –
lazimnya ia melibatkan sebuah trik atau kewajiban (tuntutan) tersembunyi.
Belum lama ini Presiden Uganda Yoweri Museveni, juga
dikritik karena membagi-bagikan uang kontan secara sangat mencolok. Bukan
kepada sejumlah wanita, tetapi kepada warga secara umum.
Orang mempertanyakan, apakah donasi sang presiden adalah
kedermawanan, ataukah korupsi politis? Sebab, sudah sejak lama Museveni dituduh
menggunakan uang negara untuk membangun patron jaringan agar menjadikannya
tetap populer di sebagian daerah yang paling miskin di Uganda.
Ia membuat berbagai janji selama kampanye, dan membagikan
amplop cokelat tertutup kepada para pendukung yang ‘mengemis’ pada setiap
pemberhentian perjalanan kampanye.
Keberhasilan politik Museveni, yang merebut kekuasaan
dengan senjata pada 1986, dibangun lewat citra bahwa ia seorang yang dermawan.
Tetapi, menurut bekas pemimpin gereja Anglican Zac Niringiye, semua yang
dilakukan Museveni itu bukan ‘generosity’.
“Ia terlalu lama dalam kekuasaan (4 periode), dan ia
mengira ia bisa melakukan segalanya dengan cara-cara begitu,” kata Niringiye
sebagaimana dikutip blackchristiannews, April lalu. “Ini bentuk baru korupsi
yang perlu kita telisik,” kata tokoh oposisi Uganda Geoffrey Ekanya, “Ia
sebenarnya pencuri sumber daya publik.”
Berhubung uang yang dibagi Museveni dimasukkan dalam amplop
tertutup, sulit untuk menelisik berapa yang dibagikannya. Langkanya
transparansi sering membuat kantornya terlibat konflik dengan anggota parlemen.
Kabarnya pada penetapan anggaran terakhir, parlemen Uganda
hanya menyetujui budget kantor presiden sebesar US$23 juta, tetapi kabarnya
kantor Museveni telah membelanjakan sedikitnya US$74 juta dan terus bertambah.
Kritik makin keras, ketika publik melihat Museveni terbang
dengan pesawat jet pribadi, dan tahun ini menambahkan dua mobil Mercedes Benz
baru sebagai armada kantornya. Di negara di mana jumlah dokter dan perawat
sangat kurang, dan para guru belakangan ini tak menerima gaji mereka, sangatlah
sulit menerima gaya kedermawanan sang presiden.
Itu di Uganda. Cerita dari Afrika lainnya, adalah dari
Maroko, Afrika Utara, atau dikenal dengan nama Magribi.
Ibnu Khaldun (1334-1406) pernah menceritakan tentang harta
karun yang terpendam di dalam tanah Maghribi itu. Alkisah, kata Khaldun,
sejumlah orang bodoh di berbagai kota berharap mendapakan harta dari dalam
tanah dan mendapatkan keuntungan darinya.
Di Maghribi itu, terdapat banyak siswa yang tak mau bekerja
secara normal sebagaimana layaknya orang lain. Maka mereka mendekati
orang-orang kaya dengan kertas ‘proposal’ yang tepinya sudah rusak dan
mengandung huruf non-Arab (yang sulit dipahami) atau yang mereka klaim sebagai
terjemahan dari dokumen yang aslinya ditulis pemilik harta karun.
Dokumen itu seolah menunjukkan clue di mana harta karun
tadi tersembunyi. “Lewat cara demikian mereka mencoba mendapatkan dana dengan
cara mempersuasi orang-orang kaya agar mereka mau mendanai para siswa tadi
untuk menggali lebih jauh dan memburu harta karun,” tulis Khaldun dalam buku
Muqaddimah.
Sesekali pemburu harta karun juga menunjukkan informasi
aneh atau berbagai trik magic yang dengannya mereka bisa mengelabui para
hartawan, agar bisa percaya pada klaim mereka yang lain, meski pada faktanya,
mereka sama sekali tidak paham tentang ilmu magic atau pun prosedurnya.
Tentu saja, para hartawan itu tertipu. Kata Khaldun, para
pemburu harta karun lazimnya sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah, dan tidak
pernah didukung informasi faktual. Kalau pun ada harta karun ditemukan, meski
ia amat jarang terjadi, biasanya itu hanya secara kebetulan. Hampir mustahil ia
ditemukan lewat riset yang sistematis.
Membayar yang bernilai
Pemburu harta karun, dan penerima dana ‘kedermawanan’
rupanya mesti sadar bahwa segala yang bernilai memang punya harga yang harus
dibayar. What has worth is worth paying for, kata orang Inggris.
Dengan membayar apa yang seharusnya, berarti Anda
membebaskan diri dari ikatan yang tak perlu, gratitude, kesalahan, dan
penipuan. Jangan sampai terpengaruh orang seperti Museveni, yang tahu bagaimana
memanfaatkan ‘kedermawanan’, untuk menjadikan tanda -- dan sekaligus magnit --
bagi kekuatannya.
Kata pengamat anti-korupsi, sering kali lebih bijaksana
membayar secara penuh, the full price – sebab, tidak mungkin menggunting dalam
lipatan dengan membawa kesempurnaan; there is no cutting corners with
excellence.
Kita di Indonesia kiranya mesti makin hati-hati pada
pejabat publik yang ‘dermawan’, karena banyak yang menyalahgunakan uang negara
untuk kedermawanan pribadi. Para pribadi yang mendapat keuntungan dari
disfungsi ini sama sekali tidak punya minat membangun institusi publik.
Begitu pula para pendukung mereka: yang mengeruk keuntungan
dari perilaku korup para politisi begini, dan sama sekali tidak punya loyalitas,
serta tidak peduli pada negaranya. Dengan kata lain, mereka menang ketika
negara kalah. Itu sebabnya budaya politik model itu mesti berubah bila
Indonesia ingin berkembang.
Kisah Ibnu Khaldun, sebagaimana kisah Fathanah dan
Museveni, mengingatkan kita bahwa tak ada jalan untuk menjadi kaya, kecuali
dengan kerja keras. Sedangkan kemalasan dalam mencari penghidupan yang wajar,
atau upaya ingin hidup kaya secara mendadak, selalu saja membawa konsekuensi
yang fatal, memalukan bagi keluarga dan kerabat. Serta dosa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar