Sabtu, 25 Mei 2013

Fathanah dan 45 Wanita

Fathanah dan 45 Wanita
Syafiq Basri Assegaff ;  Konsultan Komunikasi,
Pengajar di Universitas Paramadina dan The London School of Public Relations 
INILAH.COM, 23 Mei 2013


Ada yang ‘panas’ dari kasus uang panas Ahmad Fathanah. Tersangka kasus dugaan suap kuota daging impor sapi di Kementerian Pertanian dan pencucianuang itu dinilai bukan hanya sebagai calo untuk Partai Keadilan Sejahtera (PKS), tetapi Ahmad Fathanah (AF) juga dianggap mesin pencari uang bagi partai itu.
Koordinator Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Uchok Sky Khadafi mengatakan, "Banyak publik curiga kalau AF bukan hanya sekedar seorang calo. Bisa kemungkinan sebagai "ATM" (Anjungan Tunai Mandiri) berjalan PKS."

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas berjanji lembaganya akan menelisik aliran dana dari rekening tersangka kasus suap impor sapi dan pencucian uang Ahmad Fathanah ke 45 perempuan.

Konon aliran duit Fathanah kepada para wanita itu berlangsung dalam kurun waktu delapan tahun. Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf mengatakan, dana dari rekening Fathanah itu mengalir sejak 2005 sampai 2013.

Dari penelusuran media, diketahui bahwa perpindahan duit dengan nilai transaksi mulai Rp 1,1 juta hingga Rp 2 miliar mengalir lewat rekening Bank Mandiri dan Bank Central Asia.

Kita memang tak bisa menghakimi Fathanah, sebelum ia terbukti bersalah. Tetapi menurut Yusuf, para wanita yang menerima dana dari Fathanah patut dicurigai karena mereka bukan istri atau kerabatnya – dan itu, katanya, berpotensi sebagai modus penyamaran dana yang diduga merupakan hasil korupsi. Kalaupun opsi ini tidak terbukti, kata Yusuf, para perempuan itu berpotensi dijerat terlibat pencucian uang, dan itu mesti dibuktikan KPK.

Kedermawanan palsu

‘Kedermawanan’ Fathanah kepada para wanita tersebut, bila kelak terbukti benar, agaknya memang bukan tanpa embel-embel. Kejadian itu mengingatkan kita, bahwa segala yang ditawarkan secara gratis itu berbahaya – lazimnya ia melibatkan sebuah trik atau kewajiban (tuntutan) tersembunyi.

Belum lama ini Presiden Uganda Yoweri Museveni, juga dikritik karena membagi-bagikan uang kontan secara sangat mencolok. Bukan kepada sejumlah wanita, tetapi kepada warga secara umum.
Orang mempertanyakan, apakah donasi sang presiden adalah kedermawanan, ataukah korupsi politis? Sebab, sudah sejak lama Museveni dituduh menggunakan uang negara untuk membangun patron jaringan agar menjadikannya tetap populer di sebagian daerah yang paling miskin di Uganda.

Ia membuat berbagai janji selama kampanye, dan membagikan amplop cokelat tertutup kepada para pendukung yang ‘mengemis’ pada setiap pemberhentian perjalanan kampanye.

Keberhasilan politik Museveni, yang merebut kekuasaan dengan senjata pada 1986, dibangun lewat citra bahwa ia seorang yang dermawan. Tetapi, menurut bekas pemimpin gereja Anglican Zac Niringiye, semua yang dilakukan Museveni itu bukan ‘generosity’.

“Ia terlalu lama dalam kekuasaan (4 periode), dan ia mengira ia bisa melakukan segalanya dengan cara-cara begitu,” kata Niringiye sebagaimana dikutip blackchristiannews, April lalu. “Ini bentuk baru korupsi yang perlu kita telisik,” kata tokoh oposisi Uganda Geoffrey Ekanya, “Ia sebenarnya pencuri sumber daya publik.”

Berhubung uang yang dibagi Museveni dimasukkan dalam amplop tertutup, sulit untuk menelisik berapa yang dibagikannya. Langkanya transparansi sering membuat kantornya terlibat konflik dengan anggota parlemen.
Kabarnya pada penetapan anggaran terakhir, parlemen Uganda hanya menyetujui budget kantor presiden sebesar US$23 juta, tetapi kabarnya kantor Museveni telah membelanjakan sedikitnya US$74 juta dan terus bertambah.

Kritik makin keras, ketika publik melihat Museveni terbang dengan pesawat jet pribadi, dan tahun ini menambahkan dua mobil Mercedes Benz baru sebagai armada kantornya. Di negara di mana jumlah dokter dan perawat sangat kurang, dan para guru belakangan ini tak menerima gaji mereka, sangatlah sulit menerima gaya kedermawanan sang presiden.

Itu di Uganda. Cerita dari Afrika lainnya, adalah dari Maroko, Afrika Utara, atau dikenal dengan nama Magribi.

Ibnu Khaldun (1334-1406) pernah menceritakan tentang harta karun yang terpendam di dalam tanah Maghribi itu. Alkisah, kata Khaldun, sejumlah orang bodoh di berbagai kota berharap mendapakan harta dari dalam tanah dan mendapatkan keuntungan darinya.

Di Maghribi itu, terdapat banyak siswa yang tak mau bekerja secara normal sebagaimana layaknya orang lain. Maka mereka mendekati orang-orang kaya dengan kertas ‘proposal’ yang tepinya sudah rusak dan mengandung huruf non-Arab (yang sulit dipahami) atau yang mereka klaim sebagai terjemahan dari dokumen yang aslinya ditulis pemilik harta karun.

Dokumen itu seolah menunjukkan clue di mana harta karun tadi tersembunyi. “Lewat cara demikian mereka mencoba mendapatkan dana dengan cara mempersuasi orang-orang kaya agar mereka mau mendanai para siswa tadi untuk menggali lebih jauh dan memburu harta karun,” tulis Khaldun dalam buku Muqaddimah.
Sesekali pemburu harta karun juga menunjukkan informasi aneh atau berbagai trik magic yang dengannya mereka bisa mengelabui para hartawan, agar bisa percaya pada klaim mereka yang lain, meski pada faktanya, mereka sama sekali tidak paham tentang ilmu magic atau pun prosedurnya.

Tentu saja, para hartawan itu tertipu. Kata Khaldun, para pemburu harta karun lazimnya sama sekali tidak memiliki dasar ilmiah, dan tidak pernah didukung informasi faktual. Kalau pun ada harta karun ditemukan, meski ia amat jarang terjadi, biasanya itu hanya secara kebetulan. Hampir mustahil ia ditemukan lewat riset yang sistematis.

Membayar yang bernilai

Pemburu harta karun, dan penerima dana ‘kedermawanan’ rupanya mesti sadar bahwa segala yang bernilai memang punya harga yang harus dibayar. What has worth is worth paying for, kata orang Inggris.
Dengan membayar apa yang seharusnya, berarti Anda membebaskan diri dari ikatan yang tak perlu, gratitude, kesalahan, dan penipuan. Jangan sampai terpengaruh orang seperti Museveni, yang tahu bagaimana memanfaatkan ‘kedermawanan’, untuk menjadikan tanda -- dan sekaligus magnit -- bagi kekuatannya.

Kata pengamat anti-korupsi, sering kali lebih bijaksana membayar secara penuh, the full price – sebab, tidak mungkin menggunting dalam lipatan dengan membawa kesempurnaan; there is no cutting corners with excellence.

Kita di Indonesia kiranya mesti makin hati-hati pada pejabat publik yang ‘dermawan’, karena banyak yang menyalahgunakan uang negara untuk kedermawanan pribadi. Para pribadi yang mendapat keuntungan dari disfungsi ini sama sekali tidak punya minat membangun institusi publik.

Begitu pula para pendukung mereka: yang mengeruk keuntungan dari perilaku korup para politisi begini, dan sama sekali tidak punya loyalitas, serta tidak peduli pada negaranya. Dengan kata lain, mereka menang ketika negara kalah. Itu sebabnya budaya politik model itu mesti berubah bila Indonesia ingin berkembang.

Kisah Ibnu Khaldun, sebagaimana kisah Fathanah dan Museveni, mengingatkan kita bahwa tak ada jalan untuk menjadi kaya, kecuali dengan kerja keras. Sedangkan kemalasan dalam mencari penghidupan yang wajar, atau upaya ingin hidup kaya secara mendadak, selalu saja membawa konsekuensi yang fatal, memalukan bagi keluarga dan kerabat. Serta dosa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar