Senin, 27 Mei 2013

“Abenomics” dan Politik Lambung Asia

“Abenomics” dan Politik Lambung Asia
Rene L Pattiradjawane ; Wartawan Kompas
KOMPAS, 27 Mei 2013


Politik luar negeri Jepang belakang ini sangat aktif di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Shinzo Abe. Pertikaian dengan China di Kepulauan Senkaku (Diaoyu), perjanjian perikanan dengan Taiwan, ataupun keterlibatan dalam Kemitraan Trans-Pasifik (TPP) memperlihatkan kepiawaian Abe menjalankan pemerintahannya.

Di panggung internasional, Abe menjadi pergunjingan para politisi dan ekonom karena kehadirannya di tengah resesi dunia yang berkepanjangan memberikan dampak sangat luas dan mendalam. Bersamaan dengan itu, salah satu kepiawaian politik diplomasi Jepang adalah konsistensi menjaga hubungan bilateral dan regional. Hal itu tecermin pada kunjungan Abe ke Myanmar akhir pekan lalu dan menerima kunjungan PM India Manmohan Singh di Tokyo, pekan ini.

Angka-angka pertumbuhan ekonomi Jepang—yang terpuruk akibat stagnasi dan melemah sejak tahun 2001—menunjukkan kebangkitan spektakuler di tengah ketegangan upaya negara-negara Eropa keluar dari krisis zona euro. Eksperimen ”Abenomics” sukses menghasilkan pertumbuhan yang signifikan melalui pelemahan mata uang yen sampai 24 persen dalam enam bulan, yang tidak pernah berani dilakukan Pemerintah Jepang sebelumnya.

Manuver ekonomi Jepang mengatasi persoalan struktural yang berkepanjangan serta utang yang sangat tinggi, bahkan lebih tinggi dibanding Yunani, semakin lengkap karena Abe tidak terpaku hanya pada masalah dalam negeri. Pilihan ke Myanmar sebelum menerima kunjungan PM India menjadi bagian politik lambung Asia yang disujudkan Abe untuk mencari strategi alternatif menghadapi irasional nasionalisme China atas klaim tumpang tindih wilayah kedaulatan.

China memang menjadi bagian persoalan stagnasi ekonomi Jepang karena hambatan terselubung yang diberlakukan penguasa Beijing. Ini yang menjelaskan langkah awal Abe, yang bermanuver melambung ke luar dari politik asertif China di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara, sebagai pilihan strategis dalam skenario kawasan Indo-Pasifik.

Kegandrungan

Internasionalisasi ”Abenomics” diwujudkan dalam kunjungan Abe ke Myanmar yang bersejarah. Abe menjadi PM Jepang pertama yang berkunjung ke negara ini sejak tahun 1977. Buat Jepang, Myanmar adalah bagian dari sejarah panjang. Sebanyak 199.000 tentara Jepang tewas di Myanmar antara tahun 1941 dan 1945 selama Perang Dunia II.

Myanmar adalah bagian lingkup perjuangan Jepang melawan penjajah Inggris. Hubungan kedua negara ini memiliki istilah sendiri di Jepang, yang disebut ”biru-kichi” atau ”Biruma-kichigai”. Ini adalah gambaran kegandrungan terhadap Burma yang sekarang menjadi Myanmar.

Hubungan kasmaran ini tidak hanya tecermin dalam pemerintah Abe saja, tetapi juga pemerintahan Jepang sebelumnya. Bulan April 2012, Pemerintah Jepang mengumumkan penghapusan 300 miliar yen (sekitar 3,4 miliar dollar AS) dari 500 miliar yen utang Myanmar setelah terjadi transformasi politik seiring berakhirnya pemerintahan junta militer di Myanmar.

Tanpa ragu, Abe membawa 40 eksekutif bisnis Jepang ternama dan berkunjung ke zona ekonomi khusus di Thilawa. Abe berjanji akan menyediakan pinjaman lain sebesar 50 miliar yen untuk mendorong kerja sama ekonomi.

Angka bulan Februari lalu menunjukkan investasi Jepang di Myanmar tercatat sebesar 270 juta dollar AS yang berada di urutan ke-11 investor asing di Myanmar. Investasi Jepang jauh tertinggal daripada China yang mencapai 14,2 miliar dollar AS dan Thailand sebesar 9,6 miliar dollar AS, keduanya menempati urutan teratas investasi langsung asing.

Bagi Abe, ”biru-kichi” menjadi bagian strategi ”Abenomics” di panggung internasional mendorong lebih cepat pemulihan pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang tergantung pada stabilitas dan perdamaian kawasan. Ketika Myanmar menghilangkan pandangan dasar negaranya ”noli me tangere” (jangan sentuh saya), negara ini bisa menjadi titik temu berbagai kekuatan regional, termasuk Jepang dan China.

Tradisi nonblok yang menempatkan Myanmar sebagai pemain utama, menjadi modal dasar memasuki era baru hubungan internasional. Kehadiran kekuatan internasional, sebagai titik temu China-Jepang dalam persoalan strategis, bisa ikut mendorong penyelesaian persoalan konflik sektarian, kesenjangan sosial, ataupun persoalan reformasi pendidikan, yang dihadapi umumnya negara Asia Tenggara dan memengaruhi daya saing internasional mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar