|
MEDIA
INDONESIA, 15 Mei 2013
POLITIK perempuan dalam Pemilu 2014 masih berada di persimpangan
jalan. Partai politik selalu mengampanyekan pembelaan politik terhadap
perempuan, tetapi faktanya perempuan masih berada di pinggir kebijakan dalam
memutuskan program negara. Tragisnya, perempuan justru menjadi korban politik
korupsi, sebagaimana dilakukan Ahmad Fathanah, yang menjadikan perempuan semakin
tak berdaya dalam lingkaran sistem politik yang manipulatif dan hegemonis.
Kaderisasi
politik perempuan yang dilakukan partai politik juga sangat lambat. Program pemberdayaan politik yang dilakukan partai hanya memenuhi hasrat elite
politik, bukan sebuah program terencana yang didesain untuk sebuah perubahan
dan kemajuan. Program pemberdayaan sering kali hanya untuk `menghabiskan' dana
program yang tak mempunyai tujuan dan rencana tindak lanjut. Pantas saja,
perempuan masih terus terpinggirkan, sedikit sekali mendapatkan sentuhan
pemberdayaan yang substansial.
Kuota
30% selama ini menjadi lipstik politik untuk mencari citra semata. Tiap partai
politik mengklaim mampu memenuhi kuota perempuan 30% di tiap daerah, walaupun
buktinya sering kali sebatas dalam kertas.
Terlepas
dari validitas dan kualitas calon perempuan yang didaftarkan, kaum perempuan
mempunyai harapan besar akan hadirnya perubahan yang memihak terhadap
hak-hak kaum perempuan. Itu sebenarnya menjadi tantangan politik bagi
perempuan dalam menegakkan proses demokratisasi Indonesia. Mestinya, parpol yang
sudah mengikuti Pemilu 2009 sudah paham soal kuota 30%, faktanya dalam berbagai
pemberitaan di media, partai yang sudah ikut Pemilu 2009 masih kebingungan
mencari caleg perempuan.
Tidak
ada iktikad baik partai politik, yang dilakukan justru menebar citra dan
korupsi. Elite partai sibuk dengan agenda korupsi sehingga mereka mengantre masuk
bui. Agenda kaderisasi perempuan hanya ada dalam seminar dan lokakarya, setelah
itu bubar dan tidak jelas arahnya.
Tiga strategi politik
Di
tengah percaturan politik menjelang 2014, kaum perempuan harus berdaya, baik
berdaya hati, pikiran, maupun geraknya. Kontestasi ruang publik politik penuh
kompetisi p sehingga kaum perempuan s butuh strategi jitu. Mengamini tiga
strategi perubahan sosial Kuntowijoyo (2001: 112) di tengah transformasi
sosial, yakni strategi struktural, strategi kultural dan strategi mobilitas
sosial.
Strategi
struktural merupakan mobilisasi kolektivitas kaum perempuan dengan tujuan
jangka pendek. Strategi itu sering disebut juga strategi politik yang
metodologinya melalui jalan birokrasi kekuasaan. Strategi kultural lebih
menitikberatkan pada penyadaran intersubjektif melalui berbagai media dan
dialog yang dilakukan terus-menerus (continue).
Dengan demikian basis kultural perempuan tetap kuat, sadar sejak dari budaya
berpikirnya, tidak mudah dimanipulasi, dan teguh dengan prinsip hidupnya. Strategi
mobilitas sosial ialah mendialektikakan kedua strategi tersebut di awal.
Strategi itu memang bersifat jangka panjang, bukan dengan cara instan yang
metodenya ialah melalui pendidikan dan peningkatan kualitas SDM kaum perempuan.
Ketiga
strategi yang disuguhkan Kuntowijoyo sangat tepat diterapkan kaum perempuan di
tengah kontestasi politik menuju ruang publik yang demokratis. Perempuan akan
hadir sebagai dirinya sendiri yang diakui, berdaulat, dan berdaya. Gerakan
emansipasi di tengah publik yang demokratis jangan sampai terjebak dengan
anomali dan patologi sehingga gerakan kaum perempuan tidak terjerembap dalam
persoalan artifisial di ruang publik.
Mencairkan ruang publik politik
Kalau
ketiga strategi tersebut dijalankan, perempuan akan mampu meningkatkan keber
dayaan dirinya dalam percaturan politik. Keberdayaan diri secara politik itu
sangat strategis untuk mencairkan ruang publik yang selama ini masih
meminggirkan kaum perempuan. Dengan keberdayaan diri, perempuan mampu
mendefinisikan dirinya dengan politik, ekonomi, pendidikan, dan kebudayaan.
Menurut
Karlina Supelli (2001), kondisi ruang publik di Indonesia sekarang ini ialah
kondisi ultraliberal atomis dan atomistis yang sesekali ditabrak
kekuatan-kekuatan tribal sektarian dalam bentuk sektarianisme agama, etnik, dan
sebagainya. Di tengah kondisi demikian, kontestasi ruang publik bagi perempuan
banyak terjebak dalam ajaran patriarki. Sektarianisme agama dan etnik menjadi
tembok besar yang sering kali menggulung ruang publik perempuan yang
demokratis. Perempuan sering kali `kalah' dalam perebutan ruang publik tersebut
karena selain masih kuatnya tembok besar itu, perempuan sendiri masih banyak
yang belum berdaya.
Tantangan
berat dalam kontestasi ruang publik ini ialah globalisasi. Globalisasi selain
sebuah keniscayaan sejarah, bagi Habermas, juga telah menginjeksikan kepalsuan
dalam spiral komunikasi sehingga dalam praktiknya sering melahirkan distorsi
komunikasi. Resistensi dari sebagian kelompok tertentu bahkan memanifestasi dalam
tindakan teror yang berasal dari distorsi komunikasi. Globalisasi secara kejam
telah membagi dunia ke dalam kelompok: pemenang dan pecundang. Tragisnya,
perempuan selalu menjadi pecundang dan terus dipecundangi.
Kontestasi
perempuan dalam ruang publik yang dihegemoni pasar (market) dan kuasa state itu membutuhkan beragam kekuatan yang tidak
sedikit. Perjuangan perempuan secara serempak sangat dibutuhkan untuk
memberdayakan kaum perempuan. Sejatinya, ruang publik sekarang ini telah dibuka
bagi siapa saja, termasuk perempuan.
Namun,
struktur sosial memang masih penuh ketimpangan. Proyek sangat strategis bagi
kaum perempuan sekarang ini ialah menciptakan apa yang dikatakan Karl Popper
sebagai masyarakat terbuka. Masyarakat terbuka model Popper ialah masyarakat
warga yang mengandalkan ruang publik. Ruang publik tersebut menjamin kebebasan
setiap individu untuk menyampaikan pemikiran dan keyakinannya dan memungkinkan
daya kritis mengemuka dengan bebas.
Popper
mengandaikan masyarakat sanggup menyelesaikan beragam persoalan dengan `pikiran
jernih dan pengalaman ketimbang emosi dan hasrat', serta bersedia mengakui
bahwa setiap gagasan, pengetahuan, dan keyakinan bisa salah. Dengan sikap itu,
perbedaan bukanlah momok yang perlu ditindas, melainkan roh yang menghidupkan
ruang publik. Mereka yang menghalangi hadirnya perbedaan ialah musuh
terwujudnya masyarakat terbuka. Musuh itu ada
fasisme dan komunisme, rezim fasis-klerik, rezim korup, rezim militer diktator,
dan nasionalisme militan.
Perempuan
yang berdaya akan mampu mencairkan ruang publik yang masih tertutup, kemudian
dibuka dengan segenap peran serta kaum perempuan dalam membangun demokrasi di
Indonesia yang bermartabat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar