Senin, 06 Mei 2013

Kompensasi Kenaikan Harga BBM


Kompensasi Kenaikan Harga BBM
Khudori ;  Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, Penulis Buku ”Ironi Negeri Beras”
KORAN SINDO, 06 Mei 2013


Kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak) kini menjadi keniscayaan. Setelah program pembatasan BBM bersubsidi dan konversi BBM ke gas menuai protes bertubi- tubi, pemerintah sepertinya tegap melangkah segera menaikkan harga BBM. 

Bila semula ada opsi dua harga, dengan alasan lebih sederhana akhirnya diputuskan satu harga. Besarannya kira-kira di bawah Rp6.500 per liter. Menurut kalkulasi pemerintah, dengan tingkat kenaikan sebesar itu akan dihemat subsidi Rp21 triliun hingga Rp30 triliun. Pemerintah tidak ingin subsidi BBM tahun ini jebol jadi 53 juta kiloliter dari pagu 46 juta kiloliter seperti tahun (melonjak dari 40 juta kiloliter menjadi 45 juta kiloliter). 

Di luar itu, seperti yang sudah- sudah, kenaikan harga BBM untuk menyelamatkan APBN dari bleeding.Apalagi, dari data-data versi pemerintah, subsidi melenceng. Menurut pemerintah, subsidi banyak dinikmati kaum berpunya, bukan warga miskin. Menyadari dampak negatif kenaikan harga BBM pada warga miskin, pemerintah memberikan kompensasi. Tak ingin menuai kritik, pemerintah meniadakan Bantuan Tunai Langsung (BLT) seperti tahun lalu. Kali ini ada tiga kompensasi. 

Pertama, penambahan subsidi siswa miskin. Kedua, penambahan jumlah penyaluran Raskin. Ketiga, program Keluarga Harapan dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri. Pemerintah yakin, dengan tiga bentuk kompensasi itu, kenaikan jumlah warga miskin antara 0,8 juta hingga 1 juta bisa dihindari. Pemerintah bahkan yakin ada peluang warga miskin yang per September 2012 berjumlah 28,594 juta (11,66%) bisa ditekan. Pemerintah seperti disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro menyatakan, kenaikan harga BBM Rp2.000/liter hanya menaikkan inflasi 0,8%. Secara akademik, data-data itu terbuka diperdebatkan. 

Bagaimanapun canggihnya sebuah pisau analisis, ia tidak bisa mewakili realitas objektif. Output-nya bergantung pada asumsi yang dibangun dan ”alat” analisis yang digunakan. Pada 2005, pemerintah dua kali menaikkan harga BBM dengan total kenaikan 87%. Dengan memanfaatkan kalkulasi LPEM-FEUI, pemerintah yakin kenaikan harga BBM yang disertai program kompensasi akan menurunkan jumlah penduduk miskin dari 16,43% menjadi 13,87%. Kenyataannya, kenaikan BBM mendongkrak inflasi menjadi 17,1% dan jumlah warga miskin justru naik, dari 15,97% jadi 17,75% (BPS, 2007). 

Sekali lagi, perhitunganperhitungan semacam ini dilakukan dengan sejumlah asumsi yang tidak mungkin mewakili realitas sesungguhnya. Hasilnya bisa saja menyesatkan. Mempercayai hasil perhitungan teknis-matematis semacam itu sama saja kita percaya bahwa di negeri ini sudah tidak ada korupsi, birokrasi sudah siap dan kapabel dalam menjalankan program kompensasi, aktivis LSM sepenuhnya mandiri dan berada di pihak yang lemah, serta birokrat dan komunitas bisnis juga politik sudah jauh-jauh meninggalkan sikap sebagai rent seeker. 

Faktanya, kondisi sosial-ekonomi, politik, dan budaya kita nyaris tidak berubah. Dengan demikian, hasil perhitungan itu bisa jadi benar di atas kertas. Tapi, secara empiris belum tentu sesuai kondisi di lapangan. Apalagi, pengalaman program kompensasi BBM pada masa lalu tidak cukup meyakinkan untuk membuat kita percaya bahwa kapasitas pemerintah dengan birokrasi pelaksana dan pengawasannya sudah cukup cakap. Mereka sudah jauh dari mental korup dan oportunis. 

Contohnya, dari Rp4,4 triliun dana kompensasi BBM pada 2003, hanya Rp2,94 triliun (66,3%) bermanfaat bagi kelompok sasaran. Sisanya Rp0,939 triliun (21,2%) bermanfaat, tapi salah sasaran karena diterima bukan kelompok sasaran. Sebesar Rp0,553 triliun (12,5%) bahkan seharusnya tak masuk program kompensasi BBM (Indef, 2003). Seandainya hasil perhitungan tersebut benar, menggunakan ini sebagai judgement kenaikan harga BBM adalah kamuflase yang menyesatkan dan menipu publik. 

Tidak banyak diketahui publik, dana kompensasi kenaikan harga BBM itu bersumber dari utang. Itu artinya, kompensasi kenaikan harga BBM tidak lebih dari ”suap politik” penguasa kepada rakyat. ”Suap politik” diberikan agar kebijakan kenaikan harga BBM tidak diprotes. Mengguyur rakyat dengankompensasiRp20 triliun hingga Rp30 triliun saat popularitas partai penguasa merosot kian memperkuat dugaan modus ”suap politik” itu. Selain itu, menggunakan kalkulasi di atas sebagai judgement jelas menyesatkan. 

Karena muncul kesan seolah-olah santunan sosial, akses pendidikan, kesehatan, dan beras murah hanya bisa dilakukan apabila subsidi BBM dipangkas. Padahal, sesungguhnya tidak demikian. Adalah amanat konstitusi untuk menyediakan penghidupan yang layak, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan (Pasal 28h ayat 1), akses pendidikan (Pasal 31ayat1 dan 2), dan hak untuk dipelihara bagi fakir miskin dan anak-anak telantar (Pasal 34 ayat 1). 

Rakyat juga berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan (Pasal 27 ayat 2), hak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat (Pasal 28h ayat 3), hak mendapatkan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34 ayat 1), dan hak mengembangkan diri lewat pemenuhan kebutuhan dasar (Pasal 28c ayat 1). Ada atau tidak pengurangan subsidi BBM tidak menghapuskan kewajiban negara untuk memenuhi hak dasar warganya itu. 

Selama ini kewajiban tersebut belum ditunaikan dengan baik oleh negara. Dengan memeluk erat-erat neoliberalisme, negara punya alasan tidak terlibat lagi dalam urusan-urusan publik. Intervensi negara dalam berbagai sektor publik dianggap sebagai biang distorsi. Pasar dipercaya amat perkasa dan bahkan bisa meregulasi diri sendiri. Kebijakan ”emoh negara” itu terus- menerus dikampanyekan oleh kolaborasi birokrat, intelektual, aktivisLSM, kaumprofesional, rohaniwan, jurnalis, pengusaha, politisi, dan akademisi ke ruang-ruang publik. 

Itu semua dilakukan untuk lepas tangan dari tanggung jawab. Apa yang sesungguhnya terjadi? Jantung persoalannya adalah tidak ada keseriusan penyelenggara negara untuk memenuhi kewajiban-kewajiban normatif kepada rakyatnya. Memberikan kompensasi dengan mengurangi subsidi BBM seolah-olah jadi satu-satunya solusi negara dalam memenuhi kewajiban dan tanggung jawab pada rakyat. Tidak pernah dicoba cara-cara penyelesaian yang tidak ad hoc, reaktif, dan jangka pendek seperti merenegosiasi kontrak tambang, mengoptimalkan pengolahan BBM domestik, investasi besar-besaran dalam penemuan cadangan migas baru, memasifkan konversi ke gas, dan pengembangan bahan bakar alternatif. 

Tanpa program yang berdimensi jangka panjang, negeri ini akan selalu terjebak dalam pusaran tanpa solusi konkret karena harga BBM merupakan variabel yang sepenuhnya tidak berada dalam kendali pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar