Senin, 06 Mei 2013

Cinta Kekuasaan atau Kekuasaan Cinta


Cinta Kekuasaan atau Kekuasaan Cinta
Charletty Choesyana ;  Ketua Kongres Wanita Indonesia (Kowani) 
KORAN SINDO, 06 Mei 2013


Kondisi politik di Indonesia akhir-akhir ini amat memprihatinkan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya politisi (termasuk elite politik) di negeri ini yang terlibat dalam kasus korupsi. Dunia politik Indonesia kini harus melawan skeptisme rakyat. 

Mengapa ini sampai terjadi? Panggung politik yang diwarnai dengan merebaknya kasus korupsi yang bersifat kolektif yang terbongkar dan berakhir di pengadilan, namun ternyata hukuman yang dijatuhi tidak memenuhi rasa keadilan rakyat. Hal ini semakin mengikis kepercayaan rakyat tentang arah kebijakan dan good will pemerintah untuk memberantas korupsi di Indonesia. Kenyataan pahit ini mengindikasikan kegagalan pendidikan politik di Indonesia. 

Masih banyak warga negara Indonesia yang belum belajar dan paham tentang hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsadanbernegara. Pendidikankewarganegaraan belum tersosialisasi secara baik dan merata. Sehubungan dengan itu, pemerintah dan masyarakat termasuk partai politik dipandang perlu untuk menyelenggarakan pendidikan politik bagi warga negara Indonesia secara berkelanjutan. Integritas dan kompetensi seorang politisi terkait erat dengan kualitas kepemimpinan dan manajerial. 

Dengan demikian, pendidikan kepemimpinan yang bertujuan membentuk pemimpin-pemimpin yang negarawan menjadi hal penting dalam rangka mempersiapkan pemimpin-pemimpin bangsa yang mengimplementasikan ”kekuasaan cinta”, bukan ”cinta kekuasaan”. Makna ”kekuasaan cinta” adalah kekuasaan yang dimiliki dimanfaatkan untuk memperjuangkan dan membela kepentingan bangsa dan negara serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai perwujudan rasa cinta Tanah Air. 

Sementara makna ”cinta kekuasaan” adalah rasa senang/cinta pada kekuasaan sehingga cenderung melakukan ihwal yang merugikan kepentingan bangsa dan negara serta mengabaikan cita-cita nasional bangsa Indonesia demi meraih/mempertahankan kekuasaan. Seyogianya dunia politik Indonesia harus menjadi dunia yang disenangi oleh pemudi dan pemuda Indonesia karena mereka penanggung jawab masa depan bangsa dan negara Indonesia. Kondisi aktual Indonesia memerlukan pemudi dan pemuda Indonesia yang bertekad kuat untuk mengubah wajah Indonesia menjadi bersih dan bebas korupsi. 

Mampu menjadikan bangsa Indonesia maju dan bermartabat sehingga disegani bangsa lain. Politik berbasis hati nurani diperlukan saat ini untuk melakukan perubahan utamanya perubahan stigma bahwa politik itu kotor. Persepsi publik yang memandang dunia politik itu kotor sukar dimungkiri karena secara nyata dapat dilihat dinamika politik yang penuh dengan perilaku bohong, tega, dan menipu. Ini tentu tidak menafikan bahwa di Indonesia masih banyak terdapat politisi sejati. 

Upaya perubahan menuju Indonesia yang lebih baik memerlukan pemimpin-pemimpin yang bekerja dengan hati nurani sebagai kompas perilaku kepemimpinannya. Hati nurani adalah sumber kebenaran, membedakan yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk. Sementara akal lebih cenderung pada menang atau kalah. Jelasnya, saat ini diperlukan pemimpin- pemimpin yang berperilaku politik berbasis hati nurani, menjadikan kebenaran sebagai kompas kerja politik berdasar semangat kejuangan 45. 

*** Kerja politik partai politik termasuk para politisi tidak boleh membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Setiap politisi (laki-laki dan perempuan) pada umumnya diharapkan melakukan kerja politik untuk mewujudkan cita?cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). 

Sejarah mencatat perjuangan para pahlawan wanita Indonesia yang ikut serta menegakkan kemerdekaan Indonesia dan mencatat usaha perjuangan wanita para pendahulu untuk meraih kemajuan bagi kualitas hidup kaumnya. Definisi politik dari kacamata maskulin menyatakan dunia politik adalah dunia laki-laki. Jelas pandangan ini keliru dan merugikan kaum wanita. Sepatutnya dipahami bahwa kehidupan politik yang memiliki tujuan umum untuk mewujudkan cita-cita proklamasi adalah hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara, baik lakilaki maupun perempuan. 

Perempuan dan laki-laki setara dalam kehidupan politik, yang membedakan adalah kompetensi dan integritas. Catatan faktual yang ada menunjukkan bahwa jumlah perempuan di DPR hasil Pemilu 1999: 45 0rang (9%), jumlah perempuan di DPR hasil Pemilu 2004: 61 orang (11,09%), dan jumlah perempuan di DPR hasil Pemilu 2009: 101 orang (17,86%). Fakta menunjukkan ada peningkatan jumlah perempuan di DPR. Begitu pula jumlah perempuan di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota serta di DPD. Namun, belum mencapai angka kritis 30%. 

Dengan demikian, masih diperlukan upaya strategis dan sinergis meraih 30% perempuan di lembaga legislatif hasil Pemilu 2014. Pada saat ini diperlukan upaya- upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2014 dalam rangka pencapaian target MDGs Tahun 2015. 

Sehubungan dengan itu, diperlukan pemahaman yang sama di kalangan pelaku politik yang terlibat dalam penyusunan regulasi (UU), peraturan pelaksanaan UU, dan yang tak kalah pentingnya kalangan perempuan itu sendiri, mengenai pentingnya keterlibatan perempuan dalam proses perumusan kebijakan publik. Selain itu, good willpartai politik untuk menerapkan sistem demokrasi internal dalam rekrutmen calon eksekutif, legislatif, dan yudikatif juga diperlukan. 

Usaha menyusun kekuatan solidaritas kolektif di kalangan perempuan juga diperlukan untuk mendukung keberhasilan peningkatan jumlah perempuan di parlemen hasil Pemilu 2014. Perempuan adalah mitra laki-laki dalam bekerja untuk kepentingan bangsa dan negara termasuk melalui kerja politik. Keberadaan perempuan di posisi-posisi penentu kebijakan publik termasuk di parlemen diharapkan dapat memberikan solusi bagi permasalahan yang dihadapi bangsa termasuk masalah perempuan yang berkaitan dengan kualitas hidup perempuan dan anak. 

Perempuan politisi diharapkan pula mampu bermitra dengan laki-laki politisi dalam menegakkan empat pilar kebangsaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar