|
JAWA POS, 06 Mei 2013
Keputusan PDIP mengusung pasangan Bambang D.H.-Said
Abdullah untuk ikut berlaga dalam pilkada (pilgub) Jawa Timur (Jawa Pos, 4/5) sangat melegakan KPU Jatim.
Betapa tidak. Pesta demokrasi lima tahunan yang digelar pada 29 Agustus itu
sempat terancam mengalami kebuntuan dan tertunda karena belum ada satu pun
bakal pasangan calon (paslon) yang mendeklarasikan diri kecuali incumbent Soekarwo-Syaifullah
Yusuf.
Dengan
demikian, kini setidaknya ada dua bakal paslon yang akan berkompetisi. Berarti,
pilkada jadi dilaksanakan. Minimal dua paslon, yang disyaratkan Peraturan KPU
(PKPU) No 9/2012, telah terpenuhi. Dengan demikian, gurauan agar pasangan incumbent ditetapkan secara aklamasi, atau lawan
"bumbung kosong" tidak relevan untuk diperbincangkan lagi.
Sesuai tahapan, pada 13 Mei ini proses pemilu gubernur dan wakil gubernur
Jatim memasuki masa pencalonan. Eskalasi suhu politik pun mulai terasakan.
Rupanya sekarang ada strategi "baru", dalam memobilisasi masyarakat
untuk demo ke kantor KPU. Misalnya, warga desa yang tidak tahu-menahu tentang
hiruk-pikuk pemilu, dirayu ikut berwisata, lalu diampirkan dulu ke kantor KPU.
Tidak mengherankan ketika turun dari kendaraan, sebagian dari mereka bengong
menyaksikan pimpinan "rombong"-nya berteriak-teriak menyampaikan
tuntutan.
Beberapa waktu lalu juga ada demo lucu. Sekelompok anak muda berorasi di
jalan raya. Mereka menolak pencalonan cagub tertentu. Menariknya, ketika lima
delegasi diterima anggota KPU untuk diberi penjelasan tentang mekanisme
pencalonan, mereka minta waktunya tidak lama-lama.
Mekanisme Pencalonan
Seperti diatur dalam PKPU Nomor 9/2012, pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur dapat diajukan melalui jalur partai politik (parpol), dan
perseorangan. Syaratnya, menurut pasal 4, parpol atau gabungan parpol yang
mengajukan calon memiliki paling sedikit 15 persen suara sah pada pemilu
terakhir, atau 15 persen kursi di DPRD.
Sedangkan jalur perseorangan (pasal 10), harus didukung paling rendah 3
persen dari jumlah penduduk, dibuktikan fotokopi KTP yang tersebar minimal di
lebih dari 50 persen kabupaten/kota. Karena jumlah penduduk Jatim 37.269.885
jiwa, dan terdiri atas 38 kabupaten/kota, maka dukungan minimalnya adalah
1.118.096 pemilih, yang tersebar paling sedikit di 20 kabupaten/kota.
Sesuai hasil Pemilu 2009, di Jawa Timur terdapat dua partai yang memiliki
15 persen lebih kursi di DPRD, yaitu Demokrat (22) dan PDI-Perjuangan (17).
Sedangkan sepuluh partai lain kurang dari 15 persen, yaitu PKB (13), Golkar
(11), Gerindra (8), PAN (7), PKS (7), PKNU (5), Hanura (4), PPP (4), PDS (1),
dan PBR (1). Dengan demikian, mereka tidak bisa mengusung calon kalau tidak
bergabung.
Selain itu, terdapat 25 partai nonparlemen yang jika ditotal, perolehan
suaranya 11,57 persen. Mereka adalah PKPB 1,48 persen; PPI 0,52 persen; PPRI
1,02 persen; Barnas 0,68 persen; PKPI 0,87 persen; Kedaulatan 0,50 persen; PPD
0,28 persen; PPI 0,25 persen; PNI Marhaenisme 0,34 persen; PDP 0,85 persen; PKP
0,06 persen; PMB 0,20 persen; PPDI 0,12 persen; PDK 0,26 persen; Republikan
0,47 persen; Pelopor 0,23 persen; PNBKI 0,33 persen; PBB 1,34 persen; Patriot
0,99 persen; PKDI 0,10 persen; PIS 0,09 persen; Merdeka 0,08 persen; PPNUI 0,24
persen; PSI 0,09 persen, dan Buruh 0,18 persen.
Setelah Partai Demokrat dan PDIP dipastikan mengusung calon
sendiri-sendiri, sementara Golkar, Gerindra, PAN, PKS, PKNU, Hanura, PPP, PDS,
dan PBR serta partai nonparlemen kecuali PBB, jauh-jauh hari sudah menyatakan
mendukung paslon incumbent dari Demokrat, berarti tinggal PKB
yang belum pasti.
Persoalannya, partai yang didirikan Gus Dur ini modalnya belum mencukupi,
hanya 12,26 persen suara. Masih perlu tambahan sedikitnya 2,74 persen suara.
Kemudian, bagaimana bakal calon peseorangan, yang beberapa waktu lalu
menyerahkan dokumen dukungan? Hingga kini KPU belum bisa memastikan, mengingat
masih dalam tahap verifikasi dukungan.
Sebelum waktu pendaftaran berakhir pada 19 Mei, perubahan peta politik
memang masih mungkin terjadi. Yang jelas, kalau ada proses yang berakibat salah
satu calon gugur dan tinggal satu pasangan, dampaknya dapat menunda pilkada
hingga tiga bulan. Padahal, pemilu legislatif sudah di depan mata, dan ada aturan
enam bulan sebelumnya tidak boleh ada pemilukada.
Semoga pemilukada sesuai tahapan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar