Doktrin
hukum pidana mengembangkan tiga golonganhukumpidana. Pertama, hukum
pidana umum untuk mengatur dan memberikan ancaman pidana terhadap
kejahatan konvensional seperti pembunuhan, pencurian, penipuan, dan
penggelapan.
Kedua, hukum
pidana administrasi seperti UU Tata Cara Perpajakan, UU Perbankan, UU
Pasar Modal, UU Kehutanan, dan UU Lingkungan Hidup yang semua itu undang-undang
yang bersifat regulatif diperkuat sanksi pidana. Ketiga, hukum pidana
khusus yaitu mengatur kejahatan-kejahatan selain kejahatan konvensional
sehubungan perkembangan kejahatan transnasional dan kejahatan
internasional.
Pembentukan
hukum pidana khusus dimungkinkan berdasarkan Pasal 103 KUHP untuk
mengantisipasi perkembangan kejahatan dalam masyarakat sesuai dengan
perkembangan ilmu dan teknologi. Golongan hukum pidana khusus inilah yang
diharapkan dapat menyesuaikan dengan perkembangan kejahatan modern
(transnasional dan internasional) sebagai akibat perkembangan ilmu dan
teknologi seperti kejahatan cyber, kejahatan genosida, kejahatan
perdagangan narkotika dan psikotropika, kejahatan terorisme, kejahatan di
bidang biologi, atau kejahatan pencucian uang.
Keberadaan
hukum pidana khusus bukan hal luar biasa, melainkan merupakan konsekuensi
dan dampak negatif dari perkembangan masyarakat, ilmu, dan teknologi di
mana hukum pidana umum (KUHP) tidak selalu dapat menjangkau bentuk
kejahatan baru dalam masyarakat. Tujuan utama penggolongan hukum pidana
di atas terutama hukum pidana khusus adalah upaya negara untuk mencegah
dan memberantas kejahatan yang terjadi dalam masyarakat seberapa pun
dampak yang ditimbulkan kejahatan tersebut.
Singkatnya,
agar tidak ada satu jenis kejahatan dalam masyarakat yang dapat lolos
dari jangkauan ancaman pidana sehingga pelakunya dapat terbebas dari
hukuman. Hanya dua karakteristik dalam kejahatan yang memerlukan
pengaturan bersifat khusus yaitu dilakukan dengan teknologi yang modern
dan menimbulkan dampak luar biasa kepada masyarakat yaitu bersifat
sistemik, kerugian yang sangat signifikan dan sulit dipulihkan serta
bersifat masif.
Kejahatan
seperti ini terdapat pada korupsi, terorisme, pencucian uang, kejahatan
perbankan, kejahatan pasar modal, dan kejahatan di bidang sumber daya
alam termasuk kerusakan lingkungan hidup yang sulit dipulihkan dan
memerlukan jangka waktu lama. Perkembangan masyarakat sejak pertengahan
abad ke-19 sampai abad ini (abad ke-21) terbukti telah memengaruhi jenis
dan kualitas kejahatannya. Bukan hanya sisi kuantitas yang memerlukan
sarana hukum yang memadai untuk dapat mengatasi atau paling tidak
mencegahnya, tapi juga perlu dibuat solusi agar masyarakat dapat hidup
tenang, nyaman, dan damai.
Tujuan itu
tak akan tercapai bila kejahatan-kejahatan dengan dampak luar biasa
tersebut hanya diatasi dengan cara-cara biasa (konvensional) seperti
ancaman minimum satu hari dan maksimum 20 tahun atau pidana mati atau
mengenakan pidana denda minimum Rp100 juta maksimum Rp1 miliar. Sementara
tidak ada ancaman pencabutan izin perusahaan baik bersifat sementara atau
permanen seperti kejahatan yang dilakukan korporasi.
Bagaimana
mencegah dan memberantas kejahatan transnasional terorganisasi (organized crimes) dengan perangkat
hukum pidana yang bersifat lege generali, sedangkan kualitas dan
kuantitas ancaman terhadap kehidupan bangsa dan negara sangat signifikan?
Sebut saja berkembangnya terorisme, narkotika dan penyalahgunaan
psikotropika, pencucian uang dan perdagangan orang, serta perdagangan
senjata api ilegal.
Sudah tentu
kebijakan negara dalam pembentukan politik hukum pidana nasional termasuk
penempatan lex specialis di dalamnya memerlukan kajian hukum yang cermat,
teliti, antisipatif, serta proporsional dengan mengamati perkembangan
kejahatan tersebut serta dampaknya di dalam kehidupan bangsa dan negara
baik kini maupun pada masa yang akan datang.
Pembentukan
kebijakan politik hukum pidana nasional tersebut bukan monopoli ahli
hukum pidana semata, melainkan juga memerlukan pendapat atau pemikiran
para ahli lain yang relevan dalam bidang masing-masing seperti ahli
ekonomi, ahli lingkungan hidup, atau ahli sumber daya alam. Hal ini
diperlukan agar pembentukan politik hukum pidana nasional dalam arti luas
merupakan hasil pemikiran dan riset yang komprehensif dan tuntas serta
tidak menimbulkan dampak ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi
individu, masyarakat dan pemangku kepentingan.
Pengalaman
kita membentuk undang-undang pidana khusus sejak sebelum dan sampai dan
selama era reformasi perlu dijadikan guru yang berharga. Dari sana kita
bisa mengantisipasi perkembangan pada masa yang akan datang dan dampak
positif yang diharapkan dari undang-undang pidana khusus yang dibentuk
tidak selalu sesuai tujuan awal yang diharapkan.
Kendati
demikian, keadaan tersebut bukan alasan untuk menutup celah hukum
pembentukan undang-undang pidana khusus yang sesuai dan relevan bagi
kepentingan kehidupan masyarakat yang lebih baik dari ancaman kejahatan
yang bersifat luar biasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar