Selasa, 16 April 2013

Renungan untuk RUU KUHP


Renungan untuk RUU KUHP
Romli Atmasasmita   Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran (Unpad) 
KORAN SINDO, 16 April 2013
  

Doktrin hukum pidana mengembangkan tiga golonganhukumpidana. Pertama, hukum pidana umum untuk mengatur dan memberikan ancaman pidana terhadap kejahatan konvensional seperti pembunuhan, pencurian, penipuan, dan penggelapan. 

Kedua, hukum pidana administrasi seperti UU Tata Cara Perpajakan, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Kehutanan, dan UU Lingkungan Hidup yang semua itu undang-undang yang bersifat regulatif diperkuat sanksi pidana. Ketiga, hukum pidana khusus yaitu mengatur kejahatan-kejahatan selain kejahatan konvensional sehubungan perkembangan kejahatan transnasional dan kejahatan internasional. 

Pembentukan hukum pidana khusus dimungkinkan berdasarkan Pasal 103 KUHP untuk mengantisipasi perkembangan kejahatan dalam masyarakat sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Golongan hukum pidana khusus inilah yang diharapkan dapat menyesuaikan dengan perkembangan kejahatan modern (transnasional dan internasional) sebagai akibat perkembangan ilmu dan teknologi seperti kejahatan cyber, kejahatan genosida, kejahatan perdagangan narkotika dan psikotropika, kejahatan terorisme, kejahatan di bidang biologi, atau kejahatan pencucian uang. 

Keberadaan hukum pidana khusus bukan hal luar biasa, melainkan merupakan konsekuensi dan dampak negatif dari perkembangan masyarakat, ilmu, dan teknologi di mana hukum pidana umum (KUHP) tidak selalu dapat menjangkau bentuk kejahatan baru dalam masyarakat. Tujuan utama penggolongan hukum pidana di atas terutama hukum pidana khusus adalah upaya negara untuk mencegah dan memberantas kejahatan yang terjadi dalam masyarakat seberapa pun dampak yang ditimbulkan kejahatan tersebut. 

Singkatnya, agar tidak ada satu jenis kejahatan dalam masyarakat yang dapat lolos dari jangkauan ancaman pidana sehingga pelakunya dapat terbebas dari hukuman. Hanya dua karakteristik dalam kejahatan yang memerlukan pengaturan bersifat khusus yaitu dilakukan dengan teknologi yang modern dan menimbulkan dampak luar biasa kepada masyarakat yaitu bersifat sistemik, kerugian yang sangat signifikan dan sulit dipulihkan serta bersifat masif.

Kejahatan seperti ini terdapat pada korupsi, terorisme, pencucian uang, kejahatan perbankan, kejahatan pasar modal, dan kejahatan di bidang sumber daya alam termasuk kerusakan lingkungan hidup yang sulit dipulihkan dan memerlukan jangka waktu lama. Perkembangan masyarakat sejak pertengahan abad ke-19 sampai abad ini (abad ke-21) terbukti telah memengaruhi jenis dan kualitas kejahatannya. Bukan hanya sisi kuantitas yang memerlukan sarana hukum yang memadai untuk dapat mengatasi atau paling tidak mencegahnya, tapi juga perlu dibuat solusi agar masyarakat dapat hidup tenang, nyaman, dan damai. 

Tujuan itu tak akan tercapai bila kejahatan-kejahatan dengan dampak luar biasa tersebut hanya diatasi dengan cara-cara biasa (konvensional) seperti ancaman minimum satu hari dan maksimum 20 tahun atau pidana mati atau mengenakan pidana denda minimum Rp100 juta maksimum Rp1 miliar. Sementara tidak ada ancaman pencabutan izin perusahaan baik bersifat sementara atau permanen seperti kejahatan yang dilakukan korporasi. 

Bagaimana mencegah dan memberantas kejahatan transnasional terorganisasi (organized crimes) dengan perangkat hukum pidana yang bersifat lege generali, sedangkan kualitas dan kuantitas ancaman terhadap kehidupan bangsa dan negara sangat signifikan? Sebut saja berkembangnya terorisme, narkotika dan penyalahgunaan psikotropika, pencucian uang dan perdagangan orang, serta perdagangan senjata api ilegal. 

Sudah tentu kebijakan negara dalam pembentukan politik hukum pidana nasional termasuk penempatan lex specialis di dalamnya memerlukan kajian hukum yang cermat, teliti, antisipatif, serta proporsional dengan mengamati perkembangan kejahatan tersebut serta dampaknya di dalam kehidupan bangsa dan negara baik kini maupun pada masa yang akan datang. 

Pembentukan kebijakan politik hukum pidana nasional tersebut bukan monopoli ahli hukum pidana semata, melainkan juga memerlukan pendapat atau pemikiran para ahli lain yang relevan dalam bidang masing-masing seperti ahli ekonomi, ahli lingkungan hidup, atau ahli sumber daya alam. Hal ini diperlukan agar pembentukan politik hukum pidana nasional dalam arti luas merupakan hasil pemikiran dan riset yang komprehensif dan tuntas serta tidak menimbulkan dampak ketidakpastian hukum dan ketidakadilan bagi individu, masyarakat dan pemangku kepentingan. 

Pengalaman kita membentuk undang-undang pidana khusus sejak sebelum dan sampai dan selama era reformasi perlu dijadikan guru yang berharga. Dari sana kita bisa mengantisipasi perkembangan pada masa yang akan datang dan dampak positif yang diharapkan dari undang-undang pidana khusus yang dibentuk tidak selalu sesuai tujuan awal yang diharapkan. 

Kendati demikian, keadaan tersebut bukan alasan untuk menutup celah hukum pembentukan undang-undang pidana khusus yang sesuai dan relevan bagi kepentingan kehidupan masyarakat yang lebih baik dari ancaman kejahatan yang bersifat luar biasa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar