Peristiwa penembakan dan pembunuhan empat tahanan
Lembaga Pemasyarakatan Cebongan dan tindakan sejumlah oknum TNI yang
membakar kantor polisi di Ogan Komering Ulu membuktikan runtuhnya wibawa
dan kedaulatan hukum. Korupsi sistemik dengan segala dampaknya telah
membuka peluang bagi berlakunya hukum kekerasan dalam masyarakat.
Polri merupakan lembaga penegak hukum yang paling
tidak berdaya menghadapi korupsi sistemik. Berdasarkan survei
Transparansi Internasional Indonesia, institusi ini adalah lembaga yang
paling banyak menerima suap dalam memberikan pelayanan publik. Reformasi
kepolisian, kalau memang benar ada, telah gagal total.
Kasus korupsi yang melibatkan Irjen Pol DS dengan
kekayaan fantastis lebih dari Rp 100 miliar yang diduga hasil
korupsi/pencucian uang sungguh telah membuat kita prihatin sekaligus
marah akan kesungguhan pemerintah dan Polri dalam melakukan reformasi
kepolisian. Kita marah karena uang pajak hasil keringat dan
"darah" yang telah kita bayarkan kepada negara telah begitu
mudah dicuri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Reformasi kepolisian hanyalah retorika, tanpa
substansi. Kasus korupsi DS, yang saya duga bersifat sistemik dan
karenanya hampir pasti melibatkan petinggi Polri lainnya, membuktikan
kegagalan reformasi di institusi kepolisian, khususnya reformasi sistemik
di Korps Lalu Lintas Polri. Penolakan pimpinan Polri untuk menyerahkan
kasus ini ke KPK serta keengganannya untuk mengungkap dengan tuntas dan
adil rekening gendut perwira Polri justru semakin memperkuat dugaan itu.
Dampak korupsi sistemik di institusi kepolisian
sungguh merusak perikehidupan bernegara. Dampak itu sudah kita rasakan
sekarang. Karena sudah kehilangan kepercayaan kepada institusi
kepolisian, masyarakat kini menyelesaikan masalah hukum dengan kekerasan
dan peradilan jalanan.
Korupsi sistemik kepolisian juga menyebabkan
kejahatan yang semakin meluas, termasuk kejahatan narkoba dan korupsi.
Para penjahat potensial, residivis, dan koruptor akan cenderung melakukan
kejahatan (kembali), karena mereka berpikir hukum dan polisi dapat
"dibeli". Mereka berkalkulasi keuntungan yang akan diperoleh
masih jauh lebih besar daripada risiko yang akan didapatkan (high profit,
low risk). Tidak ada efek jera dalam penegakan hukum.
Institusi kepolisian yang korup juga menutup akses
pada keadilan (access to justice), terutama bagi masyarakat yang tidak
mampu. Masyarakat segan mengadukan masalah hukumnya kepada polisi, karena
mereka tidak mau "kehilangan kambing hanya karena melaporkan ayamnya
yang hilang", suatu sindiran yang sudah terkenal di kalangan
masyarakat. Mereka tidak memiliki uang untuk menyuap atau menjadi korban
pemerasan (extortion) oknum polisi.
Korban korupsi kepolisian berikutnya adalah polisi
dan institusi kepolisian itu sendiri. Karena sudah muak terhadap perilaku
oknum polisi yang korup dan sewenang-wenang, masyarakat kini semakin
berani melawan dan melakukan kekerasan terhadap polisi. Banyak sudah
polisi (termasuk polisi yang baik) menjadi korban kekerasan warga.
Kejadian terakhir adalah dikeroyoknya Kepala Kepolisian Sektor Dolok
Pardamean, Kabupaten Simalungun, hingga tewas oleh sekelompok orang.
Akibatnya, tekanan psikologis polisi dalam melaksanakan tugas kini
semakin berat. Banyak polisi mengalami depresi, dan di antaranya bunuh
diri.
Dampak korupsi kepolisian sistemik yang paling
berbahaya adalah semakin kuatnya mafia hukum dan bentuk kejahatan
terorganisasi lainnya. Bila oknum para petinggi Polri sudah menjadi
pelindung, bahkan menjadi bagian dari organisasi kejahatan, bukan tidak
mungkin anarki penegakan hukum di negara kita akan seperti di Meksiko.
Perang dan saling bunuh antar-kartel narkoba atau organisasi massa
(preman) yang dilindungi oknum petinggi Polri akan semakin sering
terjadi. Karena itu, institusi Polri harus segera diselamatkan. Untuk
itu, perlu diketahui apa yang menjadi penyebab korupsi kepolisian
sistemik itu.
Pada dasarnya ada dua penyebab, yaitu penyebab
internal (endogenous corruption)
dan penyebab eksternal (exogenous
corruption). Endogenous corruption adalah korupsi karena faktor atau
variabel internal/di dalam sistem organisasi kepolisian itu sendiri.
Contoh, budaya organisasi yang korup, pengawasan internal yang lemah,
mental polisi yang korup, solidaritas korsa untuk saling melindungi dan
menutupi perilaku korup (code of
silence), serta tidak adanya teladan dan integritas kepemimpinan.
Exogenous corruption disebabkan oleh faktor atau
variabel eksternal/di luar sistem organisasi Polri. Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang membuka peluang korupsi, gaya hidup
hedonistik dan materialistis, serta masyarakat korup yang toleran
terhadap perilaku korup adalah sebagian contoh dari penyebab korupsi
jenis ini.
Penyelamatan Darurat
Presiden SBY harus segera menyelamatkan institusi
kepolisian. Ada modelnya, seperti pembentukan Knapp Commission di New York dan Royal Commission into Police Corruption di New South Wales
(NSW) yang bertugas memberantas korupsi dan mereformasi New York Police Department (NYPD)
dan kepolisian NSW. Presiden sebaiknya segera membentuk komisi presiden
ad hoc untuk mengambil alih dan melakukan reformasi di tubuh Polri.
Karena tidak memiliki kewenangan yang memadai, sebaiknya Komisi
Kepolisian Nasional dibubarkan.
Tugas pertama komisi independen yang memiliki kewenangan
kuat dan anggotanya terdiri atas para tokoh terkemuka dan berintegritas
ini adalah menyatakan keadaan darurat bagi institusi kepolisian.
Selanjutnya, komisi ini mencopot para petinggi Polri yang paling
bertanggung jawab atas gagalnya reformasi Polri dan menggantinya dengan
pejabat yang kompeten dan berintegritas tinggi.
Sebagai organisasi sipil, Polri sudah seharusnya
tunduk kepada ketentuan rekrutmen dan promosi pejabat tinggi Polri,
termasuk Kepala Polri, berdasarkan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara
yang sebentar lagi disahkan. Hal ini untuk mengatasi kesulitan dalam
mencari pejabat Polri yang berintegritas.
Dengan kata lain, jabatan tinggi Polri dapat dijabat
oleh pejabat di luar Polri, seperti hakim, jaksa, pengacara, dan
akademisi. Kepala Polri tidak lagi diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden atau DPR, melainkan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara. Atribut
militer, seperti lambang bintang dan sebutan jenderal, harus diganti
dengan simbol sipil.
KUHAP harus mampu mencegah korupsi dan
memperkuat pengawasan internal dan eksternal Polri. Whistle blowing system harus diterapkan. Tokoh polisi whistle
blower yang heroik seperti Frank Serpico, yang berhasil membongkar
korupsi dan code of silence di
tubuh NYPD, harus dimunculkan dan dilindungi. Untuk memperkuat
transparansi dan akuntabilitas, perekaman dan penggunaan kamera harus
diterapkan dalam setiap proses investigasi dan pelaksanaan tugas polisi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar