Selasa, 09 April 2013

Memberantas Korupsi Kepolisian


Memberantas Korupsi Kepolisian
Roby Arya Brata ;  Analis Antikorupsi, Anggota Pendiri Kelompok Kajian Korupsi, Asian Association for Public Administration
KORAN TEMPO, 09 April 2013


Peristiwa penembakan dan pembunuhan empat tahanan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan dan tindakan sejumlah oknum TNI yang membakar kantor polisi di Ogan Komering Ulu membuktikan runtuhnya wibawa dan kedaulatan hukum. Korupsi sistemik dengan segala dampaknya telah membuka peluang bagi berlakunya hukum kekerasan dalam masyarakat.
Polri merupakan lembaga penegak hukum yang paling tidak berdaya menghadapi korupsi sistemik. Berdasarkan survei Transparansi Internasional Indonesia, institusi ini adalah lembaga yang paling banyak menerima suap dalam memberikan pelayanan publik. Reformasi kepolisian, kalau memang benar ada, telah gagal total.
Kasus korupsi yang melibatkan Irjen Pol DS dengan kekayaan fantastis lebih dari Rp 100 miliar yang diduga hasil korupsi/pencucian uang sungguh telah membuat kita prihatin sekaligus marah akan kesungguhan pemerintah dan Polri dalam melakukan reformasi kepolisian. Kita marah karena uang pajak hasil keringat dan "darah" yang telah kita bayarkan kepada negara telah begitu mudah dicuri oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.
Reformasi kepolisian hanyalah retorika, tanpa substansi. Kasus korupsi DS, yang saya duga bersifat sistemik dan karenanya hampir pasti melibatkan petinggi Polri lainnya, membuktikan kegagalan reformasi di institusi kepolisian, khususnya reformasi sistemik di Korps Lalu Lintas Polri. Penolakan pimpinan Polri untuk menyerahkan kasus ini ke KPK serta keengganannya untuk mengungkap dengan tuntas dan adil rekening gendut perwira Polri justru semakin memperkuat dugaan itu.
Dampak korupsi sistemik di institusi kepolisian sungguh merusak perikehidupan bernegara. Dampak itu sudah kita rasakan sekarang. Karena sudah kehilangan kepercayaan kepada institusi kepolisian, masyarakat kini menyelesaikan masalah hukum dengan kekerasan dan peradilan jalanan.
Korupsi sistemik kepolisian juga menyebabkan kejahatan yang semakin meluas, termasuk kejahatan narkoba dan korupsi. Para penjahat potensial, residivis, dan koruptor akan cenderung melakukan kejahatan (kembali), karena mereka berpikir hukum dan polisi dapat "dibeli". Mereka berkalkulasi keuntungan yang akan diperoleh masih jauh lebih besar daripada risiko yang akan didapatkan (high profit, low risk). Tidak ada efek jera dalam penegakan hukum.
Institusi kepolisian yang korup juga menutup akses pada keadilan (access to justice), terutama bagi masyarakat yang tidak mampu. Masyarakat segan mengadukan masalah hukumnya kepada polisi, karena mereka tidak mau "kehilangan kambing hanya karena melaporkan ayamnya yang hilang", suatu sindiran yang sudah terkenal di kalangan masyarakat. Mereka tidak memiliki uang untuk menyuap atau menjadi korban pemerasan (extortion) oknum polisi.
Korban korupsi kepolisian berikutnya adalah polisi dan institusi kepolisian itu sendiri. Karena sudah muak terhadap perilaku oknum polisi yang korup dan sewenang-wenang, masyarakat kini semakin berani melawan dan melakukan kekerasan terhadap polisi. Banyak sudah polisi (termasuk polisi yang baik) menjadi korban kekerasan warga. Kejadian terakhir adalah dikeroyoknya Kepala Kepolisian Sektor Dolok Pardamean, Kabupaten Simalungun, hingga tewas oleh sekelompok orang. Akibatnya, tekanan psikologis polisi dalam melaksanakan tugas kini semakin berat. Banyak polisi mengalami depresi, dan di antaranya bunuh diri.
Dampak korupsi kepolisian sistemik yang paling berbahaya adalah semakin kuatnya mafia hukum dan bentuk kejahatan terorganisasi lainnya. Bila oknum para petinggi Polri sudah menjadi pelindung, bahkan menjadi bagian dari organisasi kejahatan, bukan tidak mungkin anarki penegakan hukum di negara kita akan seperti di Meksiko. Perang dan saling bunuh antar-kartel narkoba atau organisasi massa (preman) yang dilindungi oknum petinggi Polri akan semakin sering terjadi. Karena itu, institusi Polri harus segera diselamatkan. Untuk itu, perlu diketahui apa yang menjadi penyebab korupsi kepolisian sistemik itu.
Pada dasarnya ada dua penyebab, yaitu penyebab internal (endogenous corruption) dan penyebab eksternal (exogenous corruption). Endogenous corruption adalah korupsi karena faktor atau variabel internal/di dalam sistem organisasi kepolisian itu sendiri. Contoh, budaya organisasi yang korup, pengawasan internal yang lemah, mental polisi yang korup, solidaritas korsa untuk saling melindungi dan menutupi perilaku korup (code of silence), serta tidak adanya teladan dan integritas kepemimpinan.
Exogenous corruption disebabkan oleh faktor atau variabel eksternal/di luar sistem organisasi Polri. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang membuka peluang korupsi, gaya hidup hedonistik dan materialistis, serta masyarakat korup yang toleran terhadap perilaku korup adalah sebagian contoh dari penyebab korupsi jenis ini.
Penyelamatan Darurat
Presiden SBY harus segera menyelamatkan institusi kepolisian. Ada modelnya, seperti pembentukan Knapp Commission di New York dan Royal Commission into Police Corruption di New South Wales (NSW) yang bertugas memberantas korupsi dan mereformasi New York Police Department (NYPD) dan kepolisian NSW. Presiden sebaiknya segera membentuk komisi presiden ad hoc untuk mengambil alih dan melakukan reformasi di tubuh Polri. Karena tidak memiliki kewenangan yang memadai, sebaiknya Komisi Kepolisian Nasional dibubarkan.
Tugas pertama komisi independen yang memiliki kewenangan kuat dan anggotanya terdiri atas para tokoh terkemuka dan berintegritas ini adalah menyatakan keadaan darurat bagi institusi kepolisian. Selanjutnya, komisi ini mencopot para petinggi Polri yang paling bertanggung jawab atas gagalnya reformasi Polri dan menggantinya dengan pejabat yang kompeten dan berintegritas tinggi.
Sebagai organisasi sipil, Polri sudah seharusnya tunduk kepada ketentuan rekrutmen dan promosi pejabat tinggi Polri, termasuk Kepala Polri, berdasarkan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yang sebentar lagi disahkan. Hal ini untuk mengatasi kesulitan dalam mencari pejabat Polri yang berintegritas.
Dengan kata lain, jabatan tinggi Polri dapat dijabat oleh pejabat di luar Polri, seperti hakim, jaksa, pengacara, dan akademisi. Kepala Polri tidak lagi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atau DPR, melainkan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara. Atribut militer, seperti lambang bintang dan sebutan jenderal, harus diganti dengan simbol sipil.
KUHAP harus mampu mencegah korupsi dan memperkuat pengawasan internal dan eksternal Polri. Whistle blowing system harus diterapkan. Tokoh polisi whistle blower yang heroik seperti Frank Serpico, yang berhasil membongkar korupsi dan code of silence di tubuh NYPD, harus dimunculkan dan dilindungi. Untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas, perekaman dan penggunaan kamera harus diterapkan dalam setiap proses investigasi dan pelaksanaan tugas polisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar