Dalam
sejumlah survei nasional yang digelar antara Januari–Februari 2013, calon
presiden yang menjadi pilihan responden mengerucut pada nama Joko Widodo
alias Jokowi.
Mantan Wali
Kota Surakarta yang dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta pertengahan
Oktober 2012 itu elektabilitasnya melampaui nama-nama capres yang sudah
getol berkampanye seperti Prabowo Subiyanto, Aburizal Bakrie, dan Hatta
Rajasa. Survei nasional Pusat Data Bersatu (PDB), 3-18 Januari 2013,
menempatkan elektabilitas Jokowi di puncak dengan meraih 21,2%, disusul
Prabowo 18,4%, dan Megawati Soekarnoputri 13,1%.
Sementara
Aburizal berada di urutan kelima dengan 9,3%. Hasil ini tak jauh berbeda
dengan survei Lembaga Survei Nasional (LSN) yang juga menempatkan Jokowi
di urutan teratas dengan 18,1%, disusul Prabowo 10,9%, Wiranto 9,8%,
Jusuf Kalla 8,9%, dan Aburizal tetap di urutan kelima dengan 8,7%.
Mengapa Jokowi lebih diminati publik menjadi presiden ketimbang
capres-capres yang sudah lebih dulu muncul?
Menurut
analisis PDB, sikap, penampilan (gaya berbicara dan berpakaian), serta
pemberitaan media membuat nama Jokowi melambung dan menjadi idola baru di
tengah-tengah masyarakat. Dua kriteria utama capres yang dikehendaki
publik yakni kejujuran dan keberpihakan pada rakyat dianggap terwakili
dalam sosok Jokowi. Gaya bicara, penampilan, dan sikapnya saat berada di
tengah-tengah kerumunan masyarakat dianggap mewakili sikap yang asli dan
tidak dibuat-buat layaknya capres yang sedang berkampanye.
Mengapa
capres-capres yang gemar berkampanye antara lain dengan memasang baliho
yang tersebar di seluruh Nusantara seperti Aburizal Bakrie dan Hatta
Rajasa justru kurang mendapat respons positif (elektabilitasnya rendah)?
Publik menganggap kampanye mewakili ketidakjujuran, dibuat- buat, dan
semata-mata untuk pencitraan. Publik tampaknya tidak mau terperosok dalam
lubang yang sama dua kali. Memiliki presiden yang mengandalkan citra
sudah cukup pada era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Ibarat Joker
Dalam
permainan kartu, Joker pada dasarnya bukan kartu utama, hanya dibutuhkan
untuk membantu dan menguatkan posisi kartu-kartu lainnya. Seperti pemain
cadangan dalam tim sepak bola, Joker tidak dimainkan sejak babak pertama
dimulai. Joker dibutuhkan untuk meraih kemenangan. Joker dimanfaatkan
untuk meraih keuntungan. Posisi kartu Joker memang tidak sehebat “As”
atau ”King”.
Tapi, ia
memiliki keistimewaan bisa diterima dan bekerja sama dengan kartu apa
pun. Saat bergabung dengan “Hati” ia menjadi “Hati”, saat bergabung
dengan “Diamond” menjadi ”Diamond” dan seterusnya. Posisi Jokowi saat ini
ibarat Joker karena ia sudah berkalikali menegaskan hanya fokus pada
tugas-tugasnya memimpin Jakarta sampai tuntas. Artinya, ia tidak berniat
maju menjadi capres dan selama ini memang tak pernah menunjukkan
ambisinya untuk menjadi capres, apalagi berkampanye.
Namun, dengan
melihat fakta-fakta yang ditunjukkan sejumlah hasil survei, Jokowi
tampaknya akan menjadi tokoh yang paling diminati untuk memenangkan
capres atau cawapres yang nama-namanya sudah bermunculan. Maka patut
diduga, tim sukses caprescapres seperti Prabowo, Aburizal, dan Hatta
Rajasa ingin menggaet Jokowi sebagai pasangan mereka, baik sebagai capres
atau cawapres, bergantung pada perolehan suara partainya masing-masing.
Partai
Demokrat yang kabarnya mau mengajukan capres muda seperti Gita Wirjawan
pun diduga menginginkan Jokowi. Jika perolehan suara Partai Demokrat
tetap signifikan, Jokowi bisa digaet menjadi cawapres. Jika suaranya
jatuh di bawah PDIP, Jokowi capres dan Gita cawapres.
Partai Hanura
yang tengah bersemangat dengan bergabungnya Hari Tanoesudibyo (HT), jika
berhasil memenangkan pemilu¸ diduga juga akan mengajukan cawapres Jokowi
untuk berpasangan dengan capres Wiranto. Jika ternyata perolehan suaranya
di bawah PDIP, pasangan Jokowi-HT bisa mereka ajukan sebagai alternatif
capres-cawapres muda.
Faktor Megawati
Namun,
akankah Jokowi bersedia menjadi capres atau cawapres? Untuk menjawab
pertanyaan ini, posisi Megawati menjadi sangat penting. Dalam sejumlah
survei, posisi putri pertama Bung Karno ini boleh saja statis, tidak
menunjukkan kenaikan popularitas maupun elektabilitas, namun dalam
menentukan ke mana arah Jokowi ke depan, dialah yang paling menentukan.
Politik adalah seni dari serbakemungkinan (the art of possible), pada saat masih menjadi Wali Kota
Surakarta, Jokowi pernah menegaskan tidak berminat memimpin Jakarta
karena harus menyelesaikan tugas di Surakarta.
Namun,
setelah ada permintaan langsung dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri,
Jokowi bersedia dengan dalih untuk mengemban tugas yang lebih besar yakni
untuk bisa berkiprah lebih banyak membantu rakyat. Apakah Jokowi akhirnya
mau maju menjadi capres atau cawapres, bukan tidak mungkin, Megawati pula
yang mampu mengubah pendiriannya. Dengan demikian, Megawati akan menjadi
king-maker, menjadi penentu siapa yang berhak menjadi capres atau
cawapres berpasangan dengan Jokowi. Wallahu
a’lam! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar