Selasa, 09 April 2013

Transformasi Jiwa Korsa


Transformasi Jiwa Korsa
Asep Purnama Bahtiar ;  Wakil Dekan FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
KORAN TEMPO, 09 April 2013


Istilah jiwa korsa kembali mencuat ketika kasus penembakan empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan (Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta) terungkap. Pelakunya adalah 11 anggota Kopassus Grup II Kandang Menjangan (Kartasura) sebagai tindakan reaktif atas kabar terbunuhnya Sersan Kepala Santoso. Seperti yang dilansir Ketua Tim Investigasi TNI Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Unggul Yudhoyono, "Pelaku bergerak dilandasi jiwa korsa yang tinggi dan semangat membela kesatuan." (Koran Tempo, 6 April 2013)
Penggunaan kosakata jiwa korsa dalam konteks kasus tersebut menarik untuk dicermati, setidaknya karena tiga hal. Pertama, pemahaman dan penerapan jiwa korsa dalam tindakan yang melanggar hukum. Kedua, rasa solidaritas dan menjaga kehormatan korps yang tidak tepat implementasinya itu juga ada hubungan kausalitasnya dengan law enforcement yang lemah dan tidak fair di negeri ini. Ketiga, jiwa korsa sesungguhnya bisa dan penting ditransformasikan di segenap komponen bangsa ini untuk membangun budaya hukum.
Jiwa Korsa
Secara etimologis, jiwa korsa (esprit de corps [bahasa Prancis]) adalah spirit of body atau corporate spirit, semangat kelompok (group spirit). Tubuh (body) adalah metafora yang mengacu pada sekelompok orang yang disatukan seperti satu tubuh. Dalam makna terminologi, jiwa korsa antara lain merujuk pada rasa solidaritas, kebanggaan, kehormatan pada masing-masing anggota dalam suatu grup dengan sikap respek kepada kelompoknya.
Selama ini jiwa korsa lazimnya lebih banyak dikenal dan diterapkan dalam dunia militer dan keprajuritan. Sejak awal dan selama pendidikan militer, para calon prajurit atau taruna diajarkan dan ditanamkan tentang pentingnya jiwa korsa tersebut untuk memupuk kesetiakawanan, solidaritas, semangat kebersamaan, dan rasa senasib sepenanggungan.
Di samping untuk kepentingan membina pasukan yang solid dan padu, jiwa korsa tersebut juga berguna dalam pelaksanaan misi dan tugas kesatuan, baik di wilayah teritorial maupun di daerah operasi, area pertempuran dan misi lainnya yang berhadapan dengan pihak musuh atau pengganggu keamanan. Dalam kondisi yang tidak normal dan potensial dengan berbagai ancaman dari luar itu, kekompakan dan kesatupaduan yang dibangun dengan jiwa korsa ikut berperan positif dalam keberhasilan suatu tugas atau misi.
Dalam prakteknya atau ketika terjadi interaksi dan/atau konflik di luar medan perang, tidak jarang jiwa korsa itu muncul dalam ekspresi dan manifestasi yang tidak tepat, sehingga nilai dan semangat dari jiwa korsa tersebut menjadi tereduksi atau terdegradasi. Jiwa korsa sesungguhnya tidak berada di ruang hampa yang terisolasi. Karena itu, jiwa korsa tidak sekadar hormat ke dalam kelompok atau grup sendiri (internal respect), tapi juga harus bersikap menghargai dan menghormati pihak-pihak lain di luar kelompoknya (external respect).
Dalam jiwa korsa berarti ada moral dan etika yang tidak bisa diabaikan, apalagi ketika berinteraksi dengan berbagai pihak, kelompok dan organisasi yang lain. Ciri jiwa korsa yang baik, mengutip Muladi dan Adi Sujatno (2008), antara lain antusiasme dan rasa kebanggaan segenap anggota terhadap organisasinya; reputasi yang baik terhadap organisasi lain; semangat persaingan secara sehat dan bermutu.
Perlu Transformasi
Bila demikian adanya, maka yang mendesak untuk ditindaklanjuti adalah: jiwa korsa sebetulnya perlu dimiliki oleh bangsa ini secara keseluruhan dan kemudian ditransformasikan ke dalam berbagi aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Proyek kebangsaan ini urgen, karena jiwa korsa bukan milik kelompok tertentu saja dan juga bukan sesuatu yang tidak bisa didesain atau dikultivasikan dalam bangunan nasionalisme kita.
Transformasi jiwa korsa ini bisa mengambil dua pola. Pertama, penguatan sikap respek, kebanggaan dan solidaritas pada setiap kelompok dan unit yang dibarengi dengan penyebarluasan semangat kebersamaan dan kebanggaan itu secara inklusif pada seluruh elemen dan komponen bangsa. Kedua, penataan jiwa korsa secara lengkap dan lebih berbobot, baik pada bentuk maupun isinya, sehingga dari semangat korps atau lembaga yang terbatas bisa berubah menjadi nilai-nilai dan pandangan hidup yang menjiwai seluruh masyarakat.
Relevan dengan kasus yang terjadi, seperti disinggung di awal tulisan ini, transformasi jiwa korsa itu secara riil antara lain perlu dilakukan pada pembangunan budaya hukum. Karena tidak ada transformasi jiwa korsa yang bersenyawa dengan nilai dan semangat kebangsaan dalam dunia hukum di Indonesia, itulah yang menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya berbagai penyimpangan dan kejanggalan hukum di republik ini. Simak saja pernyataan sungkawa dan sekaligus asa seorang Teuku Jacob (2004) berikut ini: masyarakat tanpa keadilan tidak dapat hidup damai, tenang, tenteram, dan tertib. Masyarakat beradab berdiri di atas keadilan. Keadilan akan mengurangi konflik, kekerasan, dan penderitaan. Sistem yang tidak adil dipertahankan dengan senjata, uang haram, dan kebohongan. Tapi keadilan tidak pernah berasal dari laras bedil atau ujung bayonet.
Transformasi atau perubahan format dan konten yang lebih baik ini akan menambah bobot jiwa korsa dengan nilai toleransi, mutual respect, keluasan pandangan dan keluwesan sikap dalam realitas kemajemukan dengan pelbagai dinamikanya. Beriringan dengan muatan ini, transformasi jiwa korsa juga tidak bisa memberikan toleransi atas penyalahgunaan esprit de corps tersebut untuk membela teman secara membabi-buta, melindungi kesalahan korps, solider dengan melakukan tindakan melawan hukum, dan aksi-aksi sejenisnya.
Transformasi jiwa korsa adalah untuk menjaga martabat, wibawa, dan keluhuran nilai yang dimiliki oleh setiap korps dan bangsa ini dari berbagai pencemaran dan penyalahgunaannya. Sehingga esprit de corps yang dimiliki suatu kesatuan atau suatu kelompok bukan untuk membangun elitisme dan hierarki sosial yang berujung pada pemujaan kelompok sendiri dan penistaan terhadap pihak lain. Semangat kebersamaan dan kehormatan yang dimiliki suatu kelompok atau institusi itu juga harus menjadi kebanggaan dan bisa dibanggakan oleh segenap masyarakat.
Demikian juga halnya, dengan transformasi jiwa korsa ini, para aparat penegak hukum harus betul-betul menjadi pengayom warga, penegak keadilan yang tegas, anti-premanisme, dan teladan dalam pembinaan budaya hukum. Sehingga bangsa ini menaruh kepercayaan kembali pada fungsi hukum untuk melindungi hak-hak asasi setiap warga negara; dan bisa menempatkan jiwa korsa secara proporsional. Seperti itulah, antara lain, transformasi jiwa korsa bisa dilakukan dengan penuh kesadaran dan keinsafan semua pihak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar