Istilah jiwa korsa kembali mencuat ketika kasus
penembakan empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan (Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta) terungkap. Pelakunya adalah 11 anggota
Kopassus Grup II Kandang Menjangan (Kartasura) sebagai tindakan reaktif atas
kabar terbunuhnya Sersan Kepala Santoso. Seperti yang dilansir Ketua Tim
Investigasi TNI Angkatan Darat, Brigadir Jenderal Unggul Yudhoyono, "Pelaku bergerak dilandasi jiwa
korsa yang tinggi dan semangat membela kesatuan." (Koran Tempo, 6 April 2013)
Penggunaan kosakata jiwa korsa dalam konteks kasus
tersebut menarik untuk dicermati, setidaknya karena tiga hal. Pertama,
pemahaman dan penerapan jiwa korsa dalam tindakan yang melanggar hukum.
Kedua, rasa solidaritas dan menjaga kehormatan korps yang tidak tepat
implementasinya itu juga ada hubungan kausalitasnya dengan law enforcement yang lemah dan
tidak fair di negeri ini. Ketiga, jiwa korsa sesungguhnya bisa dan
penting ditransformasikan di segenap komponen bangsa ini untuk membangun
budaya hukum.
Jiwa Korsa
Secara etimologis, jiwa korsa (esprit de corps [bahasa Prancis]) adalah spirit of body atau
corporate spirit, semangat kelompok (group
spirit). Tubuh (body)
adalah metafora yang mengacu pada sekelompok orang yang disatukan seperti
satu tubuh. Dalam makna terminologi, jiwa korsa antara lain merujuk pada
rasa solidaritas, kebanggaan, kehormatan pada masing-masing anggota dalam
suatu grup dengan sikap respek kepada kelompoknya.
Selama ini jiwa korsa lazimnya lebih banyak dikenal
dan diterapkan dalam dunia militer dan keprajuritan. Sejak awal dan
selama pendidikan militer, para calon prajurit atau taruna diajarkan dan
ditanamkan tentang pentingnya jiwa korsa tersebut untuk memupuk
kesetiakawanan, solidaritas, semangat kebersamaan, dan rasa senasib
sepenanggungan.
Di samping untuk kepentingan membina pasukan yang
solid dan padu, jiwa korsa tersebut juga berguna dalam pelaksanaan misi
dan tugas kesatuan, baik di wilayah teritorial maupun di daerah operasi,
area pertempuran dan misi lainnya yang berhadapan dengan pihak musuh atau
pengganggu keamanan. Dalam kondisi yang tidak normal dan potensial dengan
berbagai ancaman dari luar itu, kekompakan dan kesatupaduan yang dibangun
dengan jiwa korsa ikut berperan positif dalam keberhasilan suatu tugas
atau misi.
Dalam prakteknya atau ketika terjadi interaksi
dan/atau konflik di luar medan perang, tidak jarang jiwa korsa itu muncul
dalam ekspresi dan manifestasi yang tidak tepat, sehingga nilai dan
semangat dari jiwa korsa tersebut menjadi tereduksi atau terdegradasi.
Jiwa korsa sesungguhnya tidak berada di ruang hampa yang terisolasi.
Karena itu, jiwa korsa tidak sekadar hormat ke dalam kelompok atau grup
sendiri (internal respect),
tapi juga harus bersikap menghargai dan menghormati pihak-pihak lain di
luar kelompoknya (external respect).
Dalam jiwa korsa berarti ada moral dan etika yang
tidak bisa diabaikan, apalagi ketika berinteraksi dengan berbagai pihak,
kelompok dan organisasi yang lain. Ciri jiwa korsa yang baik, mengutip
Muladi dan Adi Sujatno (2008), antara lain antusiasme dan rasa kebanggaan
segenap anggota terhadap organisasinya; reputasi yang baik terhadap
organisasi lain; semangat persaingan secara sehat dan bermutu.
Perlu Transformasi
Bila demikian adanya, maka yang mendesak untuk
ditindaklanjuti adalah: jiwa korsa sebetulnya perlu dimiliki oleh bangsa
ini secara keseluruhan dan kemudian ditransformasikan ke dalam berbagi
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Proyek kebangsaan ini urgen,
karena jiwa korsa bukan milik kelompok tertentu saja dan juga bukan
sesuatu yang tidak bisa didesain atau dikultivasikan dalam bangunan
nasionalisme kita.
Transformasi jiwa korsa ini bisa mengambil dua pola.
Pertama, penguatan sikap respek, kebanggaan dan solidaritas pada setiap
kelompok dan unit yang dibarengi dengan penyebarluasan semangat
kebersamaan dan kebanggaan itu secara inklusif pada seluruh elemen dan
komponen bangsa. Kedua, penataan jiwa korsa secara lengkap dan lebih
berbobot, baik pada bentuk maupun isinya, sehingga dari semangat korps atau
lembaga yang terbatas bisa berubah menjadi nilai-nilai dan pandangan
hidup yang menjiwai seluruh masyarakat.
Relevan dengan kasus yang terjadi, seperti disinggung
di awal tulisan ini, transformasi jiwa korsa itu secara riil antara lain
perlu dilakukan pada pembangunan budaya hukum. Karena tidak ada
transformasi jiwa korsa yang bersenyawa dengan nilai dan semangat
kebangsaan dalam dunia hukum di Indonesia, itulah yang menjadi salah satu
faktor penyebab terjadinya berbagai penyimpangan dan kejanggalan hukum di
republik ini. Simak saja pernyataan sungkawa
dan sekaligus asa seorang Teuku Jacob (2004) berikut ini: masyarakat
tanpa keadilan tidak dapat hidup damai, tenang, tenteram, dan tertib.
Masyarakat beradab berdiri di atas keadilan. Keadilan akan mengurangi
konflik, kekerasan, dan penderitaan. Sistem yang tidak adil dipertahankan
dengan senjata, uang haram, dan kebohongan. Tapi keadilan tidak pernah
berasal dari laras bedil atau ujung bayonet.
Transformasi atau perubahan format dan konten yang
lebih baik ini akan menambah bobot jiwa korsa dengan nilai toleransi,
mutual respect, keluasan pandangan dan keluwesan sikap dalam realitas
kemajemukan dengan pelbagai dinamikanya. Beriringan dengan muatan ini,
transformasi jiwa korsa juga tidak bisa memberikan toleransi atas
penyalahgunaan esprit de corps tersebut untuk membela teman secara
membabi-buta, melindungi kesalahan korps, solider dengan melakukan
tindakan melawan hukum, dan aksi-aksi sejenisnya.
Transformasi jiwa korsa adalah untuk menjaga
martabat, wibawa, dan keluhuran nilai yang dimiliki oleh setiap korps dan
bangsa ini dari berbagai pencemaran dan penyalahgunaannya. Sehingga esprit de corps yang dimiliki
suatu kesatuan atau suatu kelompok bukan untuk membangun elitisme dan
hierarki sosial yang berujung pada pemujaan kelompok sendiri dan
penistaan terhadap pihak lain. Semangat kebersamaan dan kehormatan yang
dimiliki suatu kelompok atau institusi itu juga harus menjadi kebanggaan
dan bisa dibanggakan oleh segenap masyarakat.
Demikian juga halnya, dengan transformasi
jiwa korsa ini, para aparat penegak hukum harus betul-betul menjadi
pengayom warga, penegak keadilan yang tegas, anti-premanisme, dan teladan
dalam pembinaan budaya hukum. Sehingga bangsa ini menaruh kepercayaan
kembali pada fungsi hukum untuk melindungi hak-hak asasi setiap warga
negara; dan bisa menempatkan jiwa korsa secara proporsional. Seperti
itulah, antara lain, transformasi jiwa korsa bisa dilakukan dengan penuh
kesadaran dan keinsafan semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar