Sabtu, 09 Februari 2013

Waspada Anak Korban Kejahatan Online


Waspada Anak Korban Kejahatan Online
Siti Nuryati  ;   Alumnus Pascasarjana Fakultas Ekologi Manusia IPB
SUARA KARYA, 08 Februari 2013


Indonesia merupakan salah satu pengguna internet terbesar di dunia, sesudah Amerika, dan China dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia sebesar 240 juta orang, di mana 49,9 persen adalah perempuan dan 30 persen anak.

Perkembangan internet membuka akses seluas-luasnya bagi semua pihak untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dengan mudah, murah dan cepat, tak terkecuali anak-anak. Di sisi lain, tidak semua pengguna internet mempunyai niat yang baik dan ini sudah terbukti dari data yang menggambarkan bahwa internet dipakai untuk menipu, mengiming-imingi dan akhirnya untuk memperdagangkan anak maupun remaja putri dengan tujuan eksploitasi seksual dan prostitusi. Ironisnya, banyak orangtua tidak melek internet.

Dari sebuah penelitian diketahui 90 persen anak usia 8-16 tahun telah membuka situs porno di internet. Studi tersebut menyebut rata-rata anak usia 11 tahun membuka situs porno untuk pertama kalinya. Bahkan banyak di antara mereka yang membuka situs porno di sela-sela mengerjakan pekerjaan rumah. Saat ini, terdapat lebih dari 4,2 juta situs porno tersedia di internet dengan total keseluruhan mampu menampung 420 juta laman.

Sistem kapitalistik saat ini telah membuka ruang yang demikian lebar bagi berbagai tayangan dan unjuk pornografi. Sayangnya, negeri ini seperti tak punya taring untuk bisa menjerat dan menghentikan berbagai tindak yang merusak mental generasi muda. Berbagai produk hukum mulai dari KUHP, UU Pornografi, UU Informasi Transaksi Elektronik (ITE) tak efektif dalam menggawangi moral anak-anak kita. Terlalu banyak kelemahan dalam produk-produk hukum tersebut.

Menurut konsep demokrasi, pemerintah dituntut berperan untuk menjaga ruang publik yang sehat dengan menghormati kebebasan warga negaranya dan tidak bermain dalam permainan politik identitas. Artinya, sebuah undang-undang yang dihasilkan tidak ditentukan oleh konsep-konsep final yang tidak dapat diperdebatkan. Sebagian dari pendukung demokrasi tidak mempedulikan agama/moral, meski sebagian masih mempedulikannya namun mereka tidak menyadari kesalahan mendasar dari demokrasi.

Cara pandang dalam alam demokrasi yang seperti ini berimplikasi pada penetapan kebijakan politik yang bersifat permisif terhadap industri seksual (film porno, buku/majalah porno, musik, situs porno, fashion porno, merchandise, diskotik/ bar, dan berbagai atraksi porno lainnya). Apalagi, bauran kepentingan kapitalis di balik berbagai industri pornografi tersebut sangatlah menggiurkan.

Lalu bagaimana peranan media sebagai sarana pembelajaran anak-anak? Informasi yang diterima manusia mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan perilakunya. Terlebih jika informasi tersebut dikemas sedemikian rupa, yang tidak hanya disampaikan secara audio, tetapi juga divisualisasikan, melalui tayangan film atau video. Efeknya tentu jauh lebih dahsyat, karena tidak hanya diterima pendengaran, tetapi juga penglihatan manusia. Karena itu, tidak diragukan lagi, bahwa media audio-visual mempunyai peranan yang cukup besar dalam membentuk karakter anak-anak. Contohnya seperti televisi, game, playstation, dan sebagainya.

Media sebagai sarana pendidikan, seperti pisau bermata dua. Bisa berdampak positif dan negatif. Tayangan sadis, porno dan gaya hidup hedonis yang diangkat dalam program televisi jelas mempunyai pengaruh yang besar dalam perilaku anak. Terlebih, jika tidak ada pengawasan dan kontrol, baik dari negara maupun orangtua terhadap program-program tersebut.

Sebagai contoh, hasil survey KPAI menyatakan, 60 persen lebih anak-anak SMP telah melakukan hubungan seks, karena kecanduan tayangan porno. Bahkan, anak-anak SMP di salah satu sekolah, ketika ditanya, apakah pernah melihat film porno Ariel-Luna-Tari, 90 persen dari mereka menyatakan 'pernah'. Ketika ada seorang gadis di bawah umur diperkosa tiga anak SMP, maka para pelaku mengaku terobsesi dengan adegan dalam film porno itu. Banyaknya anak-anak dan orang dewasa yang penasaran dan ingin mengetahui film porno tersebut tidak luput dari pengaruh televisi yang memberitakan peristiwa tersebut. Ini sedikit contoh, bagaimana dampak buruk dari media terhadap perilaku anak-anak.

Contoh lain adalah kasus Facebook yang menggejala di kalangan remaja dan anak-anak. Jejaring sosial ini juga mempunyai pengaruh cukup besar, baik dalam kehidupan intelektual maupun sosial anak-anak. Bisa positif dan juga negatif, tergantung pada pemanfaatan pengguna jejaring sosial tersebut.

Untuk itu, orangtua harus dibekali dengan pengetahuan bagaimana cara memilih media yang sehat sebagai sarana pembelajaran anak. Untuk media yang tidak bisa dipilah, karena isi/programnya bercampur aduk, antara yang baik dan buruk, seperti televisi, misalnya, maka penggunaannya harus disertai kontrol dan pengawasan dari orang tua atau pendidik. Sebab jika tidak, maka anak-anak tidak akan bisa memilah sendiri, sehingga semua dikonsumsi tanpa filterisasi. Tugas orang tua/pendidik dalam hal ini adalah memberikan rambu-rambu dan filter yang jelas. Selain itu, negara juga harus berperan dalam menentukan mana program yang layak dan tidak layak ditayangkan untuk konsumsi masyarakat. Jika ada program yang merusak, maka harus dilarang.

Orangtua/pendidik harus mempunyai media alternatif. Misalnya, agar anak-anak tidak menghabiskan waktunya untuk melihat televisi, bermain game, atau nongkrong di depan internet, yang juga bisa berdampak pada menurunnya minat baca anak-anak, maka buku, majalah, koran atau yang lain bisa dijadikan sahabat anak-anak sejak dini. Dengan begitu, anak-anak lebih suka membaca ketimbang menonton. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar