Minggu, 17 Februari 2013

Tionghoa Rahmatan lil Alamin


Tionghoa Rahmatan lil Alamin
Sumiati Anastasia  Kolumnis dari Balikpapan, Alumnus University of Birmingham
JAWA POS, 16 Februari 2013


DI tengah kemeriahan Imlek Tahun Ular Air 2564 yang jatuh pada Minggu (10/2) dan rangkaian menuju puncak Cap Go Meh purnama pekan depan, mungkin ada baiknya kita mengenang lagi peran dan kontribusi etnis Tionghoa dalam kehidupan berbangsa. Kali ini saya fokuskan pada peran Tionghoa dalam menyebarkan Islam di bumi Nusantara.

Sebagaimana diketahui, dengan berbagai argumentasi sejarah, sungguh kentara peran muslim Tionghoa dalam proses islamisasi di bumi Nusantara. Namun, sayangnya, sejarah berusaha menggilas peran besar itu lewat kekuatan dua mesin raksasanya: politik segregasi kolonial dan ideologi ''otentisitas Islam''.

Meski ada imbauan, misalnya dari Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin agar jangan lagi menciptakan dikotomi antara Islam dan Tionghoa, cukup banyak warga kita yang memandang Islam dan Tionghoa seolah merupakan dua entitas yang saling meniadakan, seperti air dan minyak.

Memang tidak diketahui dari mana asal usul dikotomi itu. Yang pasti, hingga saat ini masih cukup banyak orang yang heran, bahkan termasuk dari etnis Tionghoa, setiap ada Tionghoa yang memeluk Islam seperti Prof Eko Sugitario, pakar hukum tata negara Universitas Surabaya, atau menikah secara Islam seperti yang dilakukan Herman Halim dari Bank Maspion, Surabaya. Bahkan, ketika JTV (Jawa Pos Group) menampilkan Tan Mei Hwa, seorang ustazah keturunan Tionghoa, beberapa komentar minor masih saja terdengar. Meski, tentu saja banyak yang apresiatif. 

Prasangka atau penilaian buruk dengan nada ''menghakimi'' pun menyeruak seperti pernyataan, ''Pasti ada motif mencari untung jika Tionghoa menjadi muslim agar karir atau urusan bisnis lancar serta tidak dicurigai macam-macam''. Memprihatinkan memang. Dalam memeluk Islam pun, etnis Tionghoa masih dikait-kaitkan dengan prasangka besar sebagai ''homo economicus'' atau makhluk ekonomi. 

Padahal, prasangka buruk yang tampak dalam kegemaran mempertentangkan Islam dengan Tionghoa tidak memiliki landasan kuat dalam sejarah kita. Jika kita mau jujur dengan sejarah bangsa ini, sejarah masuknya Islam atau etnis Tionghoa ke negeri ini, relasi atau hubungan Islam-Tionghoa itu sangat erat. Bahkan, peran Tionghoa menebarkan Islam ke Nusantara merupakan bagian dari rahmatan lil alamin yang layak disyukuri. 

Sultan Tionghoa 

Ketika Islam mulai masuk ke Nusantara, termasuk ke Jawa pada abad ke-14 dan ke-15, ada peran orang-orang Tionghoa. Itu ditulis sejarawan ternama Prof Dr Slamet Muljana dalam buku Runtuhnja Keradjaan Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara (1968) yang kemudian dilarang pemerintah Orde Baru.

Menurut buku tersebut, penyebaran Islam di Nusantara memang tidak hanya berasal dari para pedagang Arab (dan India), tapi juga ada peran para migran atau pendatang dari Tiongkok. Misalnya, pada 1410 dan 1416, Laksamana Cheng Ho serta armada yang dipimpinnya mendarat di Semarang dan Surabaya untuk mengunjungi raja Majapahit sekaligus menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.

Banyak orang muslim Tionghoa di bawah pimpinan Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel yang menjadi penasihat serta bupati di Majapahit. Mereka kemudian mendorong Raden Patah untuk mendirikan kesultanan Islam pertama di Demak. Raden Patah, yang dikenal sebagai sultan pertama Demak dan merupakan kesultanan Islam pertama di Jawa, sebenarnya adalah Jin Bun, anak Kung Ta Bu Mi (Kertabumi) atau Prabu Brawijaya V. Raja terakhir Majapahit itu menikah dengan putri Campa, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong. Semasa kanak-kanak, Jin Bun dipelihara Swan Liong (Arya Damar) bersama Kin San (Raden Kusen) di Palembang. Jin Bun meninggal pada 1518 dalam usia 63 tahun.

Demikian juga, sultan kedua Demak, Sultan Yunus (Adipati Unus), adalah Yat Sun, putra Jin Bun. Adipati Unus sangat terkenal karena pada 1521 berani menyerang Portugis di Kota Malaka yang telah didudukinya sejak 1511, sehingga dia dijuluki Pangeran Sabrang Lor. 

Menurut Prof Liang Liji, ahli sejarah dan bahasa dari Universitas Beijing, berbagai catatan atau naskah Tionghoa terkait dengan peran Tionghoa dalam persebaran Islam itu sangat akurat dan rapi, baik dalam mencatat tahun-tahun kejadian maupun nama-nama serta kejadian-kejadian yang diceritakan.

Beduk dan Pesantren 

Jika masih ada pihak yang ragu-ragu atas akurasi beberapa catatan sejarah tersebut, silakan melihat pengaruh budaya Tionghoa dalam kehidupan umat Islam saat ini. Misalnya, adanya beduk atau pesantren. Jika mengunjungi masjid-masjid di negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, kita tidak akan menemukan beduk untuk penanda azan lima waktu.

Selanjutnya, kita juga tidak akan menemukan model pesantren seperti yang terdapat di Jawa. Sebab, dua hal tersebut sangat jelas dipengaruhi kebudayaan Tionghoa. Arsitektur masjid-masjid di Jawa juga sangat dipengaruhi kebudayaan Tionghoa yang bergaya pagoda dan atap bertingkat. 

Tradisi atau kebiasaan membakar petasan atau mercon pada bulan Ramadan dan menyambut Hari Raya Idul Fitri atau upacara-upacara perkawinan serta khitanan yang dilakukan umat Islam di pedesaan Pulau Jawa jelas merupakan tradisi yang dipengaruhi tradisi Tionghoa. Orang Tionghoa membawa kebiasaan itu dari daratan Tiongkok, tempat asal petasan tersebut, yang mulanya diyakini bisa mengusir roh jahat. 

Semoga Imlek dan Cap Go Meh tahun ini akan memberikan cakrawala dan semangat baru berupa kecerdikan serta kecerdasan dalam memandang relasi Islam dan Tionghoa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar