DI tengah kemeriahan Imlek Tahun Ular Air 2564 yang jatuh
pada Minggu (10/2) dan rangkaian menuju puncak Cap Go Meh purnama pekan
depan, mungkin ada baiknya kita mengenang lagi peran dan kontribusi etnis
Tionghoa dalam kehidupan berbangsa. Kali ini saya fokuskan pada peran
Tionghoa dalam menyebarkan Islam di bumi Nusantara.
Sebagaimana
diketahui, dengan berbagai argumentasi sejarah, sungguh kentara peran
muslim Tionghoa dalam proses islamisasi di bumi Nusantara. Namun,
sayangnya, sejarah berusaha menggilas peran besar itu lewat kekuatan dua
mesin raksasanya: politik segregasi kolonial dan ideologi ''otentisitas
Islam''.
Meski ada
imbauan, misalnya dari Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din
Syamsuddin agar jangan lagi menciptakan dikotomi antara Islam dan Tionghoa,
cukup banyak warga kita yang memandang Islam dan Tionghoa seolah merupakan
dua entitas yang saling meniadakan, seperti air dan minyak.
Memang tidak
diketahui dari mana asal usul dikotomi itu. Yang pasti, hingga saat ini
masih cukup banyak orang yang heran, bahkan termasuk dari etnis Tionghoa,
setiap ada Tionghoa yang memeluk Islam seperti Prof Eko Sugitario, pakar
hukum tata negara Universitas Surabaya, atau menikah secara Islam seperti
yang dilakukan Herman Halim dari Bank Maspion, Surabaya. Bahkan, ketika JTV (Jawa Pos Group) menampilkan
Tan Mei Hwa, seorang ustazah keturunan Tionghoa, beberapa komentar minor
masih saja terdengar. Meski, tentu saja banyak yang apresiatif.
Prasangka atau
penilaian buruk dengan nada ''menghakimi'' pun menyeruak seperti
pernyataan, ''Pasti ada motif mencari untung jika Tionghoa menjadi muslim
agar karir atau urusan bisnis lancar serta tidak dicurigai macam-macam''.
Memprihatinkan memang. Dalam memeluk Islam pun, etnis Tionghoa masih
dikait-kaitkan dengan prasangka besar sebagai ''homo economicus'' atau makhluk
ekonomi.
Padahal,
prasangka buruk yang tampak dalam kegemaran mempertentangkan Islam dengan
Tionghoa tidak memiliki landasan kuat dalam sejarah kita. Jika kita mau
jujur dengan sejarah bangsa ini, sejarah masuknya Islam atau etnis Tionghoa
ke negeri ini, relasi atau hubungan Islam-Tionghoa itu sangat erat. Bahkan,
peran Tionghoa menebarkan Islam ke Nusantara merupakan bagian dari rahmatan lil alamin yang layak
disyukuri.
Sultan Tionghoa
Ketika Islam
mulai masuk ke Nusantara, termasuk ke Jawa pada abad ke-14 dan ke-15, ada
peran orang-orang Tionghoa. Itu ditulis sejarawan ternama Prof Dr Slamet
Muljana dalam buku Runtuhnja Keradjaan
Hindu-Djawa dan Timbulnja Negara-Negara Islam di Nusantara (1968) yang kemudian dilarang
pemerintah Orde Baru.
Menurut buku
tersebut, penyebaran Islam di Nusantara memang tidak hanya berasal dari
para pedagang Arab (dan India), tapi juga ada peran para migran atau
pendatang dari Tiongkok. Misalnya, pada 1410 dan 1416, Laksamana Cheng Ho
serta armada yang dipimpinnya mendarat di Semarang dan Surabaya untuk
mengunjungi raja Majapahit sekaligus menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa.
Banyak orang
muslim Tionghoa di bawah pimpinan Bong Swi Hoo atau Sunan Ampel yang
menjadi penasihat serta bupati di Majapahit. Mereka kemudian mendorong
Raden Patah untuk mendirikan kesultanan Islam pertama di Demak. Raden
Patah, yang dikenal sebagai sultan pertama Demak dan merupakan kesultanan
Islam pertama di Jawa, sebenarnya adalah Jin Bun, anak Kung Ta Bu Mi
(Kertabumi) atau Prabu Brawijaya V. Raja terakhir Majapahit itu menikah
dengan putri Campa, anak pedagang Tionghoa bernama Ban Hong. Semasa
kanak-kanak, Jin Bun dipelihara Swan Liong (Arya Damar) bersama Kin San
(Raden Kusen) di Palembang. Jin Bun meninggal pada 1518 dalam usia 63 tahun.
Demikian juga,
sultan kedua Demak, Sultan Yunus (Adipati Unus), adalah Yat Sun, putra Jin
Bun. Adipati Unus sangat terkenal karena pada 1521 berani menyerang
Portugis di Kota Malaka yang telah didudukinya sejak 1511, sehingga dia
dijuluki Pangeran Sabrang Lor.
Menurut Prof
Liang Liji, ahli sejarah dan bahasa dari Universitas Beijing, berbagai
catatan atau naskah Tionghoa terkait dengan peran Tionghoa dalam persebaran
Islam itu sangat akurat dan rapi, baik dalam mencatat tahun-tahun kejadian
maupun nama-nama serta kejadian-kejadian yang diceritakan.
Beduk dan Pesantren
Jika masih ada
pihak yang ragu-ragu atas akurasi beberapa catatan sejarah tersebut,
silakan melihat pengaruh budaya Tionghoa dalam kehidupan umat Islam saat
ini. Misalnya, adanya beduk atau pesantren. Jika mengunjungi masjid-masjid
di negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, kita tidak akan
menemukan beduk untuk penanda azan lima waktu.
Selanjutnya,
kita juga tidak akan menemukan model pesantren seperti yang terdapat di
Jawa. Sebab, dua hal tersebut sangat jelas dipengaruhi kebudayaan Tionghoa.
Arsitektur masjid-masjid di Jawa juga sangat dipengaruhi kebudayaan
Tionghoa yang bergaya pagoda dan atap bertingkat.
Tradisi atau
kebiasaan membakar petasan atau mercon pada bulan Ramadan dan menyambut
Hari Raya Idul Fitri atau upacara-upacara perkawinan serta khitanan yang
dilakukan umat Islam di pedesaan Pulau Jawa jelas merupakan tradisi yang
dipengaruhi tradisi Tionghoa. Orang Tionghoa membawa kebiasaan itu dari
daratan Tiongkok, tempat asal petasan tersebut, yang mulanya diyakini bisa
mengusir roh jahat.
Semoga Imlek
dan Cap Go Meh tahun ini akan memberikan cakrawala dan semangat baru berupa
kecerdikan serta kecerdasan dalam memandang relasi Islam dan Tionghoa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar