Minggu, 17 Februari 2013

Jurang Revolusi II Mesir

Jurang Revolusi II Mesir
Chusnan Maghribi  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY)
SUARA MERDEKA, 16 Februari 2013


SETELAH beberapa hari mereda, demonstrasi berskala besar kembali pecah di sejumlah kota di Mesir (08-09/02/13). Ribuan demonstran antipemerintahan Mohammed Mursi kembali turun ke jalan-jalan di Kairo (termasuk dekat Istana Al-Ittihadia atau Istana Presiden), Alexandria, dan di delta Sungai Nil Provinsi Al-Ghorbiya. Mereka menyeru penggelaran revolusi II sebagai antitesis kegagalan revolusi I yang menumbangkan kekuasaan Presiden Hosni Mubarak pada Februari 2011.

Akankah seruan pengunjuk rasa tersebut mendapat respons positif  mayoritas rakyat sehingga revolusi II akan benar-benar terjadi? Revolusi lazim terjadi manakala ketidaksukaan (untuk tidak menyebut kebencian) mayoritas rakyat terhadap penguasa --akibat kondisi buruk (ketidakadilan) sosial ekonomi ataupun politik, atau akumulasi dari keduanya-- memuncak. Revolusi Mesir dua tahun lalu ataupun revolusi di negara-negara lain Arab (Tunisia, Libya, dan Suriah) seiring hantaman badai Arab Spring, terjadi setelah ketidaksukaan rakyat atas rezim di negara-negara itu mencapai klimaks.

Situasi krisis di Mesir saat ini sangat berisiko menuju revolusi II. Pertarungan politik antara pemerintahan Mursi versus kekuatan-kekuatan oposisi yang tergabung dalam Front Penyelamatan Nasional (NSF) pimpinan Mohamed El-Baradei, jika tidak segera diatasi, bisa menjerumuskan pada revolusi II. 

Pasalnya, bagi oposisi yang dua tahun lalu juga tampil sebagai lokomotif  revolusi melengserkan Mubarak, pemerintahan Ikhwanul Muslimin (IM) di bawah Presiden Mursi dianggap gagal mewujudkan misi utama revolusi, yaitu membentuk negara demokratis yang dibangun di atas prinsip kemakmuran bersama, keadilan, kebebasan, serta menjunjung tinggi HAM.

Menurut mereka, yang terjadi setelah Mubarak terguling bukan konsistensi Mursi mengemban amanat revolusi, melainkan sebaliknya: pengingkaran atas amanat revolusi. Tengoklah fakta, Mursi bersama IM memaksa masyarakat Mesir untuk menyetujui Konstitusi (Islam) Mesir yang nyata-nyata ditentang oposisi. Oposisi menentang lantaran ada banyak pasal yang dipandang tidak selaras dengan amanat revolusi. 

Sekurang-kurangnya ada 35 pasal yang dianggap bermasalah bagi oposisi. Yang paling fundamental adalah Pasal 2 yang menyebutkan,'' Syariat Islam adalah satu-satunya sumber hukum dalam ketatanegaraan Mesir''. Terkait dengan substansi itu, oposisi menawar dengan menyodorkan rumusan,'' Syariat Islam sebagai salah satu sumber hukum dalam ketatanegaraan Mesir'', namun pemerintah menolak opsi itu. 

Bukankah pengesahan konstitusi baru itu dilakukan lewat referendum Desember 2012? Senyatanya demikian, tetapi rakyat yang berpartisipasi dalam referendum itu hanya 32% dari warga yang memiliki hak suara. Tentu fakta itu kurang representatif untuk menjustifikasi keputusan pemerintah mengesahkan dan memberlakukan konstitusi baru.

Tingkat Terendah

Selain itu, pemerintahan Mursi melalui Partai Kebebasan dan Keadilan memonopoli kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kekuasaan monopolistik juga terjadi pada bidang ekonomi (dunia usaha). Kalangan pengusaha berlatar belakang Ikhwanul Muslimin  kini cenderung lebih dipermudah berwirausaha ketimbang kalangan lain. Kenyataan ini membuat sebagian masyarakat geram hingga dalam aksi demonstrasi Januari lalu mereka membakar Restoran Al-Mukmin yang ditengarai milik pengusaha yang berafiliasi dengan Ikhwanul Muslimin. Mereka juga merusak kantor Ikhwanul Muslimin serta Partai Kebebasan dan Keadilan di Kairo.

Di sisi lain, pemerintahan Mursi cenderung mengabaikan upaya mengentaskan penduduk dari kemiskinan. Padahal jumlah penduduk miskin di Negeri Piramida itu tergolong tinggi. Sepertiga dari 82,5 juta penduduk Mesir saat ini termasuk kategori miskin.

Pemerintahan Mursi sejauh ini juga dinilai cenderung abai terhadap penanganan pelayanan publik. Pelayanan publik seperti layanan kesehatan dan pendidikan, terutama bagi kelas menengah ke bawah, mengalami kekacauan parah yang belum pernah terjadi pada masa-masa sebelumnya. Keadaan itu diperparah dengan ketiadaan jaminan keamanan memadai bagi penduduk. Dua tahun belakangan ini kriminalitas terjadi secara sporadis di seantero negeri.
Masuk akal kalau dukungan publik terhadap pemerintahan Mursi sekarang tergerus hingga tingkat terendah. 

Berdasarkan hasil survei Januari lalu dukungan publik terhadap pemerintahan tinggal 15%. Apabila Mursi bersama Ikhwanul Muslimin tak segera menggelar dialog dengan kubu oposisi dan bersedia memberi konsesi politik, semisal mau merumuskan ulang pasal-pasal konstitusi baru yang dianggap bermasalah, kondisi bisa makin memburuk.
Pasalnya, oposisi pasti memanfaatkan kondisi buruk dalam negeri itu sebagai justifikasi untuk terus menyeru kepada rakyat melancarkan revolusi II. Banyak rakyat di tengah belitan kesulitan sosial ekonomi saat ini merespons positif seruan itu sehingga cepat atau lambat revolusi terbaru di Mesir bisa menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar