Fakta
ini semakin meyakinkan kita bahwa undang-undang sangat diperlukan untuk
menjamin agar pengelolaan BUMD semakin profesional. Masih banyak BUMD yang,
dalam rekrutmen pengurusnya bukan atas dasar pertimbangan profesional,
menjadi wadah untuk menempatkan orang-orangnya sebagai kepala daerah.
Untuk
kali pertama, Rapat Koordinasi Pemerintahan 2013 melibatkan para anggota
direksi badan usaha milik daerah (BUMD). Peristiwa ini terjadi pada 28
Januari lalu. Dalam rapat yang dipimpin langsung oleh Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono tersebut, direksi BUMD duduk sejajar dengan direksi BUMN.
Rapat yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) itu diikuti Wakil
Presiden Boediono, para menteri, pemimpin lembaga-lembaga negara, gubernur,
dan bupati/walikota.
Selama
ini BUMD memang masih dilirik dengan sebelah mata. Padahal jumlahnya amat
besar. Menurut data di Kementerian Dalam Negeri, ada 1.007 BUMD, baik milik
pemerintah provinsi maupun milik kota/kabupaten. Bidang bisnisnya sangat
beragam, dari air minum, pasar, perbankan, minyak dan gas, perkebunan,
pelabuhan, properti, percetakan, hingga aneka usaha lainnya. Belakangan,
lahir undang-undang yang mengharuskan pelibatan BUMD, seperti UU Minyak dan
Gas.
Total
aset BUMD di Indonesia juga menunjukkan angka yang menggiurkan. Dalam
catatan Kementerian Dalam Negeri, total aset BUMD mencapai Rp 375 triliun.
Namun, sampai September 2012, seluruh bank daerah yang tergabung dalam
Asosiasi Bank Daerah (Asbanda) saja sudah mencatatkan asetnya sebesar Rp
395 triliun. Belum lagi dihitung total aset PDAM seluruh Indonesia yang
tergabung dalam Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia
(Perpamsi), pasar di bawah Asosiasi Pasar Seluruh Indonesia (Asparindo),
serta BUMD sektor minyak dan gas yang sekarang sedang merancang pembentukan
asosiasi.
Mengapa
BUMD yang total asetnya sepertiga dari total aset BUMN ini kurang mendapat
perhatian serius? Bisakah BUMD diharapkan menjadi mesin penggerak ekonomi
daerah? Lantas, bagaimana menjadikan BUMD sebagai bagian dari mesin ekonomi
nasional dan tidak terkesan menjadi anak telantar? Persoalan ini layak
menjadi bahasan khusus.
Anak
Telantar
Sebagai
badan usaha, sampai sekarang BUMD belum mempunyai payung hukum sendiri.
Hingga kini, RUU BUMD yang sudah dirintis sejak pemerintahan Megawati
Soekarnoputri belum terlihat hasilnya. Bahkan, sejak 2006, RUU BUMD sudah
pernah masuk Program Legislasi Nasional, tapi beberapa tahun terakhir
hilang dari daftar. Terakhir, Kementerian Dalam Negeri berinisitif
mencantolkan payung hukum BUMD ini dalam salah satu pasal revisi UU
Pemerintah Daerah. Hanya, cara ini mengandung kelemahan karena hanya menjadi
pasal dan nanti harus diatur lagi dengan peraturan pemerintah. Jadi, tidak
setingkat undang-undang.
Sejumlah
daerah menyiasati persoalan payung hukum ini dengan menjadikan BUMD sebagai
perseroan terbatas. Caranya, dengan menjadikan aset perusahaan daerah
sebagai setoran modal PT BUMD lewat inbreng. Dengan demikian, aset BUMD
menjadi aset yang sudah dipisahkan dari aset pemerintah daerah. Ketika
sudah menjadi PT, secara hukum BUMD mengikuti UU Perseroan Terbatas. Cara
ini lebih memberi kepastian hukum kepada pengelola BUMD serta menjadikan
gerak bisnis BUMD lebih luwes dan lincah. Birokratisasi pengambilan
keputusan bisnis bisa diminimalkan.
Persoalannya,
masih banyak kepala daerah yang enggan menjadikan BUMD berbadan hukum
perseroan terbatas. Alasannya, BUMD dikhawatirkan tidak bisa menjalankan
fungsi public services karena harus dikelola dengan pendekatan bisnis
murni. Padahal paham seperti ini tidak benar. Meski BUMD berbentuk
perseoran, pemerintah daerah sebagai pemilik saham bisa menitipkan kebijakan
tersebut dalam setiap rapat umum pemegang saham, yang harus berlangsung
setiap tahun.
Yang
menarik lagi, pembinaan BUMD, yang jumlahnya besar dan total asetnya
ratusan triliun rupiah, masih terkesan setengah hati. Di Kementerian Dalam
Negeri, BUMD hanya diurusi pejabat setingkat kepala subdirektorat.
Bandingkan dengan BUMN, yang dibina kementerian sendiri, yakni Menteri
BUMN. Dengan dibina pejabat setingkat kepala subdirektorat di Kementerian
Dalam Negeri, maka BUMD lebih dilihat sebagai urusan pemerintahan, bukan
sebagai lembaga bisnis. Masalah ini sering menjadi kendala berkembangnya
BUMD sebagai entitas bisnis. Tidak jarang juga pejabat yang bertugas
membina BUMD di daerah kurang memahami bisnis.
Mesin
Ekonomi
Potensi
yang ada sekarang sebetulnya memungkinkan BUMD bisa menjadi penggerak
ekonomi daerah. Ia bisa menjadi instrumen untuk menjalankan fungsi
pelayanan publik dengan lebih cepat dan sekaligus menjadi pengungkit
pertumbuhan ekonomi di daerah. Namun peran ini baru bisa dirasakan ketika
BUMD dikelola secara benar dan profesional. Bukan sebaliknya, menjadi
benalu karena hidupnya mengandalkan tambahan setoran modal dari APBD.
BUMD
yang sehat dan dikelola secara profesional sangat mungkin menjadi salah
satu sumber pendapatan asli daerah. Selain itu, ia bisa menjadi penggerak
bisnis yang belum dimasuki swasta, sementara sektor tersebut sangat penting
untuk kemajuan daerah. Di Jawa Timur, misalnya, ada BUMD yang membangun
pabrik tepung tapioka yang berdampak terjaminnya harga singkong di petani.
Pabrik itu juga bisa mengurangi kapasitas impor tepung tapioka yang selama
ini sangat besar.
Sayangnya,
dalam catatan Badan Kerjasama BUMD Seluruh Indonesia, dari seribu lebih
BUMD tersebut, baru 25 persen yang sehat dan dikelola secara profesional.
Dari jumlah itu, 70 persennya adalah bank daerah. Mengapa bank daerah
cenderung sudah terkelola secara profesional? Selain mereka sudah punya
hukum yang pasti, yakni UU Perbankan, sebagian besar sudah berbadan hukum
PT. Dalam UU Perbankan, antara lain, diatur persyaratan menjadi pengelola
bank. BUMD non-perbankan yang sudah sehat sebagian besar juga berbentuk
perseroan.
Fakta
ini semakin meyakinkan kita bahwa undang-undang sangat diperlukan untuk
menjamin agar pengelolaan BUMD semakin profesional. Masih banyak BUMD yang,
dalam rekrutmen pengurusnya bukan atas dasar pertimbangan profesional,
menjadi wadah untuk menempatkan orang-orangnya sebagai kepala daerah.
Singkatnya, standardisasi pengelola BUMD belum ada, sehingga memungkinkan
hanya menjadi tempat "pembuangan" ataupun tempat
"penitipan".
Melihat
hal tersebut, sudah saatnya pemerintah pusat tidak melihat dengan sebelah
mata potensi BUMD. Caranya, pertama, dengan serius mengupayakan payung
hukum yang lebih pasti dengan membuat Undang-Undang BUMD. Kedua, diperlukan
restrukturisasi kelembagaan pembina BUMD. Rasanya, dengan potensi aset yang
hampir sepertiga dari total aset BUMN tersebut, diperlukan badan
pemerintahan yang lebih tinggi dan otoritatif.
Selain itu, perlu perubahan orientasi dalam memandang BUMD. Kalau
selama ini BUMD baru dilihat sebagai urusan pemerintahan dengan meletakkan
pembinaannya di Kementerian Dalam Negeri, saatnya melihat mereka sebagai
urusan ekonomi-bisnis. Misalnya, pembinaan untuk pemilik sahamnya tetap di
Kementerian Dalam Negeri, tapi pembinaan untuk pengembangan bisnisnya ada
di kementerian lain di bawah Menteri Koordinator Perekonomian. Kalau perlu,
pada masa mendatang bisa diurusi oleh kementerian sendiri, seperti yang
terjadi pada BUMN. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar