Sabtu, 09 Februari 2013

Sengkuni dalam Politik


Sengkuni dalam Politik
Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus
Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 09 Februari 2013


Dalam kerusuhan internal Partai Demokrat, mengenai siapa harus diperkarakan secara hukum dan politik–suatu isu yang sangat terlambat, seharusnya sudah sejak dulu dijadikan perkara nasional–muncul penggunaan simbol Sengkuni untuk mengejek lawan-lawan politik. 

Kata lawan ini terasa aneh karena sebetulnya mereka kawan seiring yang bekerja sama di dalam satu partai. Penggunaan simbol ini tidak tepat dan sama sekali tidak menyentuh sedikit pun kulit-kulit–apa lagi esensi–persoalan pokoknya. Siapa yang Sengkuni, siapa yang di-Sengkunikan? Bagaimana kalau kebalikannya yang terjadi: yang men-Sengkuni-kan, lebih tepat disebut Sengkuni daripada yang di-Sengkuni-kan? 

Saya tidak tahu-menahu perkara ini dan sebetulnya sangat tidak tertarik membahas urusan internal partai yang sudah keberatan beban moral politik, yang kelihatannya tak membuat orang partai itu merasa malu. Dalam penampilan para tokohnya, di mana-mana tampak jelas sikap seolah mereka jagoan, tanpa masalah tanpa beban, padahal apa gunanya sikap itu ditonjolkan, ketika bangsa Indonesia, seluruhnya, tahu persis apa yang terjadi di partai itu? 

Anjloknya secara memalukan citra partai di mata publik seharusnya membuat para tokoh malu. Mereka dulu mengejek Pak Harto tak punya rasa malu, sekarang mereka yang tak punya. Sengkuni, jangan salah, justru orang yang tak punya malu itu. Kok bisa sama? Saya paham dunia wayang. Sengkuni itu satria yang lembut, sopan, senantiasa membungkuk, dan berkata selalu “di bawah-bawah”– ini idiom Minangkabau–- artinya “low profile”.

Dia macan, harimau, yang menyembunyikan kukunya. Dalam pertemuan- pertemuan yang menegangkan, ketika ada yang emosi, naik pitam, marah, membentak, Sengkuni tetap bicara lembut. Tapi, mengintip baik-baik karakter orang per orang, untuk dihajar habis, dengan menggunakan kelemahan orang bersangkutan. Dia jahat, seperti serigala, tapi memakai jubah domba. 

Di balik semua watak low profile, sikap lembut, sopan, dan seolah tak punya musuh, terdapat sikap ambisius, penuh agenda politik yang tak terduga, dengan sikap licin, licik, terampil berkelit, dia ibarat gambaran sebuah kamus komplet kelicikan, penuh fitnah dan strategi menghancurkan orang lain. Dia bukan siapasiapa dan bukan apa-apa tapi secara cepat naik tangga politik melalui agenda-agenda penuh fitnah dan kekejian tadi. 

Mulutnya, kata-katanya, berbisa melebihi ular kobra. Dia berambisi menjadi patih sejak sangat muda, ketika namanya masih Trigantalpati. Dia memfitnah Patih Astina, Gondomono, dan melaporkannya kepada Baginda Prabu Pandu Dewanata, Raja Astina, ayah para Pandawalima itu. Patih itu difitnah telah berkhianat, berbalik membela negeri musuh dalam perang antara Astina melawan Pringgondani. 

Ringkasnya,Gondomono dimarahi habis-habisan, dan dipermalukan di istana, padahal dia patih hebat,tulus,jujur dan mengabdi dengan setia pada Raja Pandu. Maka, Gondomono pun merobek-robek—maaf—mulut Trigantalpanti. Pendeknya, dia dihajar habis-habisan, dan satria yang lembut sikapnya, lembut suaranya—tapi palsu— itu, berubah menjadi wujud sangat jelek: mulutnya “merenges” seperti mulut raksasa. Sebetulnya memang pantaslah begitu.Tapi, tokoh muda yang ambisius, licin, licik, dan serakah itu tenang saja. 

Gondomono meninggalkan Astina dan dialah yang menjadi patih negeri itu karena dalam perang tersebut raja Pandu juga gugur. Raja baru Astina Duryudono, yang gede badannya, pemalas, tidak sakti, pintar bohong, dan menipu–karena dukungan patihnya–serakah dan menikmati kekuasaan tanpa tanggung jawab sedikit pun. Dia tak pernah punya kebijakan dan tak pernah memutuskan suatu tindakan. Yang penting baginya hanya status sebagai raja. Patih bekerja keras.Semua urusan terpulang pada patih. 

Perlu dicatat, Astina yang didudukinya itu sebenarnya hanya separuh negeri. Separuh negeri lainnya milik Pandawa, dan tahta itu haknya para Pandawa. Tapi, tahta itu dikangkangi sendiri. Ketika Pandawa yang prihatin, memiliki kerajaan baru, Indraprasta, yang istananya indah seperti kahyangan para dewa, Sengkuni membuat fitnah baru. Pandawa diajak main dadu, yang secara licik diakali Sengkuni, dan Pandawa kalah. Kerajaan jatuh ke tangan musuh, dikuasai Duryudono, dan para Pandawa dibuang ke hutan dua belas tahun lamanya.

Ditambah satu tahun harus menyamar di dalam kota mana pun, tetapi kalau penyamaran mereka ketahuan pihak Astina, mereka harus masuk hutan lagi selama dua belas tahun berikutnya. Mereka selamat dalam penyamaran di tahun ke tiga belas. Patih licin, licik, dan ambisius, yang naik pangkat secara cepat selagi masih muda,merancang kejahatan licik lainnya. Separuh Negeri Astina, dan Kerajaan Indraprasta milik Pandawa tetap dikuasai.

Tak peduli janjinya jelas: harus dikembalikan pada tahun ketigabelas tersebut. Sengkuni membakar rajanya yang agak dungu dan pemalas, untuk siap menempuh perang antarkeluarga trah Bharata, yang kita kenal sebagai Bharatayudha itu. Dosa Sengkuni lainnya: dia pernah membuat resi Abiasa dan Dewi Kunti jatuh pingsan dalam suatu lakon.

Kunti yang pingsan itu—maaf, pakaiannya, behanya, dibuka dan Sengkuni leluasa melakukan kejahatan terkutuk. Kunti membuang behanya dan menerima jubah mertuanya, resi Ambiasa, untuk penutup dada. Dia bersumpah, tak akan memakai beha lagi kalau bukan beha yang terbuat dari kulit Sengkuni. Maka, dalam Bharatayudha yang kejam, dan mengerikan, Kurawa habis. Sengkuni mati paling akhir. 

Disiksa Bhima dan kulitnya dikelupas seperti pisang. Saat itu Sengkuni harus menelan sendiri hasil tindakan jahatnya selama itu, ditambah bunganya: balas dendam Bhima yang mendidih, demi ibunya, demi negerinya. Siapa yang menyebut orang lain Sengkuni? Siapa yang lebih pantas menjadi perwakilan simbolis karakter Sengkuni? Kita sendiri yang Sengkuni? 

Musuh-musuh politik kita Sengkuni? Untuk apa men-Sengkuni-kan orang lain? Mengapa orang yang tahu perkara wayang, bermain wayang, dan menjadikan orang lain, tokoh wayang yang jelek, seperti Sengkuni? Apa kita berani mengambil risiko memalukan bila ternyata yang Sengkuni itu kita sendiri. Politik selalu berhenti di kekuasaan untuk kepentingan kenikmatan dalam kekuasaan. Politik memang untuk merebut kekuasaan.

Tapi, kekuasaan harus ada definisinya, ada visinya, ada misinya. Kekuasaan untuk mengatur kehidupan secara adil dan manusiawi demi membangun peradaban luhur, yang layak dicatat semua manusia di dalam zaman itu maupun di zaman-zaman sesudahnya. Partai Demokrat itu beda dari PDIP, yang punya suatu sentimen primordial. PDIP punya alamat, punya rumah jelas. Mereka itu Partai nasionalis. Mereka itu Soekarnois. 

Mereka memihak kalangan rakyat jelata, yang Marhaen. Ditambah partai Katolik dan Partai yang menganut agama non-Islam lainnya. Rumah primordial mereka jelas sekali. Partai ini terdiri dari orangorang yang sangat beragam. Ada yang loncat secara tak jelas dari Golkar.Ada yang dari tempat lain. Demokrat, sebagai sikap, atau sifat, tidak cukup kuat untuk dijadikan rumah, atau sentimen primordial. Di sini mudah terjadi keretakan. 

Apa lagi kalau alasannya kuat: korup dan merusak citra partai. Pertengkaran intern ini pasti bikin panas. Tapi, saya tidak. Ini urusan internal partai. Selesaikan saja sendiri. Siapa yang Sengkuni? Definisikan sendiri. Siapa yang dituduh Sengkuni? Urus saja secara internal. Orang luar, macam saya, peduli apa ikut rebut-ribut? Bagi saya, Sengkuni ya Sengkuni, yang licin, licik, sok sopan, sok lembut, macam uraian di atas. Siapa Sengkuni, saya tak peduli. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar