Reformasi
telah bergulir selama satu dasawarsa lebih. Selama itu pula kita menyaksikan
konsolidasi demokrasi yang berlarut menjurus pada kelelahan massal warga
negara.
Korupsi, kolusi
dan nepotisme, konflik dan kekerasan sosial dan agama, radikalisme dan
terorisme, serta kesulitan ekonomi yang kian akut adalah biang keroknya.
Kondisi kebatinan rakyat yang tak sabar dan lelah tersebut dimanfaatkan
oleh segelintir elite antidemokrasi untuk memantapkan kembali kuasa
oligarki-plutokratiknya di Indonesia. Propaganda kaum oligarkis cukup
terang: demokrasi tidak membuahkan kesejahteraan dan keteraturan, tetapi
ketidakteraturan!
Bahaya Oligarkisme- Partokratik
Bukan Reformasi
atau demokrasi yang bermasalah, tetapi kaum elite oligarkis itulah yang
mengebiri dan merusak narasi dan langgam keduanya. Ruang-ruang publik-
–tempat di mana partisipasi kewargaan tumbuh dan berkembang, dikooptasi
oleh kepentingan elite untuk tujuantujuan penguasaan kapital
politik-ekonomi, dan sosialbudaya. Sistem kepartaian multipartai melahirkan
partokratisme, yakni kekuasaan partai politik yang hampir tak terbatas.
Partai politik
mendominasi setiap proses pengambilan keputusan dan kebijakan strategis,
sehingga menyuburkan praktik gelap politik transaksional yang tak
berkeadaban. Konsekuensinya, partai politik tidak berdaya ketika gurita
liberalisme ekonomi menjepit kehidupan rakyat yang semakin sulit. Partai
politik juga “butatuli” terhadap ketidakteraturan sosial dan budaya yang
diakibatkan bangkitnya feodalismeegoisme dalam nadi kehidupan rakyat:
penindasan, pemaksaan kehendak, intoleransi, konflik dan kekerasan atas
orang lain.
Fenomena sosial
dan budaya yang masygul ini diperparah juga oleh luruhnya solidaritas
spiritual dan kebangsaan yang mana keduanya menjadi basis bagi
tumbuh-kembangnya paham kebangsaan (nasionalisme) dan kecintaan terhadap
tanah air (patriotisme)–sebagaimana disuarakan oleh filosof Prancis Ernest
Renan dalam pidatonya di Universitas Sorbonne berjudul Qu’est qu’une
nation? (1882).
Sebagai anak
bangsa, keprihatinan kita cukup dalam terhadap oligarkisme-partokratik,
liberalisme ekonomi dan feodalisme-egoisme sosialbudaya yang tumbuh subur
dalam lima tahun terakhir ini. Indonesianis Marcus Mietzner (2012) bahkan
menyimpulkan bahwa Indonesia tengah dicengkeram oleh kekuatan oligarki
partokratik.
Realitas yang
kini tengah mengitari dan mengotori nurani sehat dan akal budi seluruh anak
bangsa tersebut pada kenyataannya menggerus dan bahkan membabat habis
prinsip dan nilai pengabdian pada urusan publik (res-publika).
Republikanisme inilah yang menjadi dasar berdirinya Republik Indonesia.Para
pendiri bangsa menyadari pentingnya republikanisme dalam setiap proses
penyelenggaraan kekuasaan negara supaya kepentingan umum diutamakan di atas
kepentingan pribadi dan atau golongan.
Republikanisme
juga mensyaratkan partisipasi kewargaan (popular participation) dalam setiap pengambilan kebijakan.
Namun, prinsip musyawarah-mufakat (deliberative
democracy) dicampakkan dari setiap pengambilan dan penyelenggaraan
kebijakan negara. Kondisi keterbelahan dan ketidaktautan satu sama lain
antara partai politik dan gerakan sosial adalah fenomena yang terjadi saat
ini. Partai politik terpisah dari gerakan sosial dan basis-basis
popularnya.
Sebaliknya,
gerakan sosial popular juga tidak mengaitkan diri pada partai politik untuk
menyalurkan aspirasi dan kepentingan popularnya. Partai politik memiliki
peran strategis dalam negara demokrasi.Partai politik tidak boleh tidak
harus menjangkarkan dirinya pada kepentingan rakyat banyak. Ia menjadi
penyambung aspirasi rakyat, sebab raison
d’etre dari partai politik adalah mewadahi dan menyalurkan aspirasi
publik.
Partai Kerakyatan
Partai politik
seyogianya tidak memisahkan dirinya dari visi dan elan kerakyatan dalam
setiap nafasnya.Partai politik mempunyai tanggung jawab untuk melakukan
pendidikan politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan
keamanan, sehingga terwujud sebuah transformasi struktural dan kultural di
kalangan masyarakat yang berlangsung secara sehat dan seimbang. Tak kalah
penting, misi utama partai politik adalah untuk memberdayakan dan menyejahterakan
manusia Indonesia seutuhnya, lahir dan batin, jasmani dan rohani.
Memisahkan
gerakan politik dan gerakan sosial-kewargaan dalam upaya pemantapan
demokrasi, disadari atau tidak, dapat memicu ketidakseimbangan transformasi
sosial dan politik dan memberikan keleluasaan bagi elite oligarkis untuk
menancapkan kepentingan politik,ekonomi dan bisnisnya. Menyatupadukan
gerakan politik dan sosial dapat dimulai dengan menghidupkan kembali
basis-basis popular kerakyatan yang memiliki peran strategis, yakni tempat
ibadah, balai desa/kelurahan, dan pasar tradisional.
Ketiga lapak
kerakyatan itu penting untuk dihidupkan kembali, mengingat di situlah ruang
berkumpul, bersilaturahmi dan berdialog antarwarga. Di ketiga lapak itu
pulalah, petani, buruh, nelayan,hingga pedagang, saudagar, dan para pegawai
bertukar sapa. Dus,menyambungkan kembali partai politik dan gerakan sosial
kerakyatan bukan hanya mendesak dilakukan, tetapi sebuah keniscayaan.
Kombinasi
gerakan politik dan gerakan sosial kerakyatan inilah yang diharapkan dapat
membendung pragmatisme elite oligarkis dan apatisme publik terhadap lembaga
politik dan negara. Kita tunggu, adakah partai politik yang benar-benar
menjadikan “rakyat” dan “kerakyatan”
sebagai basis popular program dan aksi politiknya? Ataukah lagi-lagi rakyat
hanya sekadar sebagai “politik gincu”
kekuatan oligarkisme dan partokratisme di Indonesia? Kita semua berharap
hadirnya berkah yang pertama dan berlindung dari laknat yang kedua. Tuhan Maha Tahu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar