Sabtu, 09 Februari 2013

Mengembalikan Elan Kerakyatan Parpol


Mengembalikan Elan Kerakyatan Parpol
Andar Nubowo  ;   Mahasiswa S-3 EHESS, Paris, Prancis; 
Peneliti Public Virtue Institute dan Pengajar di FISIP UIN Jakarta
SINDO, 09 Februari 2013


Reformasi telah bergulir selama satu dasawarsa lebih. Selama itu pula kita menyaksikan konsolidasi demokrasi yang berlarut menjurus pada kelelahan massal warga negara.

Korupsi, kolusi dan nepotisme, konflik dan kekerasan sosial dan agama, radikalisme dan terorisme, serta kesulitan ekonomi yang kian akut adalah biang keroknya. Kondisi kebatinan rakyat yang tak sabar dan lelah tersebut dimanfaatkan oleh segelintir elite antidemokrasi untuk memantapkan kembali kuasa oligarki-plutokratiknya di Indonesia. Propaganda kaum oligarkis cukup terang: demokrasi tidak membuahkan kesejahteraan dan keteraturan, tetapi ketidakteraturan! 

Bahaya Oligarkisme- Partokratik 

Bukan Reformasi atau demokrasi yang bermasalah, tetapi kaum elite oligarkis itulah yang mengebiri dan merusak narasi dan langgam keduanya. Ruang-ruang publik- –tempat di mana partisipasi kewargaan tumbuh dan berkembang, dikooptasi oleh kepentingan elite untuk tujuantujuan penguasaan kapital politik-ekonomi, dan sosialbudaya. Sistem kepartaian multipartai melahirkan partokratisme, yakni kekuasaan partai politik yang hampir tak terbatas. 

Partai politik mendominasi setiap proses pengambilan keputusan dan kebijakan strategis, sehingga menyuburkan praktik gelap politik transaksional yang tak berkeadaban. Konsekuensinya, partai politik tidak berdaya ketika gurita liberalisme ekonomi menjepit kehidupan rakyat yang semakin sulit. Partai politik juga “butatuli” terhadap ketidakteraturan sosial dan budaya yang diakibatkan bangkitnya feodalismeegoisme dalam nadi kehidupan rakyat: penindasan, pemaksaan kehendak, intoleransi, konflik dan kekerasan atas orang lain. 

Fenomena sosial dan budaya yang masygul ini diperparah juga oleh luruhnya solidaritas spiritual dan kebangsaan yang mana keduanya menjadi basis bagi tumbuh-kembangnya paham kebangsaan (nasionalisme) dan kecintaan terhadap tanah air (patriotisme)–sebagaimana disuarakan oleh filosof Prancis Ernest Renan dalam pidatonya di Universitas Sorbonne berjudul Qu’est qu’une nation? (1882). 

Sebagai anak bangsa, keprihatinan kita cukup dalam terhadap oligarkisme-partokratik, liberalisme ekonomi dan feodalisme-egoisme sosialbudaya yang tumbuh subur dalam lima tahun terakhir ini. Indonesianis Marcus Mietzner (2012) bahkan menyimpulkan bahwa Indonesia tengah dicengkeram oleh kekuatan oligarki partokratik. 

Realitas yang kini tengah mengitari dan mengotori nurani sehat dan akal budi seluruh anak bangsa tersebut pada kenyataannya menggerus dan bahkan membabat habis prinsip dan nilai pengabdian pada urusan publik (res-publika). Republikanisme inilah yang menjadi dasar berdirinya Republik Indonesia.Para pendiri bangsa menyadari pentingnya republikanisme dalam setiap proses penyelenggaraan kekuasaan negara supaya kepentingan umum diutamakan di atas kepentingan pribadi dan atau golongan. 
Republikanisme juga mensyaratkan partisipasi kewargaan (popular participation) dalam setiap pengambilan kebijakan. Namun, prinsip musyawarah-mufakat (deliberative democracy) dicampakkan dari setiap pengambilan dan penyelenggaraan kebijakan negara. Kondisi keterbelahan dan ketidaktautan satu sama lain antara partai politik dan gerakan sosial adalah fenomena yang terjadi saat ini. Partai politik terpisah dari gerakan sosial dan basis-basis popularnya. 

Sebaliknya, gerakan sosial popular juga tidak mengaitkan diri pada partai politik untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan popularnya. Partai politik memiliki peran strategis dalam negara demokrasi.Partai politik tidak boleh tidak harus menjangkarkan dirinya pada kepentingan rakyat banyak. Ia menjadi penyambung aspirasi rakyat, sebab raison d’etre dari partai politik adalah mewadahi dan menyalurkan aspirasi publik. 

Partai Kerakyatan 

Partai politik seyogianya tidak memisahkan dirinya dari visi dan elan kerakyatan dalam setiap nafasnya.Partai politik mempunyai tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pertahanan dan keamanan, sehingga terwujud sebuah transformasi struktural dan kultural di kalangan masyarakat yang berlangsung secara sehat dan seimbang. Tak kalah penting, misi utama partai politik adalah untuk memberdayakan dan menyejahterakan manusia Indonesia seutuhnya, lahir dan batin, jasmani dan rohani. 

Memisahkan gerakan politik dan gerakan sosial-kewargaan dalam upaya pemantapan demokrasi, disadari atau tidak, dapat memicu ketidakseimbangan transformasi sosial dan politik dan memberikan keleluasaan bagi elite oligarkis untuk menancapkan kepentingan politik,ekonomi dan bisnisnya. Menyatupadukan gerakan politik dan sosial dapat dimulai dengan menghidupkan kembali basis-basis popular kerakyatan yang memiliki peran strategis, yakni tempat ibadah, balai desa/kelurahan, dan pasar tradisional.

Ketiga lapak kerakyatan itu penting untuk dihidupkan kembali, mengingat di situlah ruang berkumpul, bersilaturahmi dan berdialog antarwarga. Di ketiga lapak itu pulalah, petani, buruh, nelayan,hingga pedagang, saudagar, dan para pegawai bertukar sapa. Dus,menyambungkan kembali partai politik dan gerakan sosial kerakyatan bukan hanya mendesak dilakukan, tetapi sebuah keniscayaan. 

Kombinasi gerakan politik dan gerakan sosial kerakyatan inilah yang diharapkan dapat membendung pragmatisme elite oligarkis dan apatisme publik terhadap lembaga politik dan negara. Kita tunggu, adakah partai politik yang benar-benar menjadikan “rakyat” dan “kerakyatan” sebagai basis popular program dan aksi politiknya? Ataukah lagi-lagi rakyat hanya sekadar sebagai “politik gincu” kekuatan oligarkisme dan partokratisme di Indonesia? Kita semua berharap hadirnya berkah yang pertama dan berlindung dari laknat yang kedua.
Tuhan Maha Tahu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar