Sabtu, 09 Februari 2013

Korupsi, Suap, dan Narkoba


Korupsi, Suap, dan Narkoba
James Luhulima  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 09 Februari 2013


Sejumlah penggiat antikorupsi dan narkoba memakai topeng bergambar wajah eks Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq serta pembawa acara dan aktor Raffi Ahmad di Solo, Jawa Tengah, Minggu, 3 Februari 2013. Dua di antara mereka memegang kertas bertulisan, ”From Hero to Zero”, yang terjemahan bebasnya, ’dari pahlawan menjadi bukan siapa-siapa’.
Luthfi, anggota DPR yang juga Presiden Partai Keadilan Sejahtera, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap terkait pemberian rekomendasi kuota impor daging kepada Kementerian Pertanian. Luthfi kemudian dibawa ke kantor KPK untuk menjalani pemeriksaan, sebelum ditahan di Rumah Tahanan Guntur. Luthfi mengumumkan pengunduran dirinya. Ia digantikan oleh Anis Matta, yang sebelumnya menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PKS.
Sementara itu, Raffi Ahmad ditetapkan sebagai tersangka oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) terkait kepemilikan 14 kapsul berisi bubuk metilon dan dua linting ganja, yang ditemukan di rumahnya, di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan, Minggu, 27 Januari 2013. BNN menyimpulkan zat metilon sebagai narkotika golongan I yang dilarang beredar dan dikonsumsi di Indonesia. Untuk proses penyidikan, Raffi akan ditahan selama 20 hari di Rumah Tahanan BNN.
Walaupun bersalah atau tidaknya kedua orang itu masih harus dibuktikan di pengadilan, bagi keduanya kehidupan berubah drastis. Hari-hari yang mereka jalani tidak lagi sama.
Ungkapan From Hero to Zero yang dituliskan oleh penggiat antikorupsi dan narkoba itu adalah ungkapan yang paling dapat mewakili apa yang dialami Luthfi Hasan Ishaaq dan Raffi Ahmad.
Ketidakhati-hatian dalam meniti jalan hidup mereka harus dibayar dengan sangat mahal. Sesungguhnya selain mereka berdua, banyak pula orang yang mengalami hal yang sama. Kita melihat banyak tokoh dan selebritas mengalami hal yang sama karena tidak berhati-hati dalam meniti jalan hidup mereka.
Jika saja mereka dapat menahan diri terhadap berbagai cobaan yang muncul di hadapan mereka, maka jalan hidup mereka akan berbeda. Sayangnya, kehidupan tidak mengenal ”jalan mundur”. Seseorang tidak dapat kembali ke masa lalu untuk mengubah jalan hidupnya dengan menghindari kesalahan yang dilakukan.
”Molimo”
Agar tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang menjadikan dirinya dari pahlawan menjadi bukan siapa-siapa, seseorang sebaiknya mematuhi larangan-larangan yang ada dalam tradisi masyarakat Jawa. Larangan-larangan itu dikenal dengan istilah molimo, atau 5M, yakni maling (mencuri), main (berjudi), madat (candu), madon (main perempuan), dan minum (mabuk).
Apabila seseorang mematuhi apa-apa yang dilarang dalam molimo, bisa dipastikan ia akan terhindar dari kesalahan yang menjerumuskan dirinya ke jurang kehancuran.
Yang dimaksud dengan maling, pada saat ini mungkin dapat disetarakan dengan mengambil atau menerima sesuatu yang bukan merupakan miliknya (korupsi), atau memberikan sesuatu untuk mendapatkan sesuatu yang bukan merupakan miliknya (menyuap).
Adapun pengertian madat dan mabuk itu sangat dekat. Hanya bedanya madat atau mengonsumsi narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) itu diancam dengan undang-undang. Sementara mabuk, sejauh tidak diikuti dengan tindakan yang membahayakan keselamatan orang lain, tidak diatur oleh undang-undang.
Sebagai suatu perangkat yang mengatur tata berkehidupan, molimo itu sangat baik. Hanya saja, yang mengherankan adalah mengapa larangan M yang paling penting, yakni membunuh, tidak masuk dalammolimo. Namun, kali ini, kita tidak membahas hal itu. Perhatian lebih dipusatkan kepada korupsi, suap, dan narkoba.
Tiga ”ta”
Bagi penguasa atau pejabat, juga ada tiga hal penting yang bisa menjatuhkannya dari singgasana atau kedudukannya, yakni tiga ta, yang merupakan kependekan dari takhta, harta, dan wanita. Itu sebabnya, apabila seorang penguasa atau pejabat ingin tetap bertahan di singgasana atau kedudukannya, ia harus ekstra hati-hati dengan ketiga ta itu.
Takhta atau kekuasaan itu berkaitan erat dengan kata-kata bijaksana yang dilontarkan oleh Lord Acton (1834-1902): ”Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”, yang terjemahan bebasnya, ’Kekuasaan cenderung disalahgunakan, dan kekuasaan mutlak pasti akan disalahgunakan’.
Itu sebabnya, seseorang yang tengah berkuasa harus pandai-pandai membawa diri dalam menjalankan kekuasaannya. Dengan demikian, ia terhindar dari kemungkinan dijatuhkan dari kekuasaannya. Pada saat yang sama, ia juga harus mampu menahan diri dari godaan harta dan wanita yang senantiasa muncul di hadapannya.
Ada pepatah yang menyatakan, ”Semakin tinggi pohon, semakin kencang angin yang menerpa”. Posisi pohon itu mungkin bisa disamakan dengan seseorang yang berada di puncak kariernya.
Dalam posisi seperti itu, seseorang harus pandai-pandai membawa diri. Jika tidak, dipastikan ia akan tersandung dan ditinggalkan. Semakin tinggi kedudukan seseorang, semakin besar godaan yang datang, dan jika jatuh, jatuhnya semakin keras.
Hal-hal baik yang terkandung dalam molimo dan tiga ta itu sudah mengantisipasi keadaan-keadaan seperti itu, dan semua itu tentunya merupakan hasil pengamatan generasi terdahulu. Namun, semua itu ternyata lebih mudah diucapkan daripada diterapkan. Itu sebabnya, dari waktu ke waktu kita melihat tokoh-tokoh dan selebritas terjerumus, baik karena korupsi, suap, maupun narkoba. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar