LEBIH baik terlambat daripada tidak sama
sekali. Mungkin itu kalimat yang pas untuk menggambarkan betapa kesadaran
dan inisiatif Kemendikbud melalui Ditjen Pendidikan Tinggi untuk membuka
akademi komunitas (community college)
menjadi angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia. Sebagai bagian dari
upaya peningkatan mutu pendidikan menengah, kehadiran akademi komunitas
memang harus lebih banyak lagi, terutama dengan menggandeng kerja sama
dengan dunia industri.
Pada 31 Januari 2013, Akademi Komunitas
Multistrada yang diinisiasi PT Multistrada Arah Sarana Tbk merupakan
akademi komunitas pertama pada 2013 yang diresmikan Dirjen Pendidikan
Tinggi Kemendikbud Djoko Santoso. Bagi dunia usaha, mendirikan akademi
komunitas merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan
profesionalitas karyawan. Selain itu, akademi komunitas juga dapat
meningkatkan akses masyarakat untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi serta
salah satu strategi menguatkan pendidikan vokasi.
Dengan adanya pendirian akademi komunitas
oleh dunia industri, kita berharap prosedur link and match antara apa yang
diajarkan di dunia pendidikan dan kebutuhan dunia kerja mulai terurai.
Selain itu, dengan menerima penduduk setempat sebagai mahasiswa, akademi
komunitas juga dapat mempersempit kesenjangan ekonomi yang terjadi antara
dunia industri dan masyarakat sekitar, terutama dalam menurunkan angka
dunia kerja yang masih didominasi lulusan pendidikan dasar.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik,
penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2012 masih didominasi pekerja
berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah sebesar 55,5 juta orang (49,21%)
dan sekolah menengah pertama sebesar 20,3 juta (17,99%). Adapun pekerja
berpendidikan tinggi sekitar 10,3 juta orang, berpendidikan diploma 3,1
juta orang (2,77%), dan berpendidikan universitas 7,2 juta orang (6,43%).
Tingginya angka pekerja yang lulus
pendidikan dasar jelas berkorelasi erat dengan kondisi pendidikan di
Indonesia. Meskipun kebijakan untuk membuka akademi komunitas belum
sepenuhnya dapat menjamin keberhasilan meningkatkan kualitas pendidikan dan
kualitas kesejahteraan para pekerja, inisiatif itu perlu diapresiasi semua
pihak, terutama oleh dunia industri. Karena itu, penyadaran bentuk teknis
kerja sama dengan dunia industri juga seyogianya berlandaskan pada kesamaan
visi tentang apa itu sesungguhnya pendidikan vokasi dan bagaimana peran
yang akan diambil sebuah akademi komunitas.
Sebagai bentuk konkret dari filsafat
pendidikan konstruktivisme, pendidikan vokasi menegaskan bahwa seorang
siswa/ mahasiswa sesungguhnya pengemudi sekaligus pengendali informasi dan
pengalaman baru yang mereka peroleh dalam sebuah proses memahami,
mengkritisi, sekaligus melakukan reinterpretasi pengetahuan dalam sebuah
siklus belajar mengajar (Billett 1996). Secara operasional memang tidaklah
sederhana memahami teori tersebut.
Namun, jika para guru/dosen mampu memahami
ide bahwa pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka,
melainkan selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan siswa (mind as inner individual representation
of outer reality), dengan demikian, baik guru/dosen maupun
siswa/mahasiswa dapat secara bersamasama mengonstruksi skema kognitif,
kategori, konsep, dan struktur dalam membangun pengetahuan sehingga setiap
bangunan proses belajar mengajar memiliki skema kognitif, kategori, konsep,
dan struktur yang lebih kaya sekaligus berbeda.
Belajar dari pengalaman negara maju seperti
Amerika dan Inggris, akademi komunitas harus selalu siap menerima kebutuhan
dunia industri dalam rangka menekan angkatan kerja berpendidikan rendah. Selain
itu, sumbangan dunia industri juga akan membantu secara langsung upaya
peningkatan anggaran pendidikan yang sejauh ini belum maksimal, baik
penyediaan maupun penggunaannya. Meskipun Indonesia sudah termasuk salah
satu negara demokratis terbesar di dunia, dalam Journal of Education Finance, Walter W McMahon (2006)
menyebutkan bahwa hampir semua negara demokratis yang maju dan terkemuka
menyumbang sebanyak 92,1% pembiayaan pendidikan dasar dan menengah, kecuali
Indonesia. Hal itu terlihat dari intensnya pajak untuk kebutuhan pendidikan
disosialisasikan kepada dunia industri. Di beberapa negara berkembang yang
berpaham demokratis, perkembangannya sedikit lebih lamban, yaitu sekitar
78%.
Awal 2009, Indonesia telah memiliki anggaran
pendidikan 20% dari total APBN. Saat ini dengan lebih dari Rp200 triliun
dana untuk pendidikan, distribusi dan prioritas pembangunan pendidikan
harus dilakukan ekstra hati-hati. Kehati-hatian perlu menjadi fokus
perhatian seluruh stakeholder pendidikan di Tanah Air mengingat upaya MDGs
diperkirakan akan gagal karena persoalan akses belum juga tuntas menjelang
2015. Krisis global yang terjadi saat ini juga ikut membawa dampak serius
terhadap kemampuan dan daya beli masyarakat terhadap jasa dan layanan
pendidikan.
Sementara secara politis, anggaran 20% rawan
dikorupsi mengingat pemilihan umum akan berlangsung di 2014 sehingga
konsentrasi birokrasi sebagai penyelenggara pendidikan akan terpecah. Kita
harus terus memercayai komitmen dunia industri dalam membantu upaya
peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia melalui skema akademi
komunitas.
Kita juga harus yakin bahwa akademi
komunitas akan menjadi katalisator bagi pertumbuhan kehidupan intelektual,
kultural, dan ekonomi masyarakat melalui sebuah komitmen terhadap integrasi
dan asas pelayanan industri terhadap masyarakat luas, terlebih asas manfaat
bagi masyarakat sekitar daerah industri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar