Senin, 04 Februari 2013

Selamat Datang Akademi Komunitas


Selamat Datang Akademi Komunitas
Ahmad Baedowi ;   Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 04 Februari 2013



LEBIH baik terlambat daripada tidak sama sekali. Mungkin itu kalimat yang pas untuk menggambarkan betapa kesadaran dan inisiatif Kemendikbud melalui Ditjen Pendidikan Tinggi untuk membuka akademi komunitas (community college) menjadi angin segar bagi dunia pendidikan Indonesia. Sebagai bagian dari upaya peningkatan mutu pendidikan menengah, kehadiran akademi komunitas memang harus lebih banyak lagi, terutama dengan menggandeng kerja sama dengan dunia industri.

Pada 31 Januari 2013, Akademi Komunitas Multistrada yang diinisiasi PT Multistrada Arah Sarana Tbk merupakan akademi komunitas pertama pada 2013 yang diresmikan Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Djoko Santoso. Bagi dunia usaha, mendirikan akademi komunitas merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan profesionalitas karyawan. Selain itu, akademi komunitas juga dapat meningkatkan akses masyarakat untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi serta salah satu strategi menguatkan pendidikan vokasi.

Dengan adanya pendirian akademi komunitas oleh dunia industri, kita berharap prosedur link and match antara apa yang diajarkan di dunia pendidikan dan kebutuhan dunia kerja mulai terurai. Selain itu, dengan menerima penduduk setempat sebagai mahasiswa, akademi komunitas juga dapat mempersempit kesenjangan ekonomi yang terjadi antara dunia industri dan masyarakat sekitar, terutama dalam menurunkan angka dunia kerja yang masih didominasi lulusan pendidikan dasar.

Dalam catatan Badan Pusat Statistik, penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2012 masih didominasi pekerja berpendidikan rendah, yaitu SD ke bawah sebesar 55,5 juta orang (49,21%) dan sekolah menengah pertama sebesar 20,3 juta (17,99%). Adapun pekerja berpendidikan tinggi sekitar 10,3 juta orang, berpendidikan diploma 3,1 juta orang (2,77%), dan berpendidikan universitas 7,2 juta orang (6,43%).

Tingginya angka pekerja yang lulus pendidikan dasar jelas berkorelasi erat dengan kondisi pendidikan di Indonesia. Meskipun kebijakan untuk membuka akademi komunitas belum sepenuhnya dapat menjamin keberhasilan meningkatkan kualitas pendidikan dan kualitas kesejahteraan para pekerja, inisiatif itu perlu diapresiasi semua pihak, terutama oleh dunia industri. Karena itu, penyadaran bentuk teknis kerja sama dengan dunia industri juga seyogianya berlandaskan pada kesamaan visi tentang apa itu sesungguhnya pendidikan vokasi dan bagaimana peran yang akan diambil sebuah akademi komunitas.

Sebagai bentuk konkret dari filsafat pendidikan konstruktivisme, pendidikan vokasi menegaskan bahwa seorang siswa/ mahasiswa sesungguhnya pengemudi sekaligus pengendali informasi dan pengalaman baru yang mereka peroleh dalam sebuah proses memahami, mengkritisi, sekaligus melakukan reinterpretasi pengetahuan dalam sebuah siklus belajar mengajar (Billett 1996). Secara operasional memang tidaklah sederhana memahami teori tersebut.

Namun, jika para guru/dosen mampu memahami ide bahwa pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, melainkan selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan siswa (mind as inner individual representation of outer reality), dengan demikian, baik guru/dosen maupun siswa/mahasiswa dapat secara bersamasama mengonstruksi skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur dalam membangun pengetahuan sehingga setiap bangunan proses belajar mengajar memiliki skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang lebih kaya sekaligus berbeda.

Belajar dari pengalaman negara maju seperti Amerika dan Inggris, akademi komunitas harus selalu siap menerima kebutuhan dunia industri dalam rangka menekan angkatan kerja berpendidikan rendah. Selain itu, sumbangan dunia industri juga akan membantu secara langsung upaya peningkatan anggaran pendidikan yang sejauh ini belum maksimal, baik penyediaan maupun penggunaannya. Meskipun Indonesia sudah termasuk salah satu negara demokratis terbesar di dunia, dalam Journal of Education Finance, Walter W McMahon (2006) menyebutkan bahwa hampir semua negara demokratis yang maju dan terkemuka menyumbang sebanyak 92,1% pembiayaan pendidikan dasar dan menengah, kecuali Indonesia. Hal itu terlihat dari intensnya pajak untuk kebutuhan pendidikan disosialisasikan kepada dunia industri. Di beberapa negara berkembang yang berpaham demokratis, perkembangannya sedikit lebih lamban, yaitu sekitar 78%.

Awal 2009, Indonesia telah memiliki anggaran pendidikan 20% dari total APBN. Saat ini dengan lebih dari Rp200 triliun dana untuk pendidikan, distribusi dan prioritas pembangunan pendidikan harus dilakukan ekstra hati-hati. Kehati-hatian perlu menjadi fokus perhatian seluruh stakeholder pendidikan di Tanah Air mengingat upaya MDGs diperkirakan akan gagal karena persoalan akses belum juga tuntas menjelang 2015. Krisis global yang terjadi saat ini juga ikut membawa dampak serius terhadap kemampuan dan daya beli masyarakat terhadap jasa dan layanan pendidikan.

Sementara secara politis, anggaran 20% rawan dikorupsi mengingat pemilihan umum akan berlangsung di 2014 sehingga konsentrasi birokrasi sebagai penyelenggara pendidikan akan terpecah. Kita harus terus memercayai komitmen dunia industri dalam membantu upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia melalui skema akademi komunitas.

Kita juga harus yakin bahwa akademi komunitas akan menjadi katalisator bagi pertumbuhan kehidupan intelektual, kultural, dan ekonomi masyarakat melalui sebuah komitmen terhadap integrasi dan asas pelayanan industri terhadap masyarakat luas, terlebih asas manfaat bagi masyarakat sekitar daerah industri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar