TERKAIT dengan
banjir besar yang beberapa waktu lalu melanda sebagian besar wilayah Ibu
Kota, muncul gagasan membangun deep
tunnel untuk mengendalikan banjir. Adalah Gubernur DKI Jakarta Jokowi
yang melontarkan gagasan itu, yakni pembangunan gorong-gorong raksasa
berdiameter 16 meter sepanjang sekitar 22 kilometer, dari Cawang hingga
Pluit. Pembangunan konstruksi diperkirakan menelan biaya Rp 16 triliun dan
bisa selesai dalam waktu empat tahun.
Namun banyak yang harus
menjadi pertimbangan guna merealisasikan gagasan besar itu. Minimal ada
tiga aspek utama yang perlu kita perhatikan terkait konstruksi tersebut.
Pertama; aspek hidrologi dan hydraulic
engineering. Gorong-gorong raksasa itu, seberapa pun besar dimensinya
tetap punya keterbatasan untuk menampung banjir. Padahal curah hujan di
Jakarta terhitung tinggi, belum lagi bila menerima ”kiriman” air dari
daerah selatan (Bogor).
Pengecualiannya adalah bila
deep tunnel tersebut dilengkapi dengan reservoir
besar, yang pembangunannya butuh biaya sangat besar. Belum lagi, cara
”mengeluarkan” volume besar air dari dalam gorong-gorong raksasa itu yang
tak bisa hanya mengandalkan gaya gravitasi tapi butuh dukungan sistem
pemompaan yang konsekuensinya butuh energi besar dan biaya pengoperasian
besar pula.
Kedua; aspek geologi dan
structural engineering. Pada umumnya deep tunnel, baik untuk sistem
pembuangan kotoran (sewerage)
maupun transportasi dibangun di wilayah dengan kondisi geologi yang stabil,
kuat, dan keras. Padahal sebagian besar wilayah Jakarta merupakan tanah
aluvial dengan formasi silt dan clay yang dikategorikan tanah lunak.
Aspek Pemeliharaan
Namun seandainya pemerintah
bersikeras membangunnya dengan kondisi tanah seperti itu tentu harus dengan
konstruksi ekstrakuat dan itu butuh biaya yang jauh lebih besar. Keberadaan
gorong-gorong raksasa pada tanah lunak bisa kita ibaratkan sebatang pipa
besar dalam media yang lunak/lembek dan tidak stabil.
Mengingat gorong-gorong itu
akan banyak menerima muatan dinamis, bukan tidak mungkin menimbulkan momen
yang berisiko menyebabkan keretakan, kebocoran, bahkan lebih fatal lagi,
patah atau pecah.
Ketiga; aspek pengoperasian
dan pemeliharaan. Aspek ini juga harus menjadi perhatian utama
mengingat banyak sekali pengalaman yang membuktikan bahwa kita kurang
memberi perhatian pada aspek pemeliharaan/ perawatan suatu proyek
konstruksi.
Kita juga harus bisa
menghitung secara cermat tinggi kandungan sedimen, termasuk kotoran/sampah
dalam air sungai, baik yang melintas di Jakarta maupun kota-kita lain di
Indonesia. Belum lagi harus memperhitungkan sampah-sampah yang tidak bisa
membusuk semisal plastik yang kini lebih mendominasi sampah di sungai.
Untuk satu kali banjir saja, berapa banyak sedimen dan sampah yang
mengendap di dalam deep tunnel.
Hal ini akan menjadi tugas yang sangat berat untuk membersihkan
gorong-gorong itu dengan keharusan mengeluarkan semua endapan dan
sampah ke permukaan tanah.
Belum lagi proses pembusukan
dari kotoran dan sampah yang masuk ke gorong-gorong raksasa tersebut yang
berisiko menghasilkan berbagai gas dan zat yang membahayakan kehidupan
manusia. Bukan mustahil deep tunnel bisa menjadi disease tunnel atau
garbage tunnel, bahkan menjadi sumber penyakit. Kita punya catatan tentang
ledakan di Chicago Deep Tunnel,
akibat akumulasi gas dalam gorong-gorong besar itu yang kemudian
terkondensasi dengan tekanan sangat tinggi hingga akhirnya meledak.
Tanpa mengecilartikan gagasan
itu, kita perlu mengapresiasinya mengingat banjir besar di Ibu Kota memang
mengingatkan semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi. Termasuk
permintaan Jokowi kepada Bappenas untuk mempecepat pembangunan tanggul laut
raksasa di Teluk Jakarta (running
text MetroTV, 24/01/13). Gagasan itu tampaknya terinspirasi oleh dam di
Negeri Belanda yang menutup satu wilayah teluk di Laut Utara menjadi satu
danau besar yang disebut ijzelmeer.
Namun ada beberapa hal
penting untuk dipertimbangkan dalam membangun tanggul laut raksasa, yang
diharapkan selain bisa mengatasi banjir juga dapat menjadi reservoir air
tawar. Pertama; kondisi hidrologi Jakarta dengan curah hujan yang tinggi
berbeda dari Negeri Belanda atau negara nontropis yang lain. Belum lagi
rembesan air laut (seepage) lewat
dasar dam dan efek penurunan tanah terhadap stabilitas konstruksi dam akan
menjadi problem berat dan mahal untuk penanggulangannya.
Pertanyaannya adalah siapkah
kita menghadapi segala risiko dan konsekuensi dari pembuatan deep tunnel? Tentu rencana besar itu
masih butuh kajian yang lebih komprehensif karena besar volume sedimen dan
sampah yang masuk ke gorong-gorong raksasa tersebut akan mengakibatkan
biaya perawatan/ pemeliharaan yang sangat tinggi. Padahal tanpa
perawatan/pemeliharaan intensif, sebaik apa pun proyek itu hanya akan
menjadi simalakama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar