Setiap hari saya perhatikan di televisi hampir semua orang
berbahasa Indonesia secara super ngawur: presenter, artis, intelektual,
pelawak, pejabat, orang awam, anggota DPR, polisi, dokter,malah profesor
juga.
Awalnya orang
tidak bisa membedakan antara acuh dan acuh tak acuh. Sekarang hampir semua
orang tidak bisa membedakan antara “kita” dan “kami”, tidak bisa membedakan
antara “dan”dan “dan juga”,mengucapkan kata “kemudian”,“secara” dan “itu
sendiri” tidak pada konteks yang tepat, “feminin” dilafalkan “feminim”,
“remunerasi”dilafalkan (dan ditulis) “renumerasi”,“event” (peristiwa)
dibaca lafalnya sama dengan “even” (sama rata atau meskipun atau beberapa
arti lain) padahal artinya lain sama sekali, dan masih banyak lagi.
Teman saya yang
sudah tinggal di luar negeri sejak tahun 1970-an atau sebelumnya, tidak
bisa lagi mengerti kalau mendengarkan radio, nonton TV, apalagi membaca
koran. Terlalu banyak kata yang tidak dimengertinya. Padahal, bahasa
Inggris baku (seperti yang dilafalkan di BBC, CNN, ABC), ratusan tahun
tidak banyak berubah, kecuali kalau ada temuantemuan baru (misalnya
istilahistilah komputer).
Masalahnya
orang Indonesia rata-rata malas mengacu/membaca kamus, atau bertanya pada
yang tahu, atau mengecek ke Google translate/dictionary kalau ada
istilah-istilah baru. Para presenter TV (yang saya perhatikan kalau
sesekali sedang diundang siaran di stasiun TV), tidak pernah mempersiapkan
teks yang akan dibacanya.
Mereka sibuk make up, terus duduk di belakang
meja siaran, sambil bercanda-canda dengan awak studio yang lain, count down,...5,....4,....3,...,2,....
1, ...dan langsung membaca teks dari prompter yang terus bergerak cepat dan
si penyiar harus membaca cepat juga untuk mengejar durasi. Pantaslah banyak
kesalahan baca (karena tidak paham konteks yang sedang dibaca, belum
dipelajari), tidak tahu kalau ada kata-kata yang salah atau tidak baku,
apalagi kalau ada kata-kata asing atau bahasa daerah (misalnya bahasa
Jawa), sering sekali asal baca saja.
Itulah yang
kemudian ditiru dan menjadi bahasa baku masyarakat Indonesia, yang umumnya
memang belajar dari TV. Bahkan, guru-guru bahasa Indonesia pun lebih enak
meniru penyiar TV daripada mencari-cari sendiri di kamus. Selain itu, orang
Indonesia lebih suka meniru artis yang pop. Istilah “cetar membahana”
diciptakan oleh artis Syahrini, yang memperoleh kata-kata itu (yang
maksudnya “bagus”, “hebat”, atau “luar biasa”), entah dari langit mana atau
dari mimpi ketemu embah siapa.
Tetapi orang
Indonesia memang senang meniru ucapan-ucapan yang heboh dari artis heboh
juga, padahal artis-artis top yang bahasa Indonesianya masih baku, masih
banyak sekali. Mengapa misalnya tidak meniru penyanyi Titiek Puspa, atau
Afghan atau bahkanchef Farah Quinn, (yang memang banyak mencampur
omongannya dengan bahasa Inggris, tetapi kalimat-kalimat dan kata-kata
bahasa Indonesianya masih baku), atau selebritas kontemporer yang nonartis
seperti Jokowi dan Ahok, yang tutur bahasa Indonesianya juga masih baku.
Dulu (sebelum
ada media TV), bahasa Indonesia mengacu pada media cetak (koran, majalah,
novel), yang bahasanya diedit dengan ketat. Sesudah ada TVRI,rubrik bahasa
dikawal oleh pakar-pakar bahasa Indonesia yang piawai, seperti Jus Badudu
(baca: Yus Badudu), dan karena TVRI ketika itu merupakan satu-satunya
stasiun TV di Indonesia, maka orang dari Sabang sampai Merauke hanya
mengacu pada TV yang satu itu.
Maka masih
lumayanlah terkontrol kualitas bahasa Indonesia ketika itu. Tetapi lain
Bengkulu, lain Semarang, lain dahulu lain sekarang. Sekarang secara umum
standardisasi bahasa Indonesia tidak menjadi pokok kebijakan penyiaran dari
stasiunstasiun TV yang sudah begitu banyaknya. Persaingan lebih
berorientasi pada kuantitas rating dan profit, maka rekrutmen
penyiar/reporter TV juga lebih memperhatikan penampilan fisik ketimbang
kemampuan berbahasa.
Jangankan
bahasa asing, bahasa Indonesia pun kurang diperhatikan.Akibatnya mereka
asal bicara saja dalam bertutur di depan kamera, padahal merekalah panutan
orang berbahasa zaman sekarang. Namun di luar kemalasan mencari sumber asli,
melihat kamus atau mencari di Google, yang paling memprihatinkan adalah
bahwa bangsa ini sudah malas berpikir.
Saking malasnya
berpikir, pembawa acara yang mewawancarai Gubernur Jokowi yang belum tiga
bulan menjabat, bertanya kepada sang Gubernur, “Kenapa kok Jakarta masih banjir juga?”. Padahal pertanyaan
itu, kalau si penyiar mau berpikir sedikit, pasti bisa dijawabnya sendiri.
Kemalasan berpikir itu kemudian dicampur dengan kepentingan pribadi, vested
interest, mau gampangnya saja, jalan pintas dan sebagainya, sehingga
menghasilkan pandangan, keputusan, kebijakan yang ngawur-ngawur-an juga.
Di Sumbawa,
massa menyerang polisi dan membakari perkampungan etnik Bali, gara-gara SMS
yang beredar bahwa ada gadis Sumbawa yang mati diperkosa polisi. Saking malasnya
mengecek akurasi berita SMS, massa main percaya saja dan langsung beringas
tanpa kendali. Ratusan UU dan perda saling bertentangan atau melanggar UU
yang lebih tinggi, karena tidak dicek saling silang dulu dengan sabar dan
teliti.
Kebanyakan
(walaupun tidak semua) para pembuat hukum atau peraturan atau surat
keputusan, dalam menuliskan konsiderans (mengingat, menimbang,
memperhatikan,dan seterusnya), main copy
paste saja dari UU/perda/SK yang terdahulu, tanpa meneliti bunyi
produk-produk hukum yang terdahulu itu dengan cermat. Orang-orang yang
malas berpikir juga tidak sabar dengan membaca hasil-hasil penelitian,
apalagi membuat penelitian sendiri.
Karena itu, banyak
sekali kesimpulan ngawur dalam masyarakat yang tidak evidence atau empirical
based (berdasarkan bukti atau fakta nyata di lapangan). Maka
dalil-dalil agama (kondom mengesahkan zina) dipakai untuk mencegah masalah
kesehatan (HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual disebabkan oleh virus,
dan kehamilan disebabkan oleh sperma, yang bisa dicegah dengan kondom).
Atau HIV/AIDS
dan narkoba tidak mungkin masuk ke Indonesia, karena bangsa Indonesia sudah
menghayati dan mengamalkan Pancasila. Bupati Aceng juga sama; keputusan
Mahkamah Agung (Lembaga Yudikatif tertinggi di Indonesia) disalahkan, dan MA
akan disomasinya ke polisi. Logika yang sangat terbolak-balik, karena
polisi dalam sistem hukum pidana Indonesia (dan di seluruh dunia) adalah
instansi yang paling rendah, sementara MA adalah instansi yang tertinggi.
Kesimpulannya
adalah bahwa cara berpikir orang Indonesia sudah parah! Parahnya sudah
sampai pada taraf CETAR MEMBAHANA MENGGELEGAR BADAI (belakangan
kata-katanya ditambah oleh Syahrini sendiri). Mungkin sudah saatnya KPI
(Komisi Penyiaran Indonesia) mengawasi penggunaan bahasa Indonesia di stasiun-stasiun
TV, jadi bukan hanya mengurusi pornografi atau adegan kekerasan.
Stasiun-stasiun
yang sembarangan menggunakan bahasa Indonesia ditegur, kalau perlu ditutup
sementara. Sementara itu, Depdikbud bisa memerintahkan agar setiap stasiun
TV mengadakan acara “Berbahasa
Indonesia yang baik dan benar”.
erbaikan dari
keadaan yang sudah parah seperti ini, harus dimulai dari atas. Tidak boleh
diserahkan kepada masyarakat sendiri, betapapun NKRI adalah negara kesatuan
yang demokratis. Bahayanya kalau kita terlalu demokratis, adalah bahwa
bisa-bisa kita sulit mempertahankan kesatuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar