Minggu, 03 Februari 2013

Cetar Membahana


Cetar Membahana
Sarlito Wirawan Sarwono ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
SINDO, 03 Februari 2013



Setiap hari saya perhatikan di televisi hampir semua orang berbahasa Indonesia secara super ngawur: presenter, artis, intelektual, pelawak, pejabat, orang awam, anggota DPR, polisi, dokter,malah profesor juga.

Awalnya orang tidak bisa membedakan antara acuh dan acuh tak acuh. Sekarang hampir semua orang tidak bisa membedakan antara “kita” dan “kami”, tidak bisa membedakan antara “dan”dan “dan juga”,mengucapkan kata “kemudian”,“secara” dan “itu sendiri” tidak pada konteks yang tepat, “feminin” dilafalkan “feminim”, “remunerasi”dilafalkan (dan ditulis) “renumerasi”,“event” (peristiwa) dibaca lafalnya sama dengan “even” (sama rata atau meskipun atau beberapa arti lain) padahal artinya lain sama sekali, dan masih banyak lagi. 

Teman saya yang sudah tinggal di luar negeri sejak tahun 1970-an atau sebelumnya, tidak bisa lagi mengerti kalau mendengarkan radio, nonton TV, apalagi membaca koran. Terlalu banyak kata yang tidak dimengertinya. Padahal, bahasa Inggris baku (seperti yang dilafalkan di BBC, CNN, ABC), ratusan tahun tidak banyak berubah, kecuali kalau ada temuantemuan baru (misalnya istilahistilah komputer). 

Masalahnya orang Indonesia rata-rata malas mengacu/membaca kamus, atau bertanya pada yang tahu, atau mengecek ke Google translate/dictionary kalau ada istilah-istilah baru. Para presenter TV (yang saya perhatikan kalau sesekali sedang diundang siaran di stasiun TV), tidak pernah mempersiapkan teks yang akan dibacanya. 

Mereka sibuk make up, terus duduk di belakang meja siaran, sambil bercanda-canda dengan awak studio yang lain, count down,...5,....4,....3,...,2,.... 1, ...dan langsung membaca teks dari prompter yang terus bergerak cepat dan si penyiar harus membaca cepat juga untuk mengejar durasi. Pantaslah banyak kesalahan baca (karena tidak paham konteks yang sedang dibaca, belum dipelajari), tidak tahu kalau ada kata-kata yang salah atau tidak baku, apalagi kalau ada kata-kata asing atau bahasa daerah (misalnya bahasa Jawa), sering sekali asal baca saja.

Itulah yang kemudian ditiru dan menjadi bahasa baku masyarakat Indonesia, yang umumnya memang belajar dari TV. Bahkan, guru-guru bahasa Indonesia pun lebih enak meniru penyiar TV daripada mencari-cari sendiri di kamus. Selain itu, orang Indonesia lebih suka meniru artis yang pop. Istilah “cetar membahana” diciptakan oleh artis Syahrini, yang memperoleh kata-kata itu (yang maksudnya “bagus”, “hebat”, atau “luar biasa”), entah dari langit mana atau dari mimpi ketemu embah siapa.

Tetapi orang Indonesia memang senang meniru ucapan-ucapan yang heboh dari artis heboh juga, padahal artis-artis top yang bahasa Indonesianya masih baku, masih banyak sekali. Mengapa misalnya tidak meniru penyanyi Titiek Puspa, atau Afghan atau bahkanchef Farah Quinn, (yang memang banyak mencampur omongannya dengan bahasa Inggris, tetapi kalimat-kalimat dan kata-kata bahasa Indonesianya masih baku), atau selebritas kontemporer yang nonartis seperti Jokowi dan Ahok, yang tutur bahasa Indonesianya juga masih baku. 

Dulu (sebelum ada media TV), bahasa Indonesia mengacu pada media cetak (koran, majalah, novel), yang bahasanya diedit dengan ketat. Sesudah ada TVRI,rubrik bahasa dikawal oleh pakar-pakar bahasa Indonesia yang piawai, seperti Jus Badudu (baca: Yus Badudu), dan karena TVRI ketika itu merupakan satu-satunya stasiun TV di Indonesia, maka orang dari Sabang sampai Merauke hanya mengacu pada TV yang satu itu. 

Maka masih lumayanlah terkontrol kualitas bahasa Indonesia ketika itu. Tetapi lain Bengkulu, lain Semarang, lain dahulu lain sekarang. Sekarang secara umum standardisasi bahasa Indonesia tidak menjadi pokok kebijakan penyiaran dari stasiunstasiun TV yang sudah begitu banyaknya. Persaingan lebih berorientasi pada kuantitas rating dan profit, maka rekrutmen penyiar/reporter TV juga lebih memperhatikan penampilan fisik ketimbang kemampuan berbahasa. 

Jangankan bahasa asing, bahasa Indonesia pun kurang diperhatikan.Akibatnya mereka asal bicara saja dalam bertutur di depan kamera, padahal merekalah panutan orang berbahasa zaman sekarang. Namun di luar kemalasan mencari sumber asli, melihat kamus atau mencari di Google, yang paling memprihatinkan adalah bahwa bangsa ini sudah malas berpikir. 

Saking malasnya berpikir, pembawa acara yang mewawancarai Gubernur Jokowi yang belum tiga bulan menjabat, bertanya kepada sang Gubernur, “Kenapa kok Jakarta masih banjir juga?”. Padahal pertanyaan itu, kalau si penyiar mau berpikir sedikit, pasti bisa dijawabnya sendiri. Kemalasan berpikir itu kemudian dicampur dengan kepentingan pribadi, vested interest, mau gampangnya saja, jalan pintas dan sebagainya, sehingga menghasilkan pandangan, keputusan, kebijakan yang ngawur-ngawur-an juga. 

Di Sumbawa, massa menyerang polisi dan membakari perkampungan etnik Bali, gara-gara SMS yang beredar bahwa ada gadis Sumbawa yang mati diperkosa polisi. Saking malasnya mengecek akurasi berita SMS, massa main percaya saja dan langsung beringas tanpa kendali. Ratusan UU dan perda saling bertentangan atau melanggar UU yang lebih tinggi, karena tidak dicek saling silang dulu dengan sabar dan teliti.

Kebanyakan (walaupun tidak semua) para pembuat hukum atau peraturan atau surat keputusan, dalam menuliskan konsiderans (mengingat, menimbang, memperhatikan,dan seterusnya), main copy paste saja dari UU/perda/SK yang terdahulu, tanpa meneliti bunyi produk-produk hukum yang terdahulu itu dengan cermat. Orang-orang yang malas berpikir juga tidak sabar dengan membaca hasil-hasil penelitian, apalagi membuat penelitian sendiri.

Karena itu, banyak sekali kesimpulan ngawur dalam masyarakat yang tidak evidence atau empirical based (berdasarkan bukti atau fakta nyata di lapangan). Maka dalil-dalil agama (kondom mengesahkan zina) dipakai untuk mencegah masalah kesehatan (HIV/AIDS, dan penyakit menular seksual disebabkan oleh virus, dan kehamilan disebabkan oleh sperma, yang bisa dicegah dengan kondom). 

Atau HIV/AIDS dan narkoba tidak mungkin masuk ke Indonesia, karena bangsa Indonesia sudah menghayati dan mengamalkan Pancasila. Bupati Aceng juga sama; keputusan Mahkamah Agung (Lembaga Yudikatif tertinggi di Indonesia) disalahkan, dan MA akan disomasinya ke polisi. Logika yang sangat terbolak-balik, karena polisi dalam sistem hukum pidana Indonesia (dan di seluruh dunia) adalah instansi yang paling rendah, sementara MA adalah instansi yang tertinggi. 

Kesimpulannya adalah bahwa cara berpikir orang Indonesia sudah parah! Parahnya sudah sampai pada taraf CETAR MEMBAHANA MENGGELEGAR BADAI (belakangan kata-katanya ditambah oleh Syahrini sendiri). Mungkin sudah saatnya KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) mengawasi penggunaan bahasa Indonesia di stasiun-stasiun TV, jadi bukan hanya mengurusi pornografi atau adegan kekerasan. 

Stasiun-stasiun yang sembarangan menggunakan bahasa Indonesia ditegur, kalau perlu ditutup sementara. Sementara itu, Depdikbud bisa memerintahkan agar setiap stasiun TV mengadakan acara “Berbahasa Indonesia yang baik dan benar”.

erbaikan dari keadaan yang sudah parah seperti ini, harus dimulai dari atas. Tidak boleh diserahkan kepada masyarakat sendiri, betapapun NKRI adalah negara kesatuan yang demokratis. Bahayanya kalau kita terlalu demokratis, adalah bahwa bisa-bisa kita sulit mempertahankan kesatuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar