Artikel Satryo Soemantri Brodjonegoro di Kompas (2/2) menyoroti
perlunya pemerintah melakukan reformasi sistem keuangan negara berkaitan
dengan pendidikan dan riset yang berbasis pada capaian kinerja.
Komponen yang diusulkan penulis itu sangatlah jelas, yakni capaian
kinerja. Sementara itu, di tingkat makro perlu dilakukan reformasi sistem
keuangan, tetapi di tingkat aturan pendukung pengukuran capaian kinerja
dosen justru terus berubah. Kerap kali perubahan ini blunder bagi dosen dan
perguruan tinggi.
Draf Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi mengenai Jabatan Akademik Dosen (versi revisi 19-21 Oktober 2012)
telah beredar luas via internet. Pada Pasal 4, jabatan akademik lektor
kepala (LK) dan profesor harus dengan ijazah doktor. Peraturan terdahulu
mensyaratkan S-2 dapat mengajukan kepangkatan LK. Dampak dari penyusunan
draf ini, beredar pula surat edaran Dikti mengenai penutupan sementara
penilaian jabatan akademik LK hingga Maret 2013.
Rencana perubahan itu tentu dilatari maksud baik agar dosen Indonesia
makin berkualitas. Namun, perlu diperhatikan dampak perubahan itu.
Misalnya, dalam peraturan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi,
penilaian akreditasi institusi salah satunya adalah banyaknya dosen LK ke
atas. Jika draf di atas diimplementasikan per 2013, akan banyak perguruan
tinggi yang kesulitan sebab jabatan akademik dosennya tidak bisa diajukan
sebagai LK (dosen yang sudah cukup nilainya itu belum S-3). Sementara itu,
untuk studi S-3 sedikitnya dibutuhkan empat tahun. Akreditasi institusi
”dirugikan”.
Selain itu, ada prasyarat hibah-hibah penelitian atau program
nasional untuk dikepalai LK. Dengan demikian, institusi yang tertunda
pengajuan LK para dosennya juga kalah saing dan akan gagal sebelum
bersaing. Sementara itu, persaingan penerima hibah juga akan berkurang dan
ini berarti mutu proposal tidak menjadi lebih baik. Dengan kata lain, 4-8
tahun ke depan kenaikan LK akan melambat sehingga kenaikan jabatan akademik
profesor akan lebih melambat. Jika demikian, tidakkah niat pemerintah
menaikkan mutu pendidikan tinggi dan kuantitas dosen berkualitas juga
melambat?
Berita di Kompas, 8 Februari 2013 (halaman 12), menyebutkan akan
dibatasinya beasiswa untuk program S-3 karena kurang seriusnya
penyelenggara program doktor di Indonesia menekankan soal publikasi ilmiah.
Kembali pada niat draf PP di atas, bukankah berita ini juga menyentak para
dosen kita?
Lebih Sulit
Begitu rumit berkarier sebagai dosen di Indonesia. Jika beasiswa S-3
dibatasi, makin sedikit kenaikan dosen S-3 di negeri ini. Jika S-3 sedikit,
makin sedikit pula LK berdasarkan peraturan draf PP di atas. Jika LK makin
sedikit, makin sedikit poin penilaian akreditasi institusi, makin sedikit
pula yang dapat berkarya dengan hibah nasional atau hibah lainnya. Pada
akhirnya tujuan baik pemerintah barangkali akan jauh lebih sulit dicapai
daripada dengan peraturan saat ini, yakni LK dapat diperoleh dosen S-2.
Apakah ada linearitas antara gelar dan karya? Rekrutmen dosen S-2
saja jelas tidak mudah di Indonesia, hanya 10-20 persen dari lulusan S-1
kita yang melanjut ke S-2. Lulusan S-2 belum tentu menjadi dosen. Apalagi,
jika tahu demikian rumit dan sulit berkarier sebagai dosen, termasuk jika
membandingkan pendapatan bersih per bulan dengan profesi lain yang berlatar
pendidikan sama.
Jika draf PP di atas disahkan, untuk LK yang setara dengan manajer,
dia harus studi lanjut minimal empat tahun untuk S-3. Sementara rekan
kerjanya yang sesama S-2 sudah jadi manajer, bahkan berkarier hingga
manajer jenderal. Artinya, padanan karier dosen yang S-3 dengan LK
disetarakan dengan S-2 di luar dunia pendidikan yang untuk berkarier,
”hanya” diperlukan karya profesional (capaian kinerja). Jika prasyarat S-3
harus terpenuhi untuk menjadi LK, ada ketimpangan rumit dalam karier dosen
dibanding profesi lain.
Kebutuhan Indonesia adalah dosen-dosen yang profesional, mempunyai
capaian kinerja, dan berkarya dengan hati, passionate. Bahwa studi S-3
diperlukan bagi dosen, jelas tak dapat dimungkiri, tetapi bersamaan dengan
itu juga masih dibutuhkan kuantitas yang tak sedikit di penjuru kepulauan
untuk berkarya. Manakah yang lebih prioritas saat ini? Dasar penentuan
jenjang karier pada gelar (S-3) atau capaian kinerja?
Insentif berikut jenjang karier berdasarkan karya jelas lebih
diperlukan dosen dan institusi perguruan tinggi di Indonesia. Jika insentif
dan jenjang karier tersebut menarik bagi lulusan S-2 kita, tentulah capaian
kinerja mereka akhirnya juga akan terencanakan untuk dilanjutkan pada
studi S-3.
Dalam waktu lima hingga 10 tahun ini tetapkan prioritas pada karya
dan penghargaan atas karya profesional (baca: capaian kinerja) dosen. ●
|
Hmm...ribet banget memang. Saya aja yg mau ambil s2 trganjal masalah linearitas, pdhl saya cukup ahli dibidang akademik. Kuantitas atau Kualitas sih yang perlu???
BalasHapus