Tekanan agar pemerintah mengeksekusi mati terpidana narkoba memuncak
sejak penangkapan Meirika Franola, bekas terpidana mati penerima grasi.
Franola dituduh ikut mengendalikan sindikat narkoba saat masih
mendekam di penjara. Sejak kasus ini mencuat, sejumlah pihak menyerukan
agar eksekusi terhadap pidana mati narkoba segera dijalankan kembali,
setelah empat tahun terakhir ini berhenti. Kalaupun sikap menekan ini
terdorong oleh kegelisahan terhadap bahaya narkoba, eksekusi mati bukan
solusi.
Alasan Pragmatis
Kenapa bukan solusi? Pertama, selain bertentangan dengan pandangan
umum, tidak ada bukti meyakinkan bahwa pidana mati menimbulkan efek jera yang
lebih besar daripada pidana penjara.
Ahli hukuman mati Zimring, Fagan, dan Johnson, misalnya,
membandingkan angka pembunuhan di Singapura dan di Hongkong selama empat
dasawarsa dari 1967-2007. Kecenderungannya saling menyerupai: sama-sama
menyusut meskipun Singapura sangat giat mengeksekusi terpidana pada
pertengahan 1990-an, sedangkan Hongkong terakhir mengeksekusi terpidana
pada 1966. Pemerintah Singapura tak memublikasikan data terkait narkotika,
Hongkong sebaliknya. Akibatnya, klaim pendukung hukuman mati di Singapura
bahwa pidana mati menjerakan pelaku kejahatan narkotika tidak dapat diuji.
Di kawasan lain juga begitu. Dalam meresensi penelitian tentang efek
jera di Amerika Serikat, pakar hukum pidana Michael Tonry menyimpulkan
tidak ada bukti kredibel bahwa hukuman mati lebih efektif daripada penjara
seumur hidup dalam menjerakan pelaku pembunuhan. (Pada praktiknya, Amerika
Serikat menjatuhkan vonis mati terutama dalam kasus pembunuhan). Karya
sebagian ekonom yang meyakini bahwa hukuman mati lebih mujarab, kata
Michael Tonry, telah dibantah peneliti-peneliti lain. Tegas tidak sama
dengan efektif. Hukuman mati bukan solusi membuat sindikat narkoba jera.
Kedua, penegakan hukuman di Indonesia selama ini diragukan menembus
jajaran tinggi sindikat narkoba. Cukup banyak di antara terpidana mati
narkotika di Indonesia tertangkap tangan membawa narkoba. Secara logika,
mereka besar kemungkinan adalah kurir atau bawahan sindikat, bukan pemegang
kendali.
Bahkan, adanya sindikat narkotika lintas penjara, yang menurut Badan
Narkotika Nasional dikendalikan oleh terpidana narkoba, juga menimbulkan
tanda tanya. Mungkinkah sindikat ini dapat beroperasi di dalam penjara jika
tidak ada yang menjadi pelindung?
Memvonis mati dan mengeksekusi terpidana yang terlibat dalam kasus
ini tak akan menyelesaikan masalah. Penegakan hukum yang lebih berhasil
menembus level atas sindikat serta menargetkan yang diduga melindunginya
adalah langkah yang harus diambil, selain langkah membereskan sistem
penjara.
Kedua alasan di atas pada dasarnya alasan pragmatis. Eksekusi mati
bukan solusi karena sangat diragukan dapat berkontribusi memberantas
narkoba.
Alasan Prinsip
Namun, ada juga alasan prinsip. Selama lebih kurang 18 bulan terakhir
sejak eksekusi mati Ruyati binti Satubi di Arab Saudi, Pemerintah Indonesia
secara giat mengadvokasi nasib warga negara Indonesia yang terancam
eksekusi mati di luar negeri, apa pun jenis pidananya. Menurut data
Kementerian Luar Negeri per Desember 2012, 110 warga negara Indonesia telah
lepas dari ancaman eksekusi, lebih dari sepertiganya terjerat pasal
narkotika.
Adalah hal yang tidak konsisten jika Indonesia menentang hukuman mati
bagi seluruh warganya sendiri di negara lain, tetapi tetap menerapkan
hukuman mati di dalam negeri. Advokasi luar negeri ini rupanya menjadi
salah satu faktor yang mendorong beberapa langkah pemerintah yang dapat
ditafsirkan sebagai langkah menuju abolisi.
Contohnya pemberian grasi kepada empat terpidana mati narkotika.
Dalam memaparkan alasan pemberian grasi kepada media, Wakil Menteri Hukum
dan HAM Denny Indrayana mengutarakan keputusan ini wajar, mengingat
Presiden juga meminta pengampunan dari negara lain. Contoh satu lagi adalah
tetap berlanjutnya masa jeda eksekusi, yang telah berlangsung sejak 2008.
Masa jeda ini menjadi yang terpanjang selama 30 tahun terakhir.
Contoh lain yang berarti, tetapi belum banyak diketahui masyarakat,
pada akhir 2012 Pemerintah Indonesia memilih tidak bersikap (abstain) atas
resolusi Majelis Umum PBB yang mengimbau adanya moratorium atas penerapan hukuman
mati di seluruh dunia. Sebelumnya Indonesia selalu menentang resolusi
serupa pada tahun 2007, 2008, dan 2010. Melihat langkah-langkah ini adalah
tidak konsisten juga jika pemerintah melanjutkan rencana mengeksekusi
terpidana mati tahun ini, sebagaimana diumumkan akhir 2012 dan awal 2013
oleh Jaksa Agung serta jajarannya.
Mungkin ada yang akan menjawab, hukuman mati masih didukung mayoritas
masyarakat Indonesia sehingga tetap saja pantas dipertahankan. Namun, ini
bukan alasan yang kuat. Dalam persoalan hak asasi manusia seperti
penghapusan hukuman mati, pemerintah harus memimpin, bukan sekadar
mengikuti opini mayoritas. Di kebanyakan negara yang menghapusnya, menurut
para pakar komparatif, pidana mati dihapus berdasarkan kepemimpinan
politik, pada saat masyarakat umum masih mendukungnya.
Menanggapi bahaya narkoba dan menyikapi hukuman mati adalah dua hal
yang berbeda, yang tidak bisa dicampuradukkan. Indonesia dapat saja mencari
langkah efektif untuk menanggulangi narkoba sekaligus menghapus hukuman mati.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar