Meski opini publik telah bergulir cukup deras, pemerintah tampaknya
masih enggan menaikkan harga BBM bersubsidi. Keengganan ini boleh jadi karena
trauma masa lalu ketika rencana yang sama gagal digolkan di Sidang
Paripurna DPR.
Namun, berbeda dengan tahun lalu, di mana pemerintah mengikatkan
dirinya untuk tidak mengubah harga BBM dalam APBN 2012, pada APBN 2013
pemerintah dapat menaikkan harga BBM kapan dan berapa pun.
Pemerintah (dan partai-partai koalisi) barangkali khawatir kehilangan
pemilih karena mendekati Pemilu 2014. Pilihan ini memang rasional secara
politis dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka tak terlalu lama pilihan
membiarkan harga BBM seperti sekarang sulit dipertahankan.
Alasannya sederhana: menunda kenaikan BBM sangat mahal dan berisiko
bagi perekonomian secara keseluruhan. Ibarat pepatah, pemerintah sedang
bermain api dengan BBM, yang berpotensi menghanguskan perekonomian nasional.
Semua berawal dari premium dan solar yang dipatok Rp 4.500 per liter
sejak 2009. Ini berarti, secara riil harga keduanya turun karena selama
2009-2012 inflasi telah mencapai 19 persen.
Akibat harga BBM yang murah meriah di satu sisi, dan pertumbuhan kelas
menengah di sisi lain, konsumsi BBM melonjak. Statistik mencatat realisasi
penjualan BBM bersubsidi meningkat dari 37 juta kiloliter pada 2009 menjadi
45 juta kiloliter pada 2012, atau naik 21,6 persen. Pembiaran ini jelas tak
masuk akal jika dihadapkan pada fakta bahwa minyak adalah energi tak
terbarukan, dan ketersediaannya dari sumber domestik kian berkurang.
Patut disesalkan bahwa angka- angka subsidi BBM dalam dokumen APBN
ternyata hanyalah angka-angka rencana belaka yang mudah untuk direvisi atau
dilanggar. Volume subsidi BBM, misalnya, naik dari 40 juta kiloliter pada
APBN(P) 2012 menjadi 45 juta kiloliter dalam realisasinya. Bila dilihat
dari nilai lebih buruk lagi: dari Rp 123 triliun dalam APBN 2012, jadi Rp
137,4 triliun dalam APBN-P, dan realisasinya membengkak menjadi Rp 211,9
triliun atau 72 persen lebih tinggi dari APBN! Ini merefleksikan buruknya
perencanaan, atau tidak realistisnya perencanaan anggaran, atau tidak
efektifnya kebijakan penopang yang dilakukan.
Defisit Ganda
Lebih memprihatinkan adalah kenaikan konsumsi BBM ini mendorong
tingginya permintaan impor minyak. Selama periode Januari-November 2012
hasil ekspor minyak dan gas kita hangus begitu saja, bahkan tidak cukup
untuk membayar impor minyak. Ironisnya, impor minyak ini sebagian besar
berwujud hasil minyak, bukan minyak mentah yang kita kilang sendiri.
Itu baru hitung-hitungan dari neraca migas saja. Bila defisit
perdagangan migas digabungkan dengan surplus neraca perdagangan non-migas,
Indonesia masih tetap saja tekor. Mulai Oktober 2012, neraca perdagangan
Indonesia defisit. Artinya, keseluruhan ekspor Indonesia (migas ataupun
non-migas) lebih kecil daripada keseluruhan impor.
Pada November 2012, misalnya, neraca perdagangan non- migas kita
hanya surplus 900 juta dollar AS, sedangkan dari neraca migas defisit 1,3
miliar dollar. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit
400 juta dollar AS di November 2012 saja.
Sebenarnya ekonom tidak terlalu khawatir dengan defisit neraca
perdagangan atau defisit neraca transaksi berjalan (yang terakhir ini
merupakan penjumlahan dari neraca perdagangan barang dan jasa serta
pendapatan). Ekonom berkeyakinan, selama impor digunakan untuk peningkatan
stok modal nasional, ke depan kapasitas produksi nasional akan meningkat
dan defisit akan bersifat temporer.
Yang merisaukan dari defisit neraca perdagangan Indonesia justru yang
menyebabkan defisit ini, yaitu impor minyak. Minyak menempati 22 persen
nilai impor kita (senilai 39 miliar dollar AS), yang sebagian dipakai untuk
BBM bersubsidi dan listrik bersubsidi. Akibatnya jelas: beban subsidi
energi meningkat dan defisit anggaran membesar. Karena itu, terjadilah
defisit ganda: defisit fiskal dan defisit neraca transaksi berjalan
bersamaan.
Defisit bukanlah sekadar angka di atas kertas. Defisit harus
dibiayai. Dalam konteks defisit fiskal (diperkirakan Rp 153 triliun di APBN
2013), pemerintah harus mencari utang untuk menambal defisit—bila tak mau
mengurangi subsidi BBM. Padahal, saat ini jumlah bunga dan cicilan utang
pemerintah sudah lebih besar daripada jumlah utang baru yang masuk.
Kondisi fiskal yang tidak sehat ini diperburuk dengan defisit neraca
transaksi berjalan, di mana Indonesia harus melego cadangan devisanya untuk
membayar defisit yang terjadi. Sampai kuartal ketiga 2012, defisit neraca
transaksi berjalan ini sudah mencapai 15 miliar dollar AS. Artinya, bila
tak ada aliran modal masuk sama sekali, cadangan devisa harus dilego
sejumlah itu.
Hasil akhir dari dua defisit di atas adalah mulai rapuhnya
kepercayaan pasar pada ekonomi Indonesia, khususnya rupiah. Pasar dapat
melihat nilai rupiah saat ini ditopang arus masuk investasi portofolio.
Namun, investasi jenis ini rentan akan spekulasi dan risiko penarikan
mendadak. Pasar akan melihat bahwa rupiah tak akan berkesinambungan bila
kebijakan harga BBM tetap seperti sekarang. Dengan ekspektasi ini, pasar
akan cenderung memegang dollar AS dan enggan melepaskannya.
Akibatnya, suplai dollar makin cekak, sementara permintaan dollar
(akibat impor minyak dan lainnya) jalan terus. Jadilah cadangan devisa
sebagai penyelamat. Namun, pasar tahu bahwa cadangan devisa kita terbatas.
Bila sudah demikian, semua bergantung pada pemerintah, apakah mau mengubah
ekspektasi pasar atau ”didisiplinkan” oleh pasar seperti tahun 1997.
Pemerintah dan DPR hendaknya jangan bermain-main dengan subsidi BBM.
Pasar akan selalu membaca tanda-tanda, melihat kecenderungan, dan mencari
kesempatan. Lewat logika menghindari kerugian atau mengambil keuntungan,
pasar akan (bersifat) menghukum negara-negara yang secara persisten
melakukan kebijakan yang keliru—tanpa pandang bulu, apakah Amerika, Eropa,
atau Asia.
Cukup sudah wacana pembatasan BBM atau konversi BBM ke bahan bakar
gas dibahas. Pemerintah dan DPR hendaknya sadar bahwa menaikkan harga
adalah sebuah keniscayaan. Semua kembali kepada elite politik: apakah akan
tetap bermain api atau segera memadamkan api, sebelum semuanya terlambat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar