Sabtu, 16 Februari 2013

Bermain Api dengan BBM


Bermain Api dengan BBM
Denni Puspa Purbasari  Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, UGM
KOMPAS, 16 Februari 2013


Meski opini publik telah bergulir cukup deras, pemerintah tampaknya masih enggan menaikkan harga BBM bersubsidi. Keengganan ini boleh jadi karena trauma masa lalu ketika rencana yang sama gagal digolkan di Sidang Paripurna DPR.

Namun, berbeda dengan tahun lalu, di mana pemerintah mengikatkan dirinya untuk tidak mengubah harga BBM dalam APBN 2012, pada APBN 2013 pemerintah dapat menaikkan harga BBM kapan dan berapa pun.

Pemerintah (dan partai-partai koalisi) barangkali khawatir kehilangan pemilih karena mendekati Pemilu 2014. Pilihan ini memang rasional secara politis dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka tak terlalu lama pilihan membiarkan harga BBM seperti sekarang sulit dipertahankan.

Alasannya sederhana: menunda kenaikan BBM sangat mahal dan berisiko bagi perekonomian secara keseluruhan. Ibarat pepatah, pemerintah sedang bermain api dengan BBM, yang berpotensi menghanguskan perekonomian nasional.
Semua berawal dari premium dan solar yang dipatok Rp 4.500 per liter sejak 2009. Ini berarti, secara riil harga keduanya turun karena selama 2009-2012 inflasi telah mencapai 19 persen.

Akibat harga BBM yang murah meriah di satu sisi, dan pertumbuhan kelas menengah di sisi lain, konsumsi BBM melonjak. Statistik mencatat realisasi penjualan BBM bersubsidi meningkat dari 37 juta kiloliter pada 2009 menjadi 45 juta kiloliter pada 2012, atau naik 21,6 persen. Pembiaran ini jelas tak masuk akal jika dihadapkan pada fakta bahwa minyak adalah energi tak terbarukan, dan ketersediaannya dari sumber domestik kian berkurang.

Patut disesalkan bahwa angka- angka subsidi BBM dalam dokumen APBN ternyata hanyalah angka-angka rencana belaka yang mudah untuk direvisi atau dilanggar. Volume subsidi BBM, misalnya, naik dari 40 juta kiloliter pada APBN(P) 2012 menjadi 45 juta kiloliter dalam realisasinya. Bila dilihat dari nilai lebih buruk lagi: dari Rp 123 triliun dalam APBN 2012, jadi Rp 137,4 triliun dalam APBN-P, dan realisasinya membengkak menjadi Rp 211,9 triliun atau 72 persen lebih tinggi dari APBN! Ini merefleksikan buruknya perencanaan, atau tidak realistisnya perencanaan anggaran, atau tidak efektifnya kebijakan penopang yang dilakukan.

Defisit Ganda

Lebih memprihatinkan adalah kenaikan konsumsi BBM ini mendorong tingginya permintaan impor minyak. Selama periode Januari-November 2012 hasil ekspor minyak dan gas kita hangus begitu saja, bahkan tidak cukup untuk membayar impor minyak. Ironisnya, impor minyak ini sebagian besar berwujud hasil minyak, bukan minyak mentah yang kita kilang sendiri.

Itu baru hitung-hitungan dari neraca migas saja. Bila defisit perdagangan migas digabungkan dengan surplus neraca perdagangan non-migas, Indonesia masih tetap saja tekor. Mulai Oktober 2012, neraca perdagangan Indonesia defisit. Artinya, keseluruhan ekspor Indonesia (migas ataupun non-migas) lebih kecil daripada keseluruhan impor.

Pada November 2012, misalnya, neraca perdagangan non- migas kita hanya surplus 900 juta dollar AS, sedangkan dari neraca migas defisit 1,3 miliar dollar. Akibatnya, neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit 400 juta dollar AS di November 2012 saja.
Sebenarnya ekonom tidak terlalu khawatir dengan defisit neraca perdagangan atau defisit neraca transaksi berjalan (yang terakhir ini merupakan penjumlahan dari neraca perdagangan barang dan jasa serta pendapatan). Ekonom berkeyakinan, selama impor digunakan untuk peningkatan stok modal nasional, ke depan kapasitas produksi nasional akan meningkat dan defisit akan bersifat temporer.

Yang merisaukan dari defisit neraca perdagangan Indonesia justru yang menyebabkan defisit ini, yaitu impor minyak. Minyak menempati 22 persen nilai impor kita (senilai 39 miliar dollar AS), yang sebagian dipakai untuk BBM bersubsidi dan listrik bersubsidi. Akibatnya jelas: beban subsidi energi meningkat dan defisit anggaran membesar. Karena itu, terjadilah defisit ganda: defisit fiskal dan defisit neraca transaksi berjalan bersamaan.

Defisit bukanlah sekadar angka di atas kertas. Defisit harus dibiayai. Dalam konteks defisit fiskal (diperkirakan Rp 153 triliun di APBN 2013), pemerintah harus mencari utang untuk menambal defisit—bila tak mau mengurangi subsidi BBM. Padahal, saat ini jumlah bunga dan cicilan utang pemerintah sudah lebih besar daripada jumlah utang baru yang masuk.

Kondisi fiskal yang tidak sehat ini diperburuk dengan defisit neraca transaksi berjalan, di mana Indonesia harus melego cadangan devisanya untuk membayar defisit yang terjadi. Sampai kuartal ketiga 2012, defisit neraca transaksi berjalan ini sudah mencapai 15 miliar dollar AS. Artinya, bila tak ada aliran modal masuk sama sekali, cadangan devisa harus dilego sejumlah itu.

Hasil akhir dari dua defisit di atas adalah mulai rapuhnya kepercayaan pasar pada ekonomi Indonesia, khususnya rupiah. Pasar dapat melihat nilai rupiah saat ini ditopang arus masuk investasi portofolio. Namun, investasi jenis ini rentan akan spekulasi dan risiko penarikan mendadak. Pasar akan melihat bahwa rupiah tak akan berkesinambungan bila kebijakan harga BBM tetap seperti sekarang. Dengan ekspektasi ini, pasar akan cenderung memegang dollar AS dan enggan melepaskannya.

Akibatnya, suplai dollar makin cekak, sementara permintaan dollar (akibat impor minyak dan lainnya) jalan terus. Jadilah cadangan devisa sebagai penyelamat. Namun, pasar tahu bahwa cadangan devisa kita terbatas. Bila sudah demikian, semua bergantung pada pemerintah, apakah mau mengubah ekspektasi pasar atau ”didisiplinkan” oleh pasar seperti tahun 1997.

Pemerintah dan DPR hendaknya jangan bermain-main dengan subsidi BBM. Pasar akan selalu membaca tanda-tanda, melihat kecenderungan, dan mencari kesempatan. Lewat logika menghindari kerugian atau mengambil keuntungan, pasar akan (bersifat) menghukum negara-negara yang secara persisten melakukan kebijakan yang keliru—tanpa pandang bulu, apakah Amerika, Eropa, atau Asia.

Cukup sudah wacana pembatasan BBM atau konversi BBM ke bahan bakar gas dibahas. Pemerintah dan DPR hendaknya sadar bahwa menaikkan harga adalah sebuah keniscayaan. Semua kembali kepada elite politik: apakah akan tetap bermain api atau segera memadamkan api, sebelum semuanya terlambat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar