Rabu, 13 Februari 2013

Rehabilitasi Partai Demokrat


Rehabilitasi Partai Demokrat
Donny Syofyan ;   Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
KORAN TEMPO, 13 Februari 2013


Dalam sebuah konferensi pers pekan lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan akan mengambil tampuk kepemimpinan Partai Demokrat untuk mengembalikan citra partai yang telah dirusak oleh pelbagai skandal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh kader Demokrat sendiri. Sebagai ketua majelis tinggi partai, SBY dan timnya sepakat memberi waktu kepada Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum untuk lebih berfokus pada kasus hukum yang telah menderanya beberapa bulan ini. SBY akan berfokus membangun kembali citra Demokrat dan menegaskan bahwa siapa pun dari kalangan Demokrat yang tidak senang atas keputusannya dipersilakan meninggalkan kendaraan partai.
Survei terbaru yang dirilis oleh Saiful Mujani Research & Consulting mendapati bahwa Partai Demokrat mengalami penurunan elektabilitas secara signifikan hingga 8 persen. Ini amat kontras dibanding angka 20,8 persen suara yang bisa diraup oleh partai tersebut dalam pemilu legislatif 2009. Instabilitas Demokrat selama kepemimpinan Anas, semisal skandal korupsi yang menimpa banyak kadernya, disinyalir memberi kontribusi krusial terhadap anjloknya reputasi Demokrat dalam survei terbaru tersebut.
Di tengah kritik pedas terhadap langkah SBY yang dianggap tidak hanya menabrak aturan organisasi tapi juga dinilai mendahulukan kepentingan partai dibanding negara, sebetulnya hal itu sah-sah saja dan tidak kontraproduktif. Upaya SBY untuk mengembalikan citra Demokrat harus dimulai dengan keseriusan memerangi korupsi dalam tubuh Demokrat, sekecil apa pun langkah-langkah itu. SBY perlu bekerja sama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan mengharuskan petinggi partai melaporkan serta menjelaskan peningkatan kekayaan yang dianggap luar biasa tinggi dibanding gaji resmi yang diperoleh. Ini mewujud sebagai game changer dalam peperangan melawan korupsi. Pada saat yang sama, SBY juga perlu melibatkan kantor perpajakan untuk mengusut fungsionaris partai yang diketahui tidak mematuhi kewajiban membayar pajak.
Korupsi telah melipatgandakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap banyak partai politik, terutama yang lahir selama era reformasi. Skandal yang menimpa kubu Demokrat telah mengubah wujud tokoh-tokoh publik yang dulunya reformis menjadi orang-orang dengan kepribadian ganda. Anas Urbaningrum dan Andi Alifian Mallarangeng-dua figur utama Partai Demokrat dengan dedikasi intelektualisme dan aktivisme luar biasa-ikut tergelincir ke dalam oportunisme politik begitu memegang tampuk kekuasaan. Selaku politikus, mereka sulit melepaskan diri dari perangkap korupsi di tengah keniscayaan pembiayaan partai. Upaya SBY sebagai pemimpin majelis tinggi partai dalam membersihkan Demokrat dari politikus korup amat fungsional menyaring kawanan petualang politik dengan agenda tersembunyi masing-masing.
Keterlibatan politikus Demokrat dalam rentetan kasus korupsi yang memiliki latar belakang pengusaha dan konglomerat, seperti Muhammad Nazaruddin dan Hartati Tjakra Murdaya, terbuhul erat dengan godaan bukan hanya untuk memperkaya diri sendiri, tapi juga untuk memperluas gurita bisnis mereka.
Dalam konteks psikologis, korupsi yang merajalela di tubuh Demokrat juga tak bisa dilepaskan dari menebalnya dinding egoisme dan arogansi politikus Demokrat karena menikmati kemenangan partai merebut suara pemilih dalam dua kali pemilihan legislatif (2004 dan 2009) serta pesona kepribadian Presiden SBY sendiri. Kedua faktor ini telah mengantarkan politikus Demokrat, baik sebagai menteri dalam kabinet pemerintahan maupun selaku anggota parlemen di DPR, merasa berada di atas angin dan memiliki imunitas politik.
Pembenahan citra Demokrat seyogianya tidak mengabaikan kaderisasi kepemimpinan di tubuh partai sendiri. Kegagapan melakukan kaderisasi bakal berdampak bukan hanya rontoknya kepercayaan talenta-talenta muda partai sebagai pemimpin masa depan, tapi juga ketidakmampuan mereka melewati bayang-bayang SBY. Kaderisasi kepemimpinan menjadi sebuah keniscayaan untuk memberangus oligarki politik partai yang gampang tumbuh pada era pasca-Soeharto ini. Kaderisasi kepemimpinan juga menjadi kunci untuk mencegah tumbuhnya personifikasi politik di satu sisi dan membangun kepemimpinan kolektif di tubuh Demokrat di sisi lain. Lanskap masa depan politik negara ini sejatinya terletak pada kepemimpinan kolektif, bukan pada pengkultusan tokoh. Kepemimpinan kolektif berperan penting menumbuh-kembangkan atmosfer dialogis dalam partai, sementara tren politik figuritas hanya akan menyemai benih-benih monologis dan pengkastaan politik ke level yang ekstrem.
SBY perlu mengambil pendekatan yang luar biasa untuk mengatasi korupsi sebagai skandal luar biasa. Untuk itu, SBY bisa mengadopsi corporate culture demi mendapatkan tunas-tunas terbaik untuk perbaikan citra partai dengan memperbaiki sistem rekrutmen. Untuk masa mendatang, Partai Demokrat bisa memulainya dengan menyelenggarakan rekrutmen massal berdasarkan fit and proper test yang ketat. Awan kelabu yang telah dan tengah menerjang Demokrat membuktikan banyaknya elite partai yang bermasalah dan mengacaukan kemenangan pesta demokrasi yang sempat berpihak kepada Demokrat. Apa yang terjadi sekarang adalah orang-orang tertentu yang membawa sekarung uang untuk partai yang berpikir bahwa mereka secara langsung memiliki hak sejarah untuk menduduki posisi puncak dalam menjalankan partai. Efek dari perekrutan yang gagal tersebut bakal menjadi bom waktu yang siap meledak menghancurkan armada Demokrat ini.
Tak kalah pentingnya, SBY perlu terus-menerus mengkonsolidasikan semua sumber daya partai-sumber daya manusia, keuangan, ataupun teknik. Tindakan SBY mengambil tampuk kepemimpinan Partai Demokrat untuk memulihkan citra partai yang dinodai oleh skandal korupsi tentu mendatangkan pro dan kontra. Karena itu, SBY harus memiliki alasan yang kuat untuk meyakinkan kedua belah pihak bahwa keputusannya semata-mata untuk soliditas partai, mengangkat moral kader yang tengah terseok-seok, serta mencegah arus utama politikus kutu loncat dari kalangan Demokrat sendiri. Di atas semua itu, Presiden SBY dan segenap menteri Demokrat di kabinet harus menjauhkan diri dari masalah internal partai seraya tetap terfokus pada tugas-tugas pemerintahan. Betapapun, kepentingan rakyat jauh lebih penting daripada agenda Demokrat sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar