Kamis, 21 Februari 2013

Rapuhnya Demokrat dan Runtuhnya Pemerintahan Presidensial


Rapuhnya Demokrat
dan Runtuhnya Pemerintahan Presidensial
Feri Amsari Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas
MEDIA INDONESIA, 20 Februari 2013


SEPERTINYA `badai' yang menerjang Partai Demokrat (PD) akan segera mereda. Pertikaian yang diduga bakal memanaskan panggung rapat pimpinan nasional (rapimnas) tidak terjadi. Meskipun tanpa kewenangan, Anas Urbaningrum tetap menjadi pucuk pimpinan eksekutif partai segitiga Mercy.

Namun, surutnya badai tak berarti PD sudah berada di jalur aman. Ibarat api dalam sekam, pertikaian masih menyisakan `percik api' yang siap membakar Demokrat. Percik api pertikaian itu akan sangat mudah disulut karena perpecahan di tubuh partai sejatinya memang telah terjadi. `Diakuisisinya' kewenangan ketua partai (baca: Anas) oleh ketua majelis tinggi partai (baca: SBY) merupakan sumber petaka perpecahan. Perpecahan itu tak hanya menciptakan dua matahari kembar, tapi juga menghasilkan dua kubu di tubuh PD.

Matahari kembar tercipta karena pada dasarnya SBY tidak memiliki daya untuk memutus `nadi kuasa' Anas di tubuh PD. Sebab, secara eksternal, hanya Anas yang memiliki legitimasi. Bagaimanapun hanya dengan tanda tangan Anas anggota PD dapat mencalonkan diri untuk ikut Pemilu 2014 di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan kekuatan itu, kubu Anas memiliki senjata penting yang tidak dimiliki SBY yang hanya kuat pada ranah internal PD.

Akibatnya, kondisi tersebut telah menciptakan tarik ulur kepentingan yang luar biasa di antara kubu SBY dan Anas. Secara kasatmata, setelah rapimnas, PD bisa saja terlihat kuat dari luar, tapi sejatinya rapuh dari dalam. Kerapuhan itu akan semakin berimbas kepada tingkat elektabilitas (keterpilihan dalam pemilu) PD yang telah mencapai angka 8,3% berdasarkan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Kondisi rapuh itu akan berujung bencana bagi PD ketika menyongsong tahun politik 2013-2014 ini.

Posisi PD yang rapuh itu tidak saja karena gagalnya Anas mengelola partai, tetapi juga disebabkan tidak matangnya SBY membina kader. Kader PD terlalu banyak yang terlibat korupsi. Hal itu menyebabkan SBY kesulitan mencari kader yang mampu memimpin PD. Miskinnya kader membuat SBY memilih langkah tidak profesional. Presiden memilih untuk merangkap jabatan sebagai `ketua partai'.

Tentu saja, pilihan itu akan berimbas pada fokus kerja SBY. Tak hanya membenahi partai yang berada di ambang kehancuran, SBY juga harus tetap mengelola negara yang menjadi kewajiban konstitusionalnya. Bukan tidak mungkin pilihan untuk mengelola partai sekaligus negara menjadi kealpaan dalam sejarah ketatanegaraan di Tanah Air.

Dua Kealpaan

Ketika SBY memilih untuk mengelola partai sambil memimpin bahtera ne gara, maka tanpa disadari telah terjadi peru bahan sistem pemerintahan. SBY secara tak langsung telah mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi bergaya parlementer. Kondisi yang sama pernah dilakukan Presiden Soekarno yang menata kabinetnya bak sistem pemerintahan campuran ala Prancis, padahal pembentuk UUD 1945 menginginkan sistem presidensial.

Dalam masa revolusi, pilihan Soekarno untuk mengubah sistem pemerintahan bisa saja dibenarkan. Tapi tindakan SBY mengaburkan sistem pemerintahan tentu jauh dari prinsip konstitusional yang telah diatur dalam perubahan UUD 1945. Jamak dipahami, dalam sistem presidensial terjadi pemisah an antara kekuasaan eksekutif dan legislatif (Sri Soemantri, 2003).

Pemisahan kekuasaan tersebut tidak terjadi dalam sistem pemerintahan parlementer. Keberhasilan partai menguasai kursi parlemen berarti ketua partai memimpin pemerintahan. Kondisi sistem pemerintahan parlementer itu terbaca ketika SBY memilih untuk memimpin PD (yang merupakan partai mayoritas di parlemen). Tak ayal lagi telah terjadi percampuran pengelolaan partai dan negara sekaligus di tangan satu orang pemimpin.

Penulis berpendapat bahwa pilihan SBY itu telah menciptakan dua kealpaan. Pertama, SBY telah mengingkari pilihan konstitusi dalam menjalankan sistem pemerintahan. Para pendiri negara dan pelaku perubahan UUD 1945 menyepakati untuk memilih presidensial sebagai sistem pemerintahan (baca: naskah BPUPKI versi M Yamin dan AB Kusuma). Sistem presidensial tidak menghendaki ketua partai politik mayoritas di parlemen memimpin pemerintahan. Pola tersebut diharapkan menciptakan mekanisme pengawasan parlemen (legislatif ) terhadap eksekutif. Pilihan SBY memimpin partai tentu menimbulkan kekaburan konstitusionalitas terhadap model sistem pemerintahan yang dijalankan berdasarkan UUD 1945. Bukan tidak mungkin, langkah SBY di anggap melanggar kon stitusi.

Kealpaan kedua, SBY telah menyebabkan kabinet gamang. Apa lagi SBY telah memerintahkan para menteri kabinetnya untuk berkonsentrasi pada kinerja pemerintahan. Setiap menteri diminta tidak melakukan langkah-langkah partai meskipun tahun politik Pemilu 2014 sudah dekat. Para menteri tentu saja bimbang karena pemberi komando telah mengingkari perintahnya sendiri. Bagi para menteri yang partainya berbeda dengan SBY, kealpaan ini menjadi kesempatan untuk mengabaikan perintah Presiden. Jika kabinet tidak lagi mengurus negara dan rakyatnya, sulit bagi SBY menampik tuduhan bahwa Indonesia merupakan `negara autopilot'.

Partai atau Negara

Saat ini, pilihan SBY hanya dua. Tetap berkonsentrasi membenahi partai atau fokus mengelola negara. Jika hendak mengelola partai, SBY harus berani mundur dari jabatan presiden. Sebab, tidak wajar dalam sistem presidensial apabila ketua partai juga merangkap mengelola negara. Manuel L Quezon (1878-1944) menyederhanakannya dengan ungkapan `bahwa pengabdian terhadap partai berakhir ketika pengabdian pada negara dimulai'.

Ringkasnya, SBY tidak diperkenankan mengabaikan negara demi menyelamatkan partainya meskipun sedang mengalami keguncangan. Jika dirasa penyelamatan partai perlu tapi tak mau meninggalkan jabatan presiden, SBY harus berani mengganti Anas melalui kongres luar biasa (KLB). Namun sayangnya, kebimbangan selalu menjadi langkah politik SBY. Acap kali terlihat bahwa SBY hanya dapat tegas sesaat. Selebihnya, mantan jenderal TNI itu sering terperangkap dalam kebimbangan pilihan politiknya sendiri.

Jika kebimbangan itu terus terjadi, bukan tidak mungkin kerapuhan di tubuh PD akan menjadi kehancuran bagi sistem presidensial. Bahkan bukan tidak mungkin akan menjadi kehancuran bagi Indonesia! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar