INTERVENSI Presiden Susilo Bambang Yudho yono dalam
`mengatasi' prahara internal Partai Demokrat menimbulkan multiplier effect (efek ganda).
Selain tak ada jaminan bakal terdongkraknya elektabilitas partai yang
terpuruk di level 8,3% versi lembaga Saiful
Mujani Research and Consulting (SMRC), kesibukan SBY meredam gejolak di
partainya itu menuai gugatan publik terkait dengan komitmennya sebagai
kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Kenyataan semacam itu setidaknya bisa dibaca dari hasil survei
terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Sebanyak 68,42% publik skeptis
terhadap kinerja SBY dalam mengemban amanah kenegaraan di sisa masa
baktinya.
Hanya 24,29% publik yang menilai SBY tetap bisa fokus menjalankan tugasnya
sebagai presiden. Begitu pula hanya 27,31% publik yang yakin SBY dapat mengembalikan
dukungan ke Partai Demokrat di Pemilu 2014 mendatang. Sebaliknya, 60,38%
publik ragu langkah SBY tersebut bisa memperbaiki elektabilitas partai.
Meski bukan hal yang mengejutkan, hasil survei itu semakin mengonfirmasi trust publik, khususnya kepada SBY
dan Demokrat, kini benar-benar tengah berada di titik nadir. Salah satu
penyebabnya ialah ketika Presiden kerap bertindak bukan sebagai negarawan,
melainkan politikus.
Tanggung jawab politik (political accountability) ke partai ditempatkan sebagai
kepentingan tertinggi di atas tanggung jawab ke publik (public accountability).
Partai bukan lagi sebagai alat bagi pencapaian kemaslahatan bersama,
melainkan hanya untuk memenuhi syahwat kekuasaan. Sebagaimana adagium le
parti c'est moi (partai adalah saya), setiap kekuatan yang merongrong
partai dini lai ancaman bagi eksistensi diri seorang politikus.
Tidak Konsisten
Sebagai pendiri sekaligus figur sentral, SBY memang berhak membenahi
kemelut di tubuh partainya. Namun, langkah `tanggap darurat' SBY itu telah
menjadi konsumsi publik. Pernyataan apa pun yang keluar di luar konteks
kepentingan bangsa dan negara akan bersinggungan langsung dengan persepsi
publik. Padahal, kisruh Demokrat bukanlah kisruh negara yang menuntut harus
ditangani secara serius. Harus jujur dikatakan, langkah yang serupa jarang
sekali diperlihatkan SBY ketika menghadapi sejumlah persoalan krusial,
seperti korupsi, narkoba, serta konflik sektarian yang jelas menggerogoti
sendisendi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Itulah barang kali gambaran inkonsistensi SBY. Bagaimana tidak,
beberapa waktu lalu (28/1), dalam acara pembekalan rapat kerja pemerintah
2013, SBY memperingatkan para menteri dari parpol agar tidak sibuk
melakukan kegiatan-kegiatan politik menjelang Pemilu 2014. Namun, lagilagi
untuk kesekian kalinya SBY melangkahi ucapannya itu. Alih-alih
mengefektifkan kinerja pemerintahan, SBY justru larut dalam urusan internal
partainya sendiri, seolah-olah tidak ada urusan ne gara yang lebih penting
di luar persoalan kemelut partai yang mengantarkannya menjadi presiden
untuk dua periode itu. Tak mengherankan jika kemudian muncul persepsi bahwa
langkah SBY tersebut merupakan bentuk penyalah gunaan kekuasaan.
Penyalahgunaan kekuasaan di sini tentu tidak hanya terbatas pada
korupsi, tetapi juga mencakup pula penggunaan fasilitas negara bahkan jam
kerja yang memang di luar kontrol publik. Memang tidak mudah untuk
menyelaraskan tuntutan akuntabilitas publik dengan politik (partai).
Namun, secara konstitusional SBY ialah presiden RI, bukan presiden
partai. Basis legitimasi seorang presiden bersumber dari rakyat, bukan
partai, karena pengangkatannya dipilih langsung secara demokratis sesuai
dengan representasi dan keinginan rakyat. Untuk itu, rakyat berhak
mempersoalkan, bahkan menggugat, seorang presiden ketika dinilai abai
terhadap tanggung jawab publik dan lebih mementingkan urusan partai.
Tanggung Jawab Etis
Ketidakjelasan secara etis tindakan politik presiden itu membuat
keadaban publik mengalami kehancuran. Wajah masa depan bangsa semakin kabur
karena fungsi etis tidak dijadikan acuan dalam kehidupan politik. Etika
politik di sini bukanlah sekadar imbauan moral yang naif bila dikaitkan
dengan kehidupan politik praktis. Etika politik digunakan untuk membatasi
tindakan mana yang harus dikedepankan atau dipilih seorang pejabat publik.
Di dalam setiap kekuasaan, terkandung secara inheren tanggung jawab etis
untuk berbuat sesuai dengan tuntutan jabatan demi kepentingan umum.
Langkah SBY yang membagi waktu antara mengurus negara dan partai
tentu patut diapresiasi. Namun, menurut Kastorius Sinaga (2008), tindakan
sebagai seorang presiden jauh lebih elegan jika didasarkan pada, pertama,
prinsip kehatihatian (principle of
prudence). Itu sebuah prinsip yang `mempertanyakan' secara kritis latar
belakang berikut `pemihakan' dari sebuah tindakan politik.
Kedua ialah prinsip tata kelola (principle
of governance). Prinsip itu menyangkut pengukuran terhadap
standar-standar di dalam menentukan sebuah tindakan politik. Kesadaran akan
pentingnya akuntabilitas publik, transparansi, dan solidaritas kolektif
secara otomatis akan melahirkan perilaku dan keputusan yang jauh lebih
etis.
Ketiga ialah prinsip rasional (principle
of rational), yakni menimbang secara saksama manfaat dan biaya (cost and benefit) dari sebuah
tindakan dalam rangka kepentingan umum. Sebuah tindakan yang memiliki motif
untuk `memihak' kepada kepentingan umum jauh lebih etis jika dibandingkan
dengan tindakan yang hanya untuk melayani kepentingan pribadi ataupun
kepentingan partai. Sebenarnya partai berfungsi sebatas perantara dalam
pengambilan keputusan bernegara yang menghubungkan warga dan
institusi-institusi kenegaraan. Partai merupakan sarana politik untuk
membentuk kemauan kolektif.
Presiden pertama Filipina Manuel L Quezon (1878-1944) telah
mengingatkan, sebagaimana yang sering dikutip Presiden ke-35 Amerika
Serikat John F Kennedy, “My loyalty
to my party ends where my loyalty to my country begins.“ (Loyalitas politikus terhadap partai
berakhir ketika pengabdiannya terhadap negara dimulai.) Itu sebuah
ungkapan yang menyiratkan pentingnya komitmen kenegarawanan seorang pejabat
publik, termasuk presiden. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar