Plus Minus
Redenominasi
Nugroho SBM ; Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB)
Universitas
Diponegoro
|
|
SUARA
MERDEKA, 07 Februari 2013
AKHIR-AKHIR ini berkembang
diskusi di tengah masyarakat tentang rencana penyederhanaan nilai nominal
rupiah, yang lebih dikenal dengan istilah redenominasi rupiah. Parlemen
hingga saat ini masih menggodok regulasi mengenai kebijakan itu. Pemerintah
dan Bank Indonesia (BI) berharap regulasi itu bisa disetujui paling lambat
akhir 2013.
Kekhawatiran
utama masyarakat terhadap kebijakan redenominasi rupiah ini adalah karena
mereka menyamakan kebijakan ini dengan pemotongan nilai uang atau sanering,
seperti dilakukan pemerintah pada 1965. Ketika itu terjadi inflasi
tinggi sehingga pemerintah ’’memotong’’ uang dari Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Tetapi
sebenarnya ada perbedaan mendasar antara sanering dan redenominasi. Pada
kebijakan sanering, nilai nominal uang rupiah disederhanakan tetapi
harga-harga tetap. Tidak salah bila ada anggapan kebijakan sanering
mempunyai dampak ’’memiskinkan’’ mereka yang kekayaannya sebagian besar
berupa uang tunai.
Sebaliknya,
dalam kebijakan redenominasi, nilai nominal rupiah disederhanakan (menurut
rencana 3 nol di belakang dihilangkan, jadi uang lama Rp 1.000 nantinya
akan menjadi Rp 1 uang baru) tetapi juga diikuti dengan penyederhanaan
harga-harga. Jadi secara teoritis, redenominasi tidak menimbulkan kerugian
bagi masyarakat. Namun, itu teoritis. Praktiknya bisa berbeda sehingga
tetap menimbulkan ’’kerugian’’, dan saya termasuk yang tidak setuju
bila redenominasi dilaksanakan.
Pertimbangan Sepele
Sebenarnya,
jika dicermati maka alasan yang dikemukakan oleh pemerintah dan BI seperti
dimuat berbagai media massa sangatlah sederhana. Pertama; gengsi atau
perasaan malu karena dengan nominal yang besar maka nilai tukar rupiah
terhadap mata uang asing (negara lain) menjadi sangat rendah. Padahal
Indonesia saat ini dianggap sebagai negara besar dengan pasar yang
potensial dan termasuk 16 negara besar di forum G20. Hal ini pernah
dikemukakan oleh seorang pejabat di BI.
Kedua; alat
hitung seperti kalkulator banyak yang sudah tidak bisa menampung digit
nominal rupiah sehingga akan menyulitkan perhitungan dan transaksi bisnis
dalam jumlah besar. Ketiga; BI dan pemerintah sendiri berkepentingan.
Menkeu Agus Martowardoyo, seperti dikutip sebuah media massa
menyatakan bahwa kantornya merasakan kesulitan jika harus mentransfer uang
di atas Rp 10 triliun. Transfer tersebut harus dibagi ke dalam besaran Rp 5
triliunan. Akibatnya waktu transfer menjadi lebih lama.
Dari sisi
pertimbangan redenominasi yang sepele tersebut kita bisa mengkritisinya.
Misalnya, berapa jumlah orang Indonesia yang melakukan transaksi dengan
nominal besar? Bukankah sebagian besar orang Indonesia masih bertransaksi
dalam nominal yang kecil?
Dari sisi
sejarah dan pengalaman negara lain, redenominasi biasanya dilakukan pada
saat perekonomian mengalami inflasi tinggi atau hyper inflation. Tetapi semua orang juga tahu bahwa saat ini
inflasi di Indonesia relatif rendah atau moderat karena masih di bawah 10
persen. Jadi mengapa pemerintah menggagas untuk meredenominasi rupiah?
Dari pertimbangan yang sepele
tersebut, dampak yang ditimbulkan oleh kebijakan redenominasi tidaklah
sesepele pertimbangannya, alias sangat besar. Pertama; dampak psikologis
dari masyarakat, khususnya masyarakat kecil. Masyarakat kecil pasti merasa
panik menghadapi kebijakan ini.
Hal ini wajar
karena kekayaan mereka, sebagian besar atau bahkan seluruhnya, berbentuk
uang tunai. Mereka khawatir harta satu-satunya tersebut akan hilang
seperti halnya kebijakan sanering pada 1965.
Memicu Inflasi
Kedua;
kebijakan redenominasi justru akan mendorong kenaikan harga. Kenaikan harga
tersebut didorong oleh tindakan pengusaha yang membulatkan harga barangnya.
Ilustrasinya adalah jika semula harga barang Rp 7.500 maka dalam
harga baru setelah redenominasi mestinya adalah Rp 7,5.
Namun kemungkinan
besar untuk mempermudah, atau bahkan memanfaatkan kesempatan yang ada,
pengusaha akan memasang harga baru Rp 8. Hal ini tentu akan memicu inflasi.
Pemerintah memang bisa melakukan tindakan pengawasan untuk menertibkan
pengusaha nakal seperti itu tetapi biayanya sangat mahal dan membutuhkan
banyak sekali tenaga kerja.
Ketiga; bagi
pengusaha maka kebijakan redenominasi akan menambah biaya untuk mengganti
daftar harga barang. Keempat; biaya untuk melakukan redenominasi tentu akan
sangat besar. Biaya tersebut meliputi biaya sosialisasi, pengawasan, dan
pencetakan uang baru, yang sangat besar. Hal ini lagi-lagi akan memicu
tingkat inflasi. Atas dasar dampak yang besar yang tidak bisa
dianggap sepele tersebut maka saya termasuk yang tidak setuju dengan
kebijakan redenominasi rupiah. Angka nominal rupiah yang terlalu besar
sebenarnya menunjukkan kegagalan BI menjaga nilai rupiah, baik dalam arti
daya belinya maupun nilai tukarnya.
Maka menurut
saya lebih baik BI bekerja sama dengan pemerintah menjaga agar nilai rupiah
tetap terjaga. Bank Indonesia harus bisa keluar dari kebijakan
konvensional, semisal menjaga BI rate untuk menciptakan kebijakan-kebijakan
nonkonvensional yang kreatif. ●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar