Jumat, 08 Februari 2013

Belanja Mitigasi Bencana Daerah


Belanja Mitigasi Bencana Daerah
Gunawan Setiyaji ;  Pengamat Ekonomi Bidang Fiskal,
Master Bidang Kebijakan Ekonomi dari the Australian National University (ANU)
SUARA MERDEKA, 07 Februari 2013


BENCANA banjir yang melanda sejumlah daerah, terutama DKI Jakarta, memberikan peringatan pada sejumlah daerah tentang perlunya menganggarkan pos belanja mitigasi bencana melalui APBD. Bencana tidak hanya berupa banjir, tetapi juga pengalaman seperti tsunami yang melanda Aceh Nanggroe Darussalam pada pengujung 2004 dan gempa bumi di sejumlah daerah yang berdampak sangat fatal, seperti di Yogyakarta pada Mei 2006 dan di Padang pada September 2009. 

Respons sejumlah pemda terhadap kebijakan fiskal terkait mitigasi bencana alam di negeri ini masih jauh dari memadai. Pemprov DKI Jakarta sebagai contoh, tidak mengalokasikan dana khusus untuk mengantisipasi bencana. Ini sungguh aneh mengingat Jakarta adalah provinsi dengan tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi. 

Hingga saat ini baru dua provinsi yang memasukkan anggaran penanggulangan bencana dalam APBD, yaitu Jabar dan Jatim, keduanya mengalokasikan dana secara khusus untuk mitigasi bencana Rp 100 miliar. Sementara daerah lain bila pun menganggarkan hanya mengalokasikannya pada pos belanja tidak terduga yang pemakaiannya bisa menyimpang dari tujuan mitigasi.

Berkaca dari pengalaman ini, kini saatnya sejumlah daerah dengan tingkat kerawanan bencana yang tinggi memikirkan penganggaran untuk mitigasi bencana. Secara umum perlu dipahami bahwa tidak mungkin bagi setiap daerah mengharapkan pusat menalangi keseluruhan biaya bila terjadi bencana alam, apalagi manajemen mitigasi tidak dapat dikendalikan secara menyeluruh oleh pemerintah pusat. 

Ditinjau dari segi keuangan publik, permasalahan ini juga telah diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan PP Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. Dalam hal ini telah diatur tanggung jawab tiap pihak antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jelaslah bahwa menurut UU, pemda harus mengalokasikan dana penanggulangan bencana melalui APBD yang memadai.

Pembagian wewenang dan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebenarnya cukup jelas. Bagaimanapun pemerintah pusat telah menggariskan bahwa skala bencana akan ditangani secara proporsional, sedangkan pemerintah daerah sebagai penanggung jawab utama harus mengalokasikan kebijakan yang memadai dengan tidak semata-mata mengandalkan tindakan dan pembiayaan dari pusat. 

Secara umum, manajemen keuangan daerah perlu mengantisipasi masalah ini dalam kerangka kebijakan integral. Setidak-tidaknya tiap daerah perlu merumuskan tindak lanjut dari UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana  dengan membuat kebijakan yang baik. 

Untuk itu, dari sudut pandang manajemen publik, tiap pemda, baik provinsi maupun kabupaten/ kota harus mengantisipasi 5 aspek penting, yaitu assessment risiko, pembangunan kapasitas institusi, investasi pada pengurangan risiko, persiapan kondisi darurat dan pengalokasian dana bencana berikut pembiayaannya. 

Asuransi Bencana

Secara khusus mungkin perlu diberikan perhatian lebih pada aspek keuangan daerah dalam alokasi belanja dan pembiayaan mitigasi bencana. Dalam kenyataannya, sejumlah pemda melakukan alokasi tradisional berupa belanja asuransi bencana. Sebagai contoh adalah Pemprov Sumbar yang mengasuransikan kekayaan daerah dari kemungkinan gempa bumi sejak 2008. 

Dengan mata anggaran ’’Belanja Asuransi atas Aset-Aset Pemda’’ sebesar Rp 200 juta mereka dapat mengklaim dana asuransi Rp 20 miliar pada Mei 2010 atau hanya 7 bulan sesudah gempa bumi terjadi. Demikian juga DIY yang mengasuransikan aset-aset publik sejak 2003, sesudah gempa bumi 2006 menerima pembayaran Rp 3,4 miliar yang merupakan 14 kali premi tahunan yang dibayarkan. Jumlah ini tentu tidak memadai dibanding kerugian Yogyakarta yang mencapai lebih dari Rp 29 triliun.

Sejumlah inisiatif dari sebagian kecil pemda dengan menciptakan belanja asuransi untuk mengantisipasi risiko fiskal daerah akibat bencana mungkin merupakan contoh baik yang bisa diadopsi daerah lain. Meski demikian, terdapat pro dan kontra secara keuangan negara. Dalam UU mengenai keuangan negara dan anggaran, memang tidak ada pengaturan yang secara eksplisit tidak memperbolehkan asuransi. 

Untuk itu, pendanaan mitigasi bencana dalam skema ex-ante yang mengantisipasi sejak dini terjadinya bencana alam perlu dipikirkan, yaitu mengalokasikan belanja daerah terkait sebelum terjadi bencana. Skema ini adalah format yang paling sesuai dengan pola yang dianut dalam kebijakan manajemen mitigasi bencana, yaitu mengurangi risiko fiskal daerah yang dapat timbul karena bencana. 

Kalangan perumus kebijakan di tiap daerah perlu menyiapkan infrastruktur legal agar aspek pendanaan ini dapat diciptakan secara memadai sesuai ketentuan keuangan negara. Masalah asuransi cukup krusial, dalam hal ini yang sesuai dengan ketentuan keuangan negara adalah bentuk asuransi itu mungkin bisa berupa self insurance, unit-link insurance, atau local disaster insurance, namun semuanya harus merupakan pembayaran yang dapat diakumulasikan dan mencakup kepentingan publik secara umum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar