Jumat, 08 Februari 2013

Korupsi dan Peran “Civil Society”


Korupsi dan Peran “Civil Society”
Fajar Kurniarto ;  Peneliti Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK)
Universitas Paramadina Jakarta
SINAR HARAPAN, 07 Februari 2013


Cerita korupsi di negeri ini belum juga usai. Dari mulai Century, Wisma Atlet, Hambalang, rekening gendut pejabat Polri dan simulator SIM di Polri, pengadaan Alquran, hingga yang terbaru terkait impor daging sapi. Pelakunya bukan hanya dari kalangan pejabat pemerintah, tapi juga aparat penegak hukum, anggota parlemen dan kader partai. Di semua lembaga pemerintah, baik itu di eksekutif, yudikatif, maupun legislatif terjadi korupsi. Dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah ke bawah.

Korupsi merupakan kejahatan besar yang perlu ditangani dengan cara-cara luar biasa. Pada bagian Menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dinyatakan, “Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.”

Vito Tanzi dalam bukunya Policies, Institutions and The Dark Side of Economics (2000), mendeskripsikan dampak kualitatif dan kuantitatif korupsi di sektor ekonomi. Dampak kualitatif di antaranya pertama, menurunkan kemampuan pemerintah dalam menerapkan kontrol dan melakukan pengawasan untuk memperbaiki kegagalan pasar. Kedua, mendistorsi insentif, karena individu cenderung memburu rente ketimbang melakukan aktivitas yang produktif. Ketiga, merupakan pajak tambahan yang harus dibayar dan ongkos korupsi semakin membesar jika terdesentralisasi. Keempat, mereduksi peran fundamental pemerintah, terutama untuk menegakkan kontrak dan kesepakatan hukum, melindungi hak milik, dan seterusnya. Kelima, menurunkan legitimasi ekonomi pasar dan demokrasi. Keenam, meningkatkan kemiskinan, karena menurunkan potensi pendapatan orang miskin.

Sementara itu, dampak korupsi di sektor ekonomi berdasarkan studi kuantitatif di antaranya pertama, mereduksi investasi dengan konsekuensi mereduksi tingkat pertumbuhan. Kedua, menurunkan belanja pendidikan dan kesehatan, karena belanja publik ini tidak memberi keuntungan langsung kepada si pembuat anggaran. Ketiga, meningkatkan investasi publik, karena proyek ini membuka peluang korupsi dalam bentuk suap kepada pejabat tinggi. Keempat, menurunkan anggaran belanja operasional dan pemeliharaan infrastruktur. Kelima, menurunkan produktivitas investasi publik dan infrastruktur suatu negara. Keenam, menurunkan penerimaan pajak. Ketujuh, menurunkan investasi langsung, karena korupsi merupakan pajak tambahan.

Menurut Bank Dunia, korupsi akan melemahkan kemampuan negara dalam menyediakan barang publik dasar, pelayanan publik yang esensial dan menegakkan aturan yang membuat masyarakat bisa berfungsi dengan efektif. 

Korupsi menjadi pajak tambahan yang harus ditanggung orang miskin, menciptakan risiko makroekonomi yang besar, mengancam stabilitas finansial, mengompromikan keamanan untuk rakyat dan hukum, serta menurunkan legitimasi dan kredibilitas pemerintah di mata rakyat. Korupsi adalah ancaman signifikan terhadap keberhasilan transisi ekonomi dan politik di Indonesia. 

Korupsi adalah jenis kejahatan yang oleh Mancur Olson seperti dikutip Bank Dunia disebut dengan “roving bandit versus stationary bandit”. Korupsi dianalogikan seperti bandit yang menjarah harta penduduk desa. Penjarahan roving bandit dilakukan dengan cara mengisap hingga tuntas seluruh sumber daya yang ada di area yang dikuasai. Ketika sumber daya di wilayah itu habis, mereka pindah mencari wilayah jarahan baru. Dengan demikian, roving bandit terus-menerus bergerak dari satu wilayah ke wilayah yang lain.

Stationary bandit sebaliknya. Ia justru cenderung berdiam diri di satu wilayah atau desa. Bandit ini tidak menghabiskan seluruh sumber daya desa tersebut. Bahkan, dia atau mereka membiarkan warga atau penduduk di wilayah yang dikuasai melakukan aktivitas seperti biasa. Bandit tidak mengambil seluruh sumber daya, melainkan mengambil setoran dari penduduk yang mereka kuasai. Mereka justru bertindak dan berperan sebagai pelindung agar penduduk dapat terus-menerus memberikan upeti.

Peran “Civil Society”
Korupsi, seperti disebutkan dalam UU, merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, pemberantasan korupsi mutlak memerlukan dukungan dari masyarakat atau civil society termasuk di dalamnya lembaga-lembaga swadaya masyarakat maupun para aktivis antikorupsi. Bukan hanya dukungan terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi, tapi juga melakukan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak yang berkewajiban memberantas korupsi untuk serius dan tegas menjalankan fungsinya. Dalam hal ini, pemerintah yang direpresentasikan oleh KPK dan aparat penegak hukum, baik di kepolisian maupun pengadilan.

Muncul, tumbuh dan kian kuatnya dukungan dan tekanan masyarakat sangat dimungkinkan di tengah alam demokrasi seperti saat ini yang menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat. Selain itu, dengan berbagai kemajuan di bidang teknologi terutama media massa dan jaringan internet yang di dalamnya begitu banyak jejaring sosial yang memungkinkan masyarakat semakin cepat mengetahui pelbagai isu korupsi dan perkembangan kasus hukum di pengadilan terkait korupsi yang terjadi di negeri ini. Saat ini, masyarakat relatif lebih mudah mengambil peran penting dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi.

Masyarakat tidak bisa lagi menyerahkan tanggung jawab pemberantasan korupsi semata-mata hanya kepada KPK. Meskipun KPK merupakan lembaga independen yang dibentuk pemerintah, itu tidak menjamin KPK benar-benar steril dari intervensi atau kooptasi pihak-pihak tertentu yang tidak ingin kepentingannya terusik. Apalagi, jika pihak-pihak itu punya akses yang sangat dekat dengan kekuasaan. Kekuatan civil society akan dapat memantau KPK agar tetap independen, sekaligus menjadi kekuatan besar yang berdiri di belakang KPK. Demi Indonesia yang bebas korupsi, sepenuhnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar