Aroma bau busuk korupsi kembali tercium dari partai politik
Indonesia. Kali ini bau busuk itu berasal dari Partai Keadilan Sejahtera
(PKS). Bak petir di siang hari,Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
menetapkan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka atas kasus
dugaan suap impor daging sapi.
Penetapan
status tersangka tersebut tentu sangat merugikan citra partai dakwah di
mata publik menjelang pemilu legislatif tahun 2014. Apalagi, status
tersangka diberikan kepada pejabat di level tertinggi kepengurusan partai.
Selama ini, PKS selalu membanggakan diri sebagai partai bersih karena tidak
ada satu pun kader mereka yang tersangkut kasus korupsi. Namun, citra itu
kini tercoreng dengan penetapan Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka.
Luthfi Hasan
Ishaaq merupakan politikus kedua yang ditetapkan sebagai tersangka kasus
tindak pidana korupsi oleh KPK dalam kurun waktu dua bulan terakhir.
Sebelumnya, politikus Partai Demokrat Andi Mallarangeng terlebih dahulu ditetapkan
sebagai tersangka kasus korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang. Kasus
korupsi pembangunan pusat olahraga Hambalang dan kasus suap impor daging
sapi merupakan contoh dari sekian banyak kasus korupsi yang
dilatarbelakangi perburuan rente partai.
Belum lagi jika
kita melihat kasus-kasus korupsi yang melibatkan politisi di lingkungan
legislatif (DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota) maupun eksekutif
(menteri, gubernur, dan bupati/wali kota). Tidak dapat dipungkiri kebutuhan
partai politik terhadap dana besar agar bisa memenangkan pemilu telah
mendorong para politisi untuk berlaku koruptif.
Ketika partai
politik menjadi mesin pemilu, partai politik membutuhkan sumber pendanaan
besar agar mesin politik dapat berfungsi secara maksimal dalam mendulang
suara pemilih. Partai politik harus mencari cara agar eksistensi mereka
tetap terjaga baik dalam masyarakat dan mampu meraih suara signifikan dalam
pemilu. Awalnya partai politik menarik sumbangan dari para anggota mereka
melalui iuran.
Namun seiring
dengan kian mahalnya biaya operasional dan kampanye pemilu, partai politik
mulai mencari donasi dari lingkungan eksternal. Kini hampir seluruh partai
politik di banyak negara mengandalkan sumber dana dari sumbangan dari
perseorangan dan perusahaan untuk membiayai kegiatan operasional dan
kampanye pemilu.
Dalam situasi
seperti itu, partai politik menghadapi masalah kemandirian, sebab pengaruh
pihak penyumbang berpotensi mengubah haluan perjuangan partai politik
bersangkutan sehingga menomorduakan kepentingan anggota, pemilih, atau
rakyat. Masuknya dana besar ke partai politik dari para penyumbang itu
tentu bukan donasi biasa tanpa tuntutan imbal balik.
Dapat
dipastikan para penyumbang berharap adanya keuntungan yang akan didapatkan
dari partai politik melalui pengambilan kebijakan atau penggunaan wewenang
lain, yang dimiliki para kader partai politik yang diduduk di legislatif
maupun eksekutif. Pada titik inilah sumbangan keuangan partai politik perlu
diatur demi menjaga kemandirian partai politik untuk memperjuangkan
kepentingan pemilih atau rakyat, bukan memperjuangkan kepentingan para
penyumbang.
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008,memang telah
mengatur sumber keuangan partai politik.Ada tiga sumber keuangan partai
politik.
Pertama, iuran
anggota partai politik bersangkutan. Jumlah besaran iuran ditentukan secara
internal oleh partai politik.Tidak ada jumlah tertentu yang diharuskan undangundang
mengenai besaran iuran anggota. Namun, tidak banyak partai politik yang
menjalankan mekanisme ini secara teratur. Pengumpulan iuran anggota sulit
dilakukan secara teratur. Kedua, sumbangan yang sah menurut hukum.
Terkait hal
ini, Pasal 35 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 memaparkan tiga sumbangan
yang dimaksud: (1) perseorangan anggota partai politik yang pelaksanaannya
diatur dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; (2) perseorangan
bukan anggota partai politik paling banyak senilai Rp1 miliar per orang
dalam waktu satu tahun anggaran, dan (3) perusahaan dan/atau badan usaha, paling
banyak senilai Rp7,5 miliar per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu
satu tahun anggaran.
Ketiga, bantuan
keuangan dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan
belanja Daerah (APBD). Bantuan keuangan dari APBN/APBD diberikan secara
proporsional kepada partai politik yang mendapatkan kursi di DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan didasarkan pada jumlah perolehan
suara.
Akan
tetapi,karena agenda politik setiap partai politik sangat banyak—pemilu
legislatif, pemilihan presiden, dan pemilihan umum kepala daerah— yang
memerlukan dana sangat besar, maka sumber keuangan partai politik
sebagaimana diatur dalam undangundang di atas tidak mencukupi dan memadai.
Biaya politik yang sangat mahal mendorong partai politik berlombalomba
untuk memperebutkan sumber-sumber uang di pemerintahan.
Uang negara
dipandang sebagai sumber uang tambahan yang sangat potensial. Partai
politik pun mulai melakukan perburuan rente melalui kader-kader mereka di
lembaga legislatif, eksekutif, maupun mengambil dana dari
perusahaan-perusahaan. Perburuan rente yang dilakukan partai politik ini
jelas merugikan rakyat karena menggerogoti kebijakan dan anggaran negara
melalui pemanfaatan jabatan atau akses politik.
Secara umum,
ada tiga modus utama perburuan rente yang dilakukan partai politik.
Pertama, melalui lembaga legislatif (DPR/DPRD). Modus ini dapat berupa: (1)
candidacy buying dalam seleksi
anggota DPR/DPRD; (2) menguasai komisi-komisi strategis dan badan anggaran;
(3) membajak kebijakan dan anggaran; (4) transaksi dalam pemilihan pejabat
publik, dan (5) transaksi dalam legislasi.
Kedua, melalui
lembaga eksekutif. Partai politik menempatkan kader-kader mereka di
kementerian, badan usaha milik negara (BUMN), dan institusi pemerintahan
yang memiliki akses dana besar. Selain itu, modus ini juga dilakukan partai
politik dengan cara mendorong kader mereka untuk menjadi kepala daerah atau
menyewakan partai sebagai kendaraan politik dalam pemilihan umum kepala daerah
kepada kandidat tertentu yang memiliki dana besar dengan harga fantastis.
Ketiga, melalui
pengusahapengusaha. Pengusaha diminta memberikan sumbangan untuk kegiatan
operasional dan kampanye sebuah partai politik. Kemudian, para pengusaha
ini diberikan imbalan berupa kemudahan mendapatkan akses proyek-proyek
pemerintah sehingga mendorong terjadinya korupsi. Kontrol publik yang
terbatas serta ketiadaan transparansi dan akuntabilitas semakin menguatkan
persekongkolan para elite politik.
Aspek
transparansi memang menjadi persoalan utama dalam hal praktek pendanaan
partai politik di Indonesia. Akibat ketiadaan transparansi keuangan partai
politik,publik pun tidak dapat mengetahui siapa saja pihak penyumbang,
berapa besar sumbangan, dan seberapa besar sumbangan itu kelak berpengaruh
terhadap partai politik dan kandidat bersangkutan. Karena itu, diperlukan
langkah perbaikan terkait masalah keuangan partai politik.
Langkah itu
tidak lain berupa reformasi keuangan partai politik yang mencakup tiga hal,
yaitu reformasi sumber keuangan partai politik, reformasi pengelolaan
keuangan partai politik agar transparan dan akuntabel, dan reformasi
pengeluaran keuangan partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar