Berita ditetapkannya tersangka suap Presiden Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK pada Kamis (31/1) terkait
pengurusan proyek impor daging sapi, begitu mengagetkan publik.
Betapa tidak,
PKS merupakan salah satu partai politik (parpol) yang selama ini selalu
mendengungkan tagline “bersih dan jujur”. Tanpa bermaksud mengabaikan asas
praduga tak bersalah karena harus dibuktikan di pengadilan, kejadian itu
akan semakin membuat rakyat gamang. Siapa lagi yang dipercaya bebas dari
godaan korupsi di negeri ini.
Sesaat setelah
empat orang tertangkap tangan yang diduga akan menyerahkan uang Rp1 miliar,
Luthfi dijemput dan dibawa oleh tim penyidik ke gedung KPK. Bahkan,
penyidik melakukan penggeledahan di ruangan Luthfi di kantor PKS. KPK juga
menyegel Kantor Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian. Menurut Juru
Bicara KPK Johan Budi, KPK sudah menemukan bukti permulaan yang cukup (dua
alat bukti) sehingga yang bersangkutan dijadikan tersangka.
Langkah
cepat KPK patut diapresiasi, meski masih bisa diperdebatkan soal prosedur
penjemputan dengan surat panggilan yang tidak didahului pemanggilan
pertama, tetapi langsung dijemput yang biasanya dilakukan jika yang
dipanggil tidak hadir selama dua kali panggilan tanpa alasan yang
dibenarkan undang-undang. Itu sebabnya penasihat hukum Luthfi menuding KPK
pilih kasih, karena ada elite politik lain yang sampai kini belum dijemput.
Tertangkap Tangan
Boleh jadi KPK
berpikiran, tindakan cepat dilakukan lantaran terkait dengan tertangkap
tangan. Ada empat kriteria tertangkap tangan (Pasal 1 butir-14 KUHAP).
Pertama, dilakukan pada saat sedang melakukan tindak pidana. Kedua, pelaku
ditemukan segera setelah beberapa saat tindak pidana dilakukan. Ketiga, pelaku
ditemukan sesaat kemudian karena diserukan oleh khalayak ramai bahwa dialah
pelakunya. Keempat, ditemukan sesaat kemudian benda yang digunakan
melakukan atau hasil dari tindak pidana yang dilakukannya.
Keistimewaan
tertangkap tangan menurut Pasal 18 ayat (2) KUHAP, penangkapan dan
penyitaan hasil kejahatan boleh dilakukan tanpa surat perintah penangkapan.
Bahkan, bisa dilakukan oleh siapa saja yang melihatnya, tetapi setelah
penangkapan harus segera menyerahkannya kepada penyidik, atau penyidik
pembantu terdekat.
Langkah cepat
KPK tentu sudah dipertimbangkan matang, paling tidak agar alat bukti atau
barang bukti terkait kasus tidak raib. KPK menjerat dua tersangka dengan
Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999
tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 13 UU Nomor 31/1999.
Kedua pasal
tersebut melarang bagi seseorang menjanjikan atau memberi sesuatu atau
hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya
yang diberi berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya,...atau wewenang yang melekat pada jabatan
atau kedudukannya. Sedangkan terhadap Luthfi dan Fathanah, KPK menerapkan
Pasal 12 huruf a dan huruf b, Pasal 5 ayat (2), juncto Pasal 11 UU Nomor
20/2001.
Ketiga pasal
ini pada intinya melarang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima
hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga pemberian itu untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya. Pasal ini selalu diterapkan KPK
terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang diduga menerima
suap.
Resep Mujarab
Langkah cepat
KPK bisa dijadikan sebagai salah satu resep mujarab untuk mengurai
kompleksitas meluasnya praktik korupsi di negeri ini.KPK ingin mencoba
melepaskan diri dari kritikan bahwa pemberantasan korupsi tak lebih dari
sekadar wacana lantaran banyaknya kasus korupsi yang tidak sampai ke ruang
pengadilan.
Resep lain yang
berkembang di ruang publik, adalah pentingnya hukuman minimal lima tahun, hukuman
mati, pembuktian terbalik, hingga pemiskinan koruptor. Jika aspirasi yang
berkembang di masyarakat tidak disambut oleh pembuat undangundang dengan
memperkuat pemberantasan korupsi, perang terhadap korupsi tidak akan pernah
kita menangkan. Realitas yang terjadi, ibarat mati satu tumbuh seribu
lantaran tidak memiliki efek penjeraan.
Indikatornya
dapat dilihat pada catatan Indonesia
Corruption Watch (ICW), pada
semester pertama 2012, terjadi 285 kasus korupsi dengan 597 tersangka dan
kerugian Rp1,22 triliun. Jumlah itu meningkat pada semester berikutnya
sebesar 436 kasus, dengan rincian 1.053 tersangka dan kerugian Rp2,1
triliun. Mustahil peningkatan kasus korupsi bisa dituntaskan jika tidak ada
resep mujarab, apalagi jika penegakan hukum berorientasi pada kekuasaan dan
jauh dari substansi keadilan.
Dapat dilihat
pada wacana yang justru dikembangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
dalam pidato memperingati Hari Antikorupsi dan HAM sedunia di Istana Negara
akhir tahun lalu, bahwa pejabat yang terjerat korupsi karena ketidakpahaman
bahwa yang dilakukannya korupsi, maka negara wajib memberikan perlindungan.
Termasuk memberikan hak-hak istimewa saat proses hukum, seperti hukuman
ringan dan saat menjalani hukuman diberi fasilitas ruang tahanan layaknya
hotel berbintang, bahkan diberi remisi.
Kondisi itu
tidak akan membuat koruptor jera, malah calon koruptor yang antre di
berbagai instansi tidak akan takut mewujudkan niatnya. Bagi anggota
parlemen seharusnya jadi panutan selaku pembuat hukum dan pengawas
pelaksanaan undang-undang. Para terdakwa korupsi harus dibebani membuktikan
harta yang dimiliknya diperoleh secara halal, termasuk upaya pemiskinan koruptor.
Tetapi resep
mujarab ini terkesan pemanis dan retorika untuk sekadar menyenangkan hati. Penegak
hukum tidak boleh hanya jadi terompet undang-undang, sebab ketentuan dalam
undang-undang punya semangat dan nilai-nilai substansial yang harus
digerakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar