KIAI muda itu bicara berapi-api di depan para tamu
undangan. Ia menegaskan pendiriannya bahwa pondok pesantren sudah saatnya
menjadi benteng gerakan antikorupsi. Dia sangat prihatin dengan makin
banyaknya tokoh agama dan bekas santri yang dibui karena korupsi.
’’Apa yang
salah dengan pesantren, mangga dibuka saja. Kalau harus dirombak sistem
pendidikannya, kita rombak. Pokoknya, kami siap mengubah sistem pesantren
ini agar mampu melahirkan santri-santri yang bersih,’’ katanya.
Para undangan, antara lain Ketua Mahkamah Konstitusi
Mahfud MD, anggota Komisi Yudisial Dr Taufiqurrahman Sahuri, anggota Komisi
III DPR Khotibul Umam Wiranu, dan sejumlah wartawan manggut-manggut. Ya,
Kiai Akomadien Shofa, salah satu pengasuh Ponpes Al Hikmah, Benda,
Sirampog, Brebes, hari itu sangat bersemangat menyampaikan isi hatinya.
Keprihatinan dia memang beralasan. Korupsi ibarat
kanker yang sudah merambah ke organ-organ tubuh terdalam. Sejumlah tokoh
agama atau figur yang selama ini menjadi anutan masyarakat tidak luput dari
jerat hukum. Sebut misalnya, Said Agil Husin Al Munawar, mantan menteri
agama yang divonis 5 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
pada 2006 dalam kasus dana abadi umat (DAU).
Pada tahun dan kasus yang sama, Taufik Kamil, Dirjen
Bimas Islam dan Urusan Haji, juga divonis 4 tahun. Belakangan beberapa
tokoh agama ditetapkan sebagai tersangka. Anggota Badan Anggaran DPR
Zulkarnaen Djabbar dan pejabat Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama Ahmad
Jauhari menjadi tersangka kasus pengadaan Alquran.
Tidak Efektif
Insiden terakhir yang mengejutkan adalah penangkapan
Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
dalam kasus suap kuota impor daging sapi. Sejak itu, istilah raasyi (penyuap) dan murtasyi (penerima suap) menjadi
terkenal. Dua kata itu adalah istilah dalam hadis Nabi riwayat Bukhori dan
Muslim. Bunyi hadis itu, ’’Allah
melaknat al-raasyi (pemberi suap) dan al-murtasyi (penerima suap)’’.
Para tokoh agama sangat tahu hukum haramnya suap (risywah). Menurut Al Mula Ali
al-Qari (Al Mirqah Syarhul Misykat:
11/390), risywah adalah
sesuatu yang diberikan untuk menggagalkan perkara yang benar atau
mewujudkan perkara yang batil.
Pertanyaannya, mengapa sesuatu yang sudah diketahui
hukumnya masih juga dilanggar?
Diskusi bertemakan agama dan korupsi sudah banyak
digelar. Kesimpulannya, agama tidak cukup efektif dalam pemberantasan
korupsi. Agama tidak bisa berdiri sendiri melawan korupsi, ia harus
ditopang oleh elemen lain. Elemen itu antara lain penegakan hukum, political
will dari negara, strategi, pengawasan publik, dan kontrol dari pers.
Sejauh ini, pemberantasan korupsi di Indonesia baru
diimbangi oleh kontrol kuat dari pers. Penegakan hukum, kemauan politik,
strategi, dan pengawasan publik masih lemah. Penegakan hukum masih
amburadul dan cenderung tebang pilih. Kepercayaan masyarakat kepada para
penegak hukum sangat rendah, tecermin dari pelesetan ’’HAKIM’’ sebagai
’’Hubungi Aku Kalau Ingin Menang’’ dan ’’JAKSA’’ menjadi ’’Jika Akan Kalah
Suap Aku’’.
Kemauan politik mulai tumbuh dengan penjeratan KPK atas
menteri dan pimpinan parpol. Meski belum simultan dan merata, gejala
positif ini patut diapresiasi. Berikutnya, KPK perlu mencoba strategi yang
diterapkan KPK-nya Hong Kong (Independent
Commission Against Corruption - ICAC) yang terbukti mampu memberantas
korupsi dan budaya korupsi di Negeri Triad itu hanya dalam tempo tiga
tahun.
Budaya
Korupsi
Salah satu strategi ICAC yang mampu mengubah Hong Kong
dari negeri yang polisinya sangat korup menjadi negara yang relatif bersih,
yaitu dengan menangkap penerima suap tanpa melihat jumlah uangnya. Rumah
sakit di negeri itu yang semula korup menjadi bebas suap, setelah ICAC
melakukan shock therapy dengan menahan para perawat yang ketangkap basah
menerima suap kecil-kecilan.
Langkah ICAC berhasil meyakinkan masyarakat bahwa
lembaga itu tidak pandang bulu dalam memberantas korupsi. Siapa pun yang
memberi dan menerima suap, meski jumlahnya hanya satu dolar Hong Kong, akan
ditangkap. Strategi ini berhasil menghapus budaya korupsi di masyarakat.
Di Indonesia, masyarakat akhirnya bersikap toleran
terhadap suap karena tidak ada tindakan hukum. Dari aneka pelayanan publik
sampai mendaftar berbagai pekerjaan dan profesi, selalu disertai suap. Hal
ini kemudian menjadi kebiasaan masyarakat dan seolah-olah dianggap wajar.
Itulah sebabnya moral agama tidak berdaya mengontrol
tindakan individu. Hasil survei Riaz Hassan dari Flinders University
Australia (Salahuddin Wahid, 2011) menyebutkan, 96 persen umat Islam
Indonesia mengerjakan shalat dan 99 persen berpuasa. Artinya, sebagian
besar koruptor di negeri ini rajin shalat dan puasa.
Pesantren bisa berperan dalam gerakan antikorupsi
melalui pendidikan serta pembudayaan santri dan lingkungan pesantren.
Pelajaran fikih mungkin perlu lebih ditekankan ke fikih sosial, tasawuf
melandasi spiritualisme ibadah, dan para kiai memberi keteladanan.
Namun, peran pesantren hanya sebatas pencegahan
korupsi. Penindakan dan pemberantasan korupsi tetap menjadi kewenangan
penegak hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar