TANGGAL
13 Februari 2013 tinggal bilangan hari. Saat itu, Federation of International Football Association (FIFA)
menggelar sidang Komite Eksekutif membahas problem yang dihadapi para
anggota, termasuk Persatuan Sepakbola Indonesia Seluruh (PSSI) yang sedang
berkonflik dengan Komisi Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI). Bila sampai
tanggal itu PSSI tak berhasil menyelesaikan konfliknya dengan KPSI maka
FIFA menjatuhkan banned atau sanksi. Quo vadis PSSI?
Ya, mau di bawa
ke mana PSSI ketika semangat tiji
tibeh, mati siji mati kabeh (mati
satu mati semua) menjangkiti pengurus PSSI dan KPSI. Tak peduli dengan
nasib pemain dan sepak bola Indonesia, mereka terus berseteru. Selain FIFA,
Menpora Roy Suryo pun mengancam membubarkan PSSI dan KPSI.
Ancaman banned dari FIFA bukan kali ini
saja. Semenjak PSSI dipimpin Nurdin Halid ancaman itu ada, namun diurungkan
dan FIFA lebih memilih membentuk Komite Normalisasi PSSI yang diketuai Agum
Gumelar pada 30 Mei 2011, dan penulis menjadi salah satu anggota, untuk menyelenggarakan
kongres luar biasa (KLB) 9 Juli 2011 di Solo, setelah dua kali PSSI gagal
menggelar kongres. Lahirlah kepengurusan PSSI baru yang diketuai Djohar
Arifin Husin, menggantikan Nurdin.
Tapi pengurus
baru itu tidak bisa mengakomodasi kepentingan kubu-kubu yang selama ini
berseteru maka perseteruan pun kembali terjadi, dan pada Desember 2011
terbentuklah KPSI. Setelah kedua kubu menyelenggarakan KLB masing-masing,
muncullah dualisme, antara PSSI dan KPSI yang sama-sama mengklaim institusi
yang sah. Sistem kompetisi pun terdikotomi ke dalam Liga Super Indonesia
(LSI), warisan kubu Nurdin, dan Liga Primer Indonesia (LPI) yang diakui
PSSI sebagai sistem kompetisi resmi.
Dualisme
pengurus dan sistem kompetisi berlanjut, FIFA pun kembali mengultimatum
menjatuhkan sanksi bagi PSSI pada Desember 2012, namun urung dan FIFA
memperpanjang tenggat sampai 13 Februari 2013. Akankah FIFA benar-benar
mem-banned PSSI?
Kepentingan Politik
Kita tidak
yakin karena kedua kubu di persepakbolaan nasional itu sama-sama pelobi
ulung, entah dengan atau tanpa aroma uang sehingga terbukti FIFA selalu
urung menjatuhkan sanksi. Padahal, publik berpendapat lebih baik PSSI
dikenai sanksi.
Senin (14/1),
Roy menyatakan hanya ada dua opsi menyelesaikan konflik PSSI dan KPSI, yakni
pilih salah satu atau tidak kedua-duanya. Roy menyederhanakan persoalan
dengan menyinyalir, perseteruan itu terjadi antara kubu Nirwan Bakrie dan
Arifin Panigoro. Bila ini benar-benar terjadi maka tidak berlebihan bila
kita menengarai bahwa konflik di PSSI tidak terlepas, bahkan bisa jadi
merupakan buntut, dari perseteruan antara Aburizal Bakrie dan Arifin
Panigoro dalam kasus semburan lumpur PT Lapindo Brantas di Sidoarjo Jatim,
dan sebelumnya dua tokoh itu berkongsi.
Bila kita runut
ke belakang, kerusakan di tubuh PSSI terjadi karena kepentingan partai
politik masuk ke dalamnya, dan itu mulai terjadi pada 1993 dengan
keterpilihan Nurdin sebagai ketua umum yang prosesnya diwarnai politik
uang. Sejak itu, kepentingan politik dan uang selalu merasuki tiap agenda
PSSI, termasuk dalam kompetisi. Kerusakan PSSI bertambah parah ketika kedua
kubu, PSSI dan KPSI, tak bisa didamaikan lagi.
Akankah Menpora
membekukan atau bahkan membubarkan PSSI? Itu tak mungkin. Tapi melihat
konflik berkepanjangan itu kita seperti melihat semangat tiji tibeh. Para
pemimpin kedua entitas itu barangkali berharap bila lembaganya dibubarkan,
lembaga lawannya juga dibubarkan. Ini ibarat anak-anak berebut
layang-layang putus. Ketika seorang anak mendapatkan layang-layang itu kemudian
cepat direbut oleh anak lain, supaya tak seorang pun mendapatkannya,
layang-layang itu pun dirobek.
Melihat konflik
di PSSI, kita juga teringat legenda Ajisaka dari Kerajaan Madang Kamulan
yang memerintah seorang pembantunya, Dora, menjaga pusaka di rumah,
namun di tengah perjalanan, pembantu lainnya, Sembada, diutus mengambil
pusaka itu. Karena Dora dan Sembada masing-masing merasa paling berhak
mendapat titah dari sang tuan, keduanya pun bertarung dan akhirnya sampyuh
(mati semua). Kisah ini tergambar jelas dalam abjad aksara Jawa, pa dha ja ya nya (sama-sama
digdaya), namun akhirnya ma ga ba tha
nga (menjadi bangkai atau mati
semua).
Perseteruan di
PSSI juga mengingatkan kita akan kisah Ken Arok pada abad ke-12 yang
membunuh Raja Singosari Tunggul Ametung demi merebut tahta dan permaisuri,
Ken Dedes, dengan keris Mpu Gandring. Mpu Gandring lebih dulu dibunuh Ken
Arok dengan keris yang dibuatnya itu, dan sebelum ajal menjemput, Mpu
Gandring mengutuk Ken Arok bahwa keris itu akan merenggut korban hingga
tujuh turunan, termasuk Ken Arok sendiri, dan kutukan itu terbukti.
Sepanjang
semangat tiji tibeh dan balas
dendam ala Ken Arok tetap menyelimuti jiwa para pengurus PSSI dan KPSI,
terus bergejolak, jangan berharap konflik selesai. Kudeta akan melahirkan
kudeta baru. Karena itu, FIFA harus benar-benar bijak dan tepat
menyelesaikan konflik. Jalan terakhir, FIFA harus menjatuhkan suspended atau pembekuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar