Kamis, 21 Februari 2013

Menguji Tuah Politik Yudhoyono


Menguji Tuah Politik Yudhoyono
Abdul Hakim MS Direktur Eksekutif Skala Survei Indonesia (SSI)
DETIKNEWS, 20 Februari 2013


Gonjang-ganjing di tubuh Partai Demokrat (PD) berada di titik didih. Sejak adanya rumor pembelahan faksi pasca kongres II, partai ini terus bergolak. Gaduh pun semakin menjadi kala Saiful Mujani Research & Consultant (SMRC) mengeluarkan hasil sigi yang memprediksi tingkat elektabilitas PD menukik tajam, yakni dari 20,8 persen hasil Pemilu 2009 menjadi hanya tinggal 8 persen pada survei SMRC pada Desember 2012.

Melihat kondisi ini, Ketua Dewan Pembina yang sekaligus juga Ketua Majelis Tinggi PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), gerah. Ia memandang, partai yang ia besut satu dasa warsa silam ini perlu diselamatkan. Itu sebabnya, pada 8 Februari 2013 lalu, menantu Sarwo Edhie Wibowo ini mengeluarkan “delapan jurus ampuh” sebagai usaha untuk mengeluarkan PD dari kemelut berkepanjangan.

Secara garis besar, delapan jurus ini bisa dirangkum dalam tiga hal. Pertama, upaya penyelamatan PD langsung akan dipimpin oleh Ketua Majelis Tinggi PD, yakni SBY. Itu sebabnya, semua hirarki yang ada di tubuh partai berlambang Mercy ini wajib bertanggung jawab langsung kepada Majelis Tinggi. 

Kedua, Ketua Umum PD, Anas Urbaningrum, diminta untuk concern menghadapi dugaan kasus korupsi yang sedang membelit dirinya. Ketiga, adanya kewajiban bagi seluruh elemen PD untuk menandatangani pakta integritas. Jika menolak, SBY mempersilakan yang bersangkutan untuk angkat kaki dari partai berlambang bintang bersudut tiga ini. Pertanyaannya, ampuhkah jurus ini untuk mengembalikan posisi Demokrat seperti saat pemilu 2009 yang memiliki citra cukup baik di mata pemilih?

Bulan-bulanan Media

Sejatinya, prahara yang menimpa PD memang tak bisa dilepaskan dari posisi Anas Urbaningrum yang sudah kadung “divonis media” tersangkut masalah hukum. Sejak M Nazaruddin tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada April 2011 silam, Anas terus saja dikait-kaitkan dengan kasus korupsi yang merundung mantan Bendahara Umum PD ini. Dalam berbagai kesempatan, Nazaruddin selalu menuduh bahwa Anaslah yang menjadi dalang dari beberapa kasus korupsi yang tengah menjerat dirinya.

Namun di sisi yang lain, KPK ternyata tak kunjung bisa membuktikan tuduhan Nazaruddin. Hingga dua tahun dugaan kasus korupsi ini berjalan, lembaga antirasuah tetap saja memposisikan Anas hanya sebatas saksi. Tak pelak, selama kurun waktu itu pula, Anas selalu menjadi “bulan-bulanan” media massa.

Pada saat yang bersamaan, rumor bahwa Anas Urbaningrum “bersitegang” dengan SBY juga terus menyeruak ke hadapan publik. Dugaan perseteruan dua petinggi PD ini kerap menjadi bahan menarik yang terus diulas tanpa henti, baik oleh media massa maupun media jejaring sosial. Isu-isu panas ini masih ditambah lagi dengan gunjingan surat kabar bahwa proses konsolidasi internal Demokrat pasca kongres 2010 silam berlum juga tertata baik. Adanya kabar “pembagian kubu” peninggalan kelompok-kelompok kongres, menyebabkan DPP PD kerap bergemuruh. 

Naasnya, dalam menghadapi berbagai “vonis media” ini, Anas Urbaningrum justru terkesan membiarkan. Hanya sesekali saja ia muncul ke publik untuk memberikan klarifikasi. Namun apa mau dikata, di tengah jarangnya Anas memberikan klarifikasi, ketika ia muncul, pernyataan yang dikeluarkan malah membuat media semakin bersemangat untuk menurunkan analisis tentang dirinya dan Demokrat. Seperti kala Anas mengklarifikasi bahwa dirinya tak tersangkut kasus Hambalang, ia mengeluarkan statement provokatif “satu rupiah pun Anas korupsi Hambalang, gantung Anas di Monas”.

Tentu pernyataan seperti ini tak akan meredakan situasi. Sebaliknya, pernyataan ini akan menimbulkan polemik lebih panjang di media massa karena sangat bertentangan dengan apa yang dikemukakan oleh Nazaruddin. Sebagaimana diketahui, Nazaruddin kerap bisa merinci detail keterlibatan Anas dalam kasus-kasus yang dituduhkannya, meski kebenarannya masih perlu dipertanyakan dan dibuktikan. 

Menguji Tuah SBY

Jika selama ini SBY juga lebih banyak diam terkait prahara yang menimpa partainya, tak demikian halnya dengan beberapa waktu lalu. Kondisi yang ia pandang sudah sangat mengkhawatirkan, memaksanya terjun langsung untuk melakukan langkah penyelamatan. Tak tanggung-tanggung, SBY menggunakan power-nya di Partai Demokrat dengan cara mengambil alih semua kewenangan melalui delapan jurus penyelamatan seperti sudah disinggung di atas. Pertanyaannya, bisakah delapan jurus tersebut menjadi pijakan rebound PD untuk memperbaiki citranya kembali?

Hemat saya, langkah SBY dengan mengeluarkan delapan jurus ini bak pedang bermata ganda. Di satu sisi, secara internal, saya yakin delapan jurus ini bakal mampu “memaksa” penyatuan kembali faksi-faksi di tubuh Partai Demokrat yang sempat berserakan. Karena “ancaman” SBY sangat jelas, bagi mereka yang tak suka dan tak mau mengikuti langkah-langkah penyematan, dipersilakan untuk hengkang dari partai ini.

Namun di sisi yang lain, delapan jurus ini juga seperti memperlihatkan sosok SBY dalam versi yang lain. Dengan menggunakan pendekatan power dalam mengambil keputusan, SBY terkesan sebagai pemimpin yang otoriter. Padahal selama ini, kebiasaan suami Kristiani Herawati dalam mengambil kebijakan cenderung akomodatif terhadap berbagai kepentingan. 

Meski demikian, mungkin saja SBY sudah memiliki kalkulasi lain sehingga ia harus menggunakan pendekatan power dalam menyelesaiakan silang-sengkarut yang terjadi di Partai Demokrat. Merujuk pengalaman, SBY merupakan “the special one” yang selalu bisa mengangkat Demokrat dari keterpurukan, sebagaimana yang pernah terjadi pada tahun 2003 dan 2008 silam. 

Pada tahun 2003, upaya SBY mencalonkan diri sebagai presiden kala itu masih dipandang sebelah mata oleh semua kalangan. Ia masih kalah moncer dibandingkan Megawati Soekarnoputri. Namun pada awal 2004, SBY sudah bisa menempatkan dirinya di atas Megawati yang kemudian mengantarkannya memenangi pilpres, meski harus melalui dua putaran.

Pada 2008, SBY dan Demokrat juga pernah mengalami tingkat elektabilitas di titik nadir sebagai dampak menaikkan harga BBM. Namun dalam tempo waktu tiga bulan, SBY sudah berhasil melakukan recovery dengan tingkat elektabilits di atas 70 persen berdasarkan hasil survei Indo Barometer ketika itu. Bahkan menjelang Pemilu 2009, tingkat elektabilitas SBY bisa menembus angka 80 persen sehingga berhasil mengantarkan dirinya dan Partai Demokrat memenangi Pileg dan Pilpres tahun itu.

Saat ini, kondisi serupa juga terjadi lagi. Posisi Demokrat berada di ujung tanduk. SBY juga sudah mengambil langkah penyelamatan berupa delapan jurus di atas. Yang menarik kita tunggu adalah apakah jurus ini betul-betul bisa membawa Partai Demokrat kembali pada posisi semula? Masihkah tangan SBY bertuah untuk Demokrat yang selalu berhasil ia selamatkan. Jawabannya tentu kita harus menunggu hasil Pileg 2014 nanti. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar