|
REPUBLIKA,
31 Januari 2013
Cukup menarik tulisan
bapak Aribowo, dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga, yang penuh
kegusaran mencerca keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah membatalkan
RSBI (Republika, 26-01-2013). Andai saja Bapak Aribowo mau meluangkan sedikit
waktu untuk menganalisis rangkaian normatif yang diamanatkan UUD 1945, UU No
24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK), UU No 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), serta UU No 14 Tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, niscaya bapak Aribowo akan akan lebih arif dalam menghakimi
putusan hakim MK.
Analog kaki kanan dan kiri yang bapak Aribowo kemukakan dalam penggambaran
keputusan MK, bagi saya, justru merupakan penyodoran siluet yang dipaksakan
untuk diterima dan dilihat sebagai gambar utuh 3D. Maaf, saya lebih memilih
untuk menggunakan logika sederhana sebagai orang tua peserta didik.
Logika saya, sebelum
melahirkan kebijakan dan pelaksanaan program RSBI yang secara garis besar
sangat di sepakati Bapak Aribowo sebagai program peningkatan mutu, seharusnya
pemerintah menjalankan dahulu apa yang sudah diamanatkan oleh undang-undang
terkait mutu pendidikan. Dalam tataran normatif, pemerintah sendiri yang
mensyaratkan suatu SBI, di antaranya harus memiliki lahan sekurang-kurangnya
5 (lima) hektare, sarana dan prasarana laboratorium bahasa, IPA-IPS,
komputer, olahraga, dan perpustakaan bertaraf internasional.
Begitu pun SDM
pendidik sekurang-kurangnya strata 2 dan skor TOEFL 500.
Dalam tataran konkret, jelas persyaratan itu jauh panggang dari api. Karena itu, tidak heran kalau dalam proses kembang biak RSBI periode 2006-2012 yang telah beranak pinak hingga lebih dari 1.350 RSBI di seluruh Indonesia, hingga saat ajal menjemputnya tidak ada satu pun RSBI yang berubah statusnya menjadi SBI sebagaimana keterangan ahli pihak pemerintah sendiri.
Andai pemerintah
konsekuen mau melaksanakan amanat UUD 1945 dan putusan MK terdahulu yang
mengamanatkan minimal 20 persen APBN dialokasikan untuk pendidikan di luar
gaji guru dan pendidikan kedinasan, akan teralokasi dana untuk pendidikan
sekitar Rp 240 triliun per tahun berjalan.
Bayangkan, dengan dana sebesar ini, model pendidikan bermutu macam apa pun
yang akan ditempuh pemerintah tidak akan membebani masyarakat.
Negara-negara dengan pendidikan bermutu maju yang dicontohkan Bapak Aribowo, seperti Malaysia dan Brunei, bukan semata-mata karena mempergunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar. Namun, lebih karena mereka konsekuen untuk mengalokasikan dana maksimal untuk menyediakan sarana dan prasarana pendidikan bertaraf internasional. Bukankah di belahan benua Afrika banyak negara yang menggunakan bahasa Inggris dan Prancis sebagai pengantar, tetapi memiliki mutu pendidikan di bawah Indonesia?
Contoh kasuistik Amien
Rais, Mohammad Hatta dan BJ Habibie yang diusung Bapak Aribowo sebagai
indikasi jati diri anak bangsa yang tak tergerus nasionalismenya meski lama
di negeri rantau, justru menunjukkan bahwa mereka adalah produk sistem
pendidikan kita yang sudah teruji kualitasnya, yang notabene bukan produk
pendidikan RSBI. Bahkan, warga negara Indonesia yang berhasil menembus
perguruan tinggi di luar negeri dan bertahan dalam persaingan global untuk
beragam profesi, juga bermodal kualitas pendidikan kita sendiri.
Kita sudah memiliki Ki
Hadjar Dewantoro dengan Taman Siswa, Budi Utomo, dan Muhammadiyah yang telah
meletakkan dasar-dasar pendidikan nasional yang menjadi benih jati diri
nasionalisme Amien Rais, Mohammad Hatta, dan BJ Habibie untuk tidak tergerus
nasionalismenya dalam perantauan menangguk ilmu di negeri orang.
MK menimbang,
mengadili, dan memutus perkara tidak mengedepankan emosi dan sikap mentang-mentang
memiliki kekuasaan. Justru, saya melihat bahwa opini dan hasrat yang diikhtiarkan
Mendikbud untuk melobi MK sebagai bentuk sikap sangat naif. Bagaimana
bisa sosok mendikbud yang sangat berpendidikan, tahu hukum, dan kerap
mendengungkan pendidikan berkarakter, berupaya memelintir suatu keputusan
hukum yang sudah final dan mengikat?
Dalam beberapa kesempatan di media massa, mendikbud dan segenap jajarannya
hingga ke hilir di berbagai daerah, bahkan hingga di sekolah anak saya yang
eks RSBI, menyatakan bahwa tidak masalah RSBI dihapuskan. Namun, secara
eksplisit meminta tetap diperkenankan untuk mengambil pungutan dari
masyarakat pada sekolah eks RSBI hingga akhir tahun ajaran 2012-2013.
Salahkah jika
masyarakat yang sudah tercerahkan dengan putusan MK yang telah melihat
indikasi tergerusnya jati diri bangsa dan indikasi komersialisasi pendidikan,
menilai bahwa sesungguhnya kita tidak `butuh-butuh amat' RSBI.
Kemungkinan besar yang hendak dicapai dengan keberadaan RSBI adalah kebolehan
untuk memungut dana pendidikan dari masyarakat untuk menomboki dana
pendidikan dalam APBN.
Cukup sudah selama
2006-2012, banyak dana masyarakat ditangguk dalam hiruk pikuk pro-kontra RSBI
yang ternyata inkonstitusional. Jangan lagi ada horor naif upaya pengerukan
dana masyarakat yang berlindung di balik jargon pendidikan bermutu yang semu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar