Sabtu, 16 Februari 2013

Negara dan Drama Partai


Negara dan Drama Partai
Syamsuddin Haris  Profesor Riset LIPI
KOMPAS, 16 Februari 2013


Selama dua pekan terakhir, kita terperangah melihat kesibukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengurus kemelut internal Partai Demokrat, partai yang mengantar beliau menjadi presiden untuk dua periode pemerintahan. Adakah yang salah?

Masih segar dalam memori publik pernyataan berulang-ulang Presiden SBY agar para menteri dari partai politik lebih fokus pada tugas, fungsi, dan tanggung jawab masing-masing, bukan mengurus partai. Peringatan yang benar dan tepat itu ironisnya dilangkahi sendiri oleh SBY. Ketika bangsa kita membutuhkan langkah cerdas dan terobosan presiden menyelamatkan negeri ini dari ancaman krisis pangan, krisis energi, dan aneka krisis lainnya, SBY justru sibuk ”menyelamatkan” partai yang ia dirikan.

Terlepas dari berbagai soal internal yang melanda Partai Demokrat, secara politik dan konstitusi SBY adalah Presiden Republik Indonesia, bukan presiden dari sebuah partai yang memenangi pemilihan umum. Rakyat yang memilih SBY dalam pemilu yang lalu berhak menolak dan mempersoalkan jika sebagian waktu kepala negara dan kepala pemerintahan terpilih tersebut tersita untuk urusan badai internal Demokrat.

Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha bisa saja mengatakan, SBY menggunakan hari libur di kediamannya di Puri Cikeas. Namun, semestinya hal itu tidak perlu didramatisasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah tidak ada urusan penting negara di luar soal kemelut internal Demokrat.

Sebagai tokoh sentral yang menduduki berbagai jabatan strategis di dalam partainya, SBY tentu berhak mengurus Demokrat. Juga, selaku pendiri partai, SBY boleh saja kecewa terhadap elektabilitas Demokrat yang terjun bebas pada tingkat 8,3 persen sebagaimana dikonfirmasi lembaga Saiful Mujani Research and Consulting. Namun, kekecewaan tersebut pertama-tama seharusnya ditumpahkan secara internal dan diselesaikan secara internal pula.

Problem Rangkap Jabatan

Barangkali di sinilah urgensi pelarangan rangkap jabatan bagi para pengurus teras parpol yang akhirnya terpilih ataupun diangkat dalam jabatan eksekutif, mulai dari presiden, wapres, para menteri, gubernur, serta bupati dan wali kota. Para pengurus parpol yang memangku jabatan publik di lembaga eksekutif semestinya mundur dari kepengurusan parpol. Rangkap jabatan hanya dimungkinkan bagi pengurus parpol yang meraih jabatan publik di lembaga legislatif.

Larangan rangkap jabatan bukan hanya diperlukan untuk menghindari munculnya konflik kepentingan, antara kepentingan partai dan publik, melainkan juga penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan tidak semata-mata terbatas pada korupsi dana publik (APBN dan APBD), tetapi mencakup pula pemanfaatan fasilitas negara, bahkan mungkin jam kerja yang seharusnya digunakan untuk mengabdi pada kepentingan umum.
Lebih luas lagi, pernyataan publik oleh pejabat publik di luar konteks kepentingan kolektif kita sebagai bangsa dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan.

Karena itu, menjadi penting bagi kita mengutip kembali pesan legendaris presiden pertama Filipina di bawah pendudukan Amerika, Manuel L Quezon (1878-1944), yang mengingatkan agar ”lo - yalitas terhadap partai berhenti ketika loyalitas terhadap negara dimulai”. Ungkapan terkenal yang kemudian dikutip dan diucapkan kembali Presiden Amerika Serikat John F Kennedy (1917-1963) itu menggarisbawahi perlunya komitmen kenegarawanan seorang pejabat publik. Di sini pula tampak perbedaan antara politisi dan negarawan. Seorang politisi hanya mengabdi untuk partainya, sedangkan negarawan menjadikan partai sekadar alat bagi pencapaian kemaslahatan bersama.

Dalam konteks negeri kita, peringatan serupa pernah dikemukakan Bung Hatta, wakil presiden pertama dan salah seorang Proklamator Bangsa. Buku kecil, Demokrasi Kita (1960), ditulisnya untuk mengkritik Bung Karno dan partai-partai politik periode 1950-an. Bung Hatta mengingatkan agar ”partai tidak menjadi tujuan (dan) negara menjadi alatnya”.

Bobot pesan Presiden Quezon dan peringatan Hatta terletak pada cara pandang bahwa politik semestinya bersifat luhur dan diorientasikan untuk kemaslahatan kehidupan kolektif. Dengan demikian, para pejabat publik yang memperoleh mandat politik melalui pemilu harus mentransformasikan diri dari sekadar seorang politisi menjadi negarawan.

Hal itu memang tidak mudah, tetapi merupakan suatu keniscayaan jika kita mendambakan terbangunnya sistem demokrasi yang sehat. Tanpa kemampuan transformatif demikian, kehidupan politik bangsa kita akan selamanya keruh dan polutif.

Kualitas Kenegarawanan

Komitmen Presiden SBY untuk membagi waktu dan mengurus Partai Demokrat di rumah serta di luar jam kantor tentu patut diapresiasi. Namun, akan jauh lebih elegan apabila penyelesaian urusan rumah tangga partai dilakukan tanpa riuh- rendah media, serta tidak mendistorsi mandat SBY sebagai Presiden. Persoalannya, kapan dan di mana pun, SBY adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, terlepas dari berbagai posisi strategis yang dimiliki beliau di internal Demokrat.

Itu artinya, sebagai Presiden, SBY dituntut dapat menahan diri agar tidak terlampau tenggelam dalam urusan internal partai sehingga tidak terkesan seolah- olah kisruh Demokrat sebagai kisruh negara. Juga, supaya fokus perhatian Presiden lebih tertuju pada penyelesaian aneka persoalan krusial bangsa kita yang menuntut tanggung jawab penuh SBY hingga 2014 mendatang.

Karena itu, adalah keliru jika muncul anggapan panggung ”drama” pengambil - alihan kepemimpinan Demokrat di Puri Cikeas sebagai keberhasilan SBY. Kualitas kenegarawanan SBY justru diuji dan dinilai langsung oleh publik ketika jenderal kelahiran Pacitan itu memimpin ”drama” penyelamatan Demokrat.

Pertanyaannya, mengapa Presiden SBY tidak hadir seintens dan sedramatis itu ketika negara dan pluralitas bangsa kita dicabik-cabik oleh tindak kekerasan dan anarki sektarian? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar