Selama dua pekan terakhir, kita terperangah melihat kesibukan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengurus kemelut internal Partai
Demokrat, partai yang mengantar beliau menjadi presiden untuk dua periode
pemerintahan. Adakah yang salah?
Masih segar dalam memori publik pernyataan berulang-ulang Presiden
SBY agar para menteri dari partai politik lebih fokus pada tugas, fungsi,
dan tanggung jawab masing-masing, bukan mengurus partai. Peringatan yang
benar dan tepat itu ironisnya dilangkahi sendiri oleh SBY. Ketika bangsa
kita membutuhkan langkah cerdas dan terobosan presiden menyelamatkan negeri
ini dari ancaman krisis pangan, krisis energi, dan aneka krisis lainnya,
SBY justru sibuk ”menyelamatkan” partai yang ia dirikan.
Terlepas dari berbagai soal internal yang melanda Partai Demokrat,
secara politik dan konstitusi SBY adalah Presiden Republik Indonesia, bukan
presiden dari sebuah partai yang memenangi pemilihan umum. Rakyat yang
memilih SBY dalam pemilu yang lalu berhak menolak dan mempersoalkan jika
sebagian waktu kepala negara dan kepala pemerintahan terpilih tersebut
tersita untuk urusan badai internal Demokrat.
Juru Bicara Kepresidenan Julian Aldrin Pasha bisa saja mengatakan,
SBY menggunakan hari libur di kediamannya di Puri Cikeas. Namun, semestinya
hal itu tidak perlu didramatisasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah
tidak ada urusan penting negara di luar soal kemelut internal Demokrat.
Sebagai tokoh sentral yang menduduki berbagai jabatan strategis di
dalam partainya, SBY tentu berhak mengurus Demokrat. Juga, selaku pendiri
partai, SBY boleh saja kecewa terhadap elektabilitas Demokrat yang terjun
bebas pada tingkat 8,3 persen sebagaimana dikonfirmasi lembaga Saiful
Mujani Research and Consulting. Namun, kekecewaan tersebut pertama-tama
seharusnya ditumpahkan secara internal dan diselesaikan secara internal
pula.
Problem Rangkap Jabatan
Barangkali di sinilah urgensi pelarangan rangkap jabatan bagi para
pengurus teras parpol yang akhirnya terpilih ataupun diangkat dalam jabatan
eksekutif, mulai dari presiden, wapres, para menteri, gubernur, serta
bupati dan wali kota. Para pengurus parpol yang memangku jabatan publik di
lembaga eksekutif semestinya mundur dari kepengurusan parpol. Rangkap
jabatan hanya dimungkinkan bagi pengurus parpol yang meraih jabatan publik
di lembaga legislatif.
Larangan rangkap jabatan bukan hanya diperlukan untuk menghindari
munculnya konflik kepentingan, antara kepentingan partai dan publik,
melainkan juga penyalahgunaan kekuasaan. Penyalahgunaan kekuasaan tidak
semata-mata terbatas pada korupsi dana publik (APBN dan APBD), tetapi
mencakup pula pemanfaatan fasilitas negara, bahkan mungkin jam kerja yang
seharusnya digunakan untuk mengabdi pada kepentingan umum.
Lebih luas lagi, pernyataan publik oleh pejabat publik di luar
konteks kepentingan kolektif kita sebagai bangsa dapat dikategorikan
sebagai penyalahgunaan kekuasaan.
Karena itu, menjadi penting bagi kita mengutip kembali pesan
legendaris presiden pertama Filipina di bawah pendudukan Amerika, Manuel L
Quezon (1878-1944), yang mengingatkan agar ”lo - yalitas terhadap partai
berhenti ketika loyalitas terhadap negara dimulai”. Ungkapan terkenal yang
kemudian dikutip dan diucapkan kembali Presiden Amerika Serikat John F
Kennedy (1917-1963) itu menggarisbawahi perlunya komitmen kenegarawanan
seorang pejabat publik. Di sini pula tampak perbedaan antara politisi dan
negarawan. Seorang politisi hanya mengabdi untuk partainya, sedangkan
negarawan menjadikan partai sekadar alat bagi pencapaian kemaslahatan
bersama.
Dalam konteks negeri kita, peringatan serupa pernah dikemukakan Bung
Hatta, wakil presiden pertama dan salah seorang Proklamator Bangsa. Buku
kecil, Demokrasi Kita (1960), ditulisnya untuk mengkritik Bung Karno dan
partai-partai politik periode 1950-an. Bung Hatta mengingatkan agar ”partai
tidak menjadi tujuan (dan) negara menjadi alatnya”.
Bobot pesan Presiden Quezon dan peringatan Hatta terletak pada cara
pandang bahwa politik semestinya bersifat luhur dan diorientasikan untuk
kemaslahatan kehidupan kolektif. Dengan demikian, para pejabat publik yang
memperoleh mandat politik melalui pemilu harus mentransformasikan diri dari
sekadar seorang politisi menjadi negarawan.
Hal itu memang tidak mudah, tetapi merupakan suatu keniscayaan jika
kita mendambakan terbangunnya sistem demokrasi yang sehat. Tanpa kemampuan
transformatif demikian, kehidupan politik bangsa kita akan selamanya keruh
dan polutif.
Kualitas Kenegarawanan
Komitmen Presiden SBY untuk membagi waktu dan mengurus Partai
Demokrat di rumah serta di luar jam kantor tentu patut diapresiasi. Namun,
akan jauh lebih elegan apabila penyelesaian urusan rumah tangga partai
dilakukan tanpa riuh- rendah media, serta tidak mendistorsi mandat SBY
sebagai Presiden. Persoalannya, kapan dan di mana pun, SBY adalah kepala
negara sekaligus kepala pemerintahan, terlepas dari berbagai posisi
strategis yang dimiliki beliau di internal Demokrat.
Itu artinya, sebagai Presiden, SBY dituntut dapat menahan diri agar
tidak terlampau tenggelam dalam urusan internal partai sehingga tidak
terkesan seolah- olah kisruh Demokrat sebagai kisruh negara. Juga, supaya
fokus perhatian Presiden lebih tertuju pada penyelesaian aneka persoalan
krusial bangsa kita yang menuntut tanggung jawab penuh SBY hingga 2014
mendatang.
Karena itu, adalah keliru jika muncul anggapan panggung ”drama”
pengambil - alihan kepemimpinan Demokrat di Puri Cikeas sebagai
keberhasilan SBY. Kualitas kenegarawanan SBY justru diuji dan dinilai
langsung oleh publik ketika jenderal kelahiran Pacitan itu memimpin ”drama” penyelamatan Demokrat.
Pertanyaannya, mengapa Presiden SBY tidak hadir seintens dan
sedramatis itu ketika negara dan pluralitas bangsa kita dicabik-cabik oleh
tindak kekerasan dan anarki sektarian? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar