Heboh suap impor sapi kepada Presiden
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak mengagetkan karena hal ini sudah
terendus pers sejak lama. Justru yang mengagetkan adalah kenapa dengan
publikasi yang sudah terjadi, gratifikasi tersebut masih saja berjalan
bahkan langsung dengan seorang presiden partai yang selama ini dicitrakan
bersih dan merupakan benteng terakhir. Okelah itu nasib partai yang
memerlukan dana besar menghadapi Pemilu 2014 yang tidak mungkin dipikul
dengan iuran anggota dan sumbangan sesuai perundangan.
Dengan
demikian, sudah semua partai tergulung arus korupsi dan tentu saja
menyebabkan ketidakpercayaan rakyat. Keadaan ini memerlukan koreksi
bersama, jika sistem yang dibangun menghancurkan moral bangsa dan
eksistensi sebagai bangsa beradab, maka harus dikoreksi bersama sama.
Sistem, juga ternyata tidak menghasilkan kualitas pemimpin negara dan
khususnya di daerah. Sambil menunggu koreksi dalam bidang politik,kita akan
bahas soal kerawanan sistem kuota.
Termasuk di
dalamnya kuota impor sapi dan kuota lain, misalnya kuota BBM. Semua sistem
kuota melahirkan korupsi dan pasar gelap. Kuota tidak lain adalah hak
monopoli yang berupa rezeki nomplok atau durian runtuh. Siapa saja tentu
mau mengeluarkan uang untuk memperoleh kuota atau hak monopoli karena merupakan
bisnis yang mudah dihitung tanpa risiko. Kuota selanjutnya bisa dilakukan
sendiri atau bisa dijual kepada pemasok lain. Kuota subsidi BBM misalnya,
dapat menjadi bisnis baru dengan jalan membeli BBM bersubsidi dan dijual
kepada atau dialihkan kepada pengguna lain.
Tentu bisa
dilakukan kampanye dengan pendekatan moral bahwa membeli BBM bersubsidi
hanyalah untuk orang tidak mampu. Akan tetapi, sistem yang berlubang adalah
kesalahan itu sendiri yang tidak cukup diatasi dengan himbauan. Prinsip
ekonomi adalah mencari yang paling menguntungkan atau profit maximization,
semua peluang tentu akan digunakan. Dengan demikian, mudah untuk dibaca
jika pihak swasta memperoleh hak kuota, tentu mudah diperhitungkan bagi
hasilnya dengan yang memberi hak tersebut. Kuota mungkin dibenarkan jika
yang memperoleh hak kuota adalah BUMN yang memenuhi asas transparan dan
dikontrol oleh perwakilan rakyat.
Negaralah yang
berhak memiliki monopoli jika sesuatu komoditi diregulasi atau dikuota.
Durian runtuh itu akan jatuh kembali ke tangan negara dan wajib dilaporkan
secara transparan dan harus tunduk dengan pemeriksaan BPK.
Peningkatan Konsumsi Daging Sapi
Perbaikan
ekonomi masyarakat ditandai dengan dua hal, yaitu menurunnya konsumsi
karbohidrat yang bersumber kepada padi-padian dan umbiumbian disertai
meningkatnya konsumsi protein yang bersumber kepada daging, ikan, telur,
dan susu serta meningkatnya konsumsi gula. Dari data Badan Pusat statistik,
terlihat selama sepuluh tahun terakhir kalori yang bersumber kepada padi-padian
dan umbi-umbian menurun konsisten sebesar 1,3% per tahun, daging meningkat
3,2% per tahun, dan ikan meningkat 1,4% per tahun.
Namun demikian,
komposisi kalori yang bersumber dari protein daging,susu,telur, dan ikan
masih rendah hanya sekitar 10%,sedang 90% masih bersumber pada karbohidrat.
Atau dengan kata lain, konsumsi protein meningkat lebih pesat karena belum
jenuh dan masih kecil, sedang konsumsi karbohidrat menurun landai karena
sudah jenuh. Hal ini menunjukkan bahwa di masa depan kebutuhan daging dan
khususnya sapi akan masih terus meningkat. Peningkatan itu bersumber tiga
hal; yaitu pertama, perbaikan atau pertumbuhan ekonomi khususnya kelompok
menengah dan menengah bawah yang membaik ekonominya dan belum jenuh
konsumsi proteinnya. Kedua, pertambahan penduduk yang masih tinggi yaitu
lebih dari 3 juta orang setiap tahun.
Dan ketiga,
perbaikan pendidikan mewakili perubahan budaya yang juga berkorelasi
positif terhadap perubahan pola konsumsi dari karbohidrat ke protein.
Kebutuhan daging yang meningkat, sementara pasokan dalam negeri walaupun
potensial cukup tetapi tidak optimal, menyebabkan kekurangan pasok yang
kemudian dipenuhi dengan kuota impor. Impor sapi diperkirakan sebesar
80.000 atau 14% dari total kebutuhan.
Apabila tidak
ada hambatan distribusi, misalnya tidak ada permainan dan penimbunan,
kenaikan harga daging sapi dalam negeri yang hampir dua kali lipat
dibanding harga di negara tetangga, menandakan adanya kelangkaan. Penyebab
kenaikan harga ini disebabkan oleh beberapa hal, dilihat dari sinyal harga
data pasok dalam negeri mungkin tidak valid. Jumlah populasi sapi yang
diperkirakan menyuplai kebutuhan dalam negeri sebenarnya lebih rendah. Atau
jumlah populasi benar, tetapi distribusi dari daerah pusat sapi di daerah
Indonesia bagian timur sebagai produsen sapi ke daerah Barat sebagai
konsumen utama terhambat.
Menuju Swasembada Sapi
Melihat potensi
Indonesia, sebenarnya mengherankan apabila negara ini mengimpor sapi baik
hidup (bakalan) dan dalam bentuk beku. Di luar NTT, kita bisa menengok
potensi Papua Barat dan Timur, terlihat tanah terbentang luas dengan
kepadatan penduduk yang masih sangat rendah. Tanah Papua juga mendapat
curah hujan yang cukup dengan rumput menghijau. Peternakan sapi di Papua
sangat dimungkinkan dengan cukup memberi pagar terhadap tanah yang ada dan
sapi cukup dilepas.
Sapi-sapi ini
akan tumbuh sehat dengan asupan yang alami. Namun demikian apa yang
terjadi, sementara kita kekurangan pasokan sapi pada saat yang sama tanah
dan rumput kita di Papua dibiarkan menganggur. Demikian juga tenaga
kerjanya juga dibiarkan menganggur. Fungsi produksi nasional sedang macet apabila
potensi sumber alam dan sumber daya manusia menganggur dengan kebutuhan
teknologi hampir seumur sejarah manusia itu sendiri, yaitu beternak.
Teknologi dasar
yang seluruh rakyat sudah mengetahui, lebih ditambah anakanak muda alumni
berbagai perguruan tinggi program studi pengolahan hasil pertanian. Apa
yang tidak ada atau yang kurang dari keadaan ini? Manajemen atau orang yang
bertugas merangkai sumber-sumber tersebut yang ternyata defisit. Beternak
sapi dengan sistem dilepas, cocok dengan budaya Papua, tugas SDM mungkin
hanya pada penangkapan dan penyembelihan. Infra-struktur yang perlu
dibangun adalah pemotongan hewan di pelabuhan dan kapal dengan cool storage, untuk membawanya ke
pasar-pasar seluruh Indonesia. Tidak mahal dan tidak sulit, dengan modal
0,1% APBN sebuah BUMN bisa merekrut anakanak muda untuk menjalankan bisnis
tersebut. Kebergantungan pada impor dan harga diri bangsa akan meningkat
disertai berkurangnya pengangguran kecukupan pasokan,dan membaiknya
kualitas pangan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar