Perhatian kita sedang tersita pada temuan
KPK akan indikasi suap terhadap Luthfi Hasan Ishaaq yang waktu itu menjabat
sebagai presiden Partai Keadilan Sejahtera serta kemungkinan keterlibatan
Menteri Pertanian Suswono yang kebetulan berasal dari partai politik yang
sama. Luthfi dan Suswono diindikasikan terlibat dalam pusaran impor daging
sapi yang sarat kongkalikong. Dugaan modusnya adalah perusahaan yang ingin
mendapatkan izin impor sengaja mendekat pada oknum ini agar diberikan jatah
kuota impor sekian ton. Sebagai imbalan disediakanlah komisi.
Jika berbagai
pihak menyoroti aspek kriminalitas dan penyalahgunaan wewenang dari kasus
itu, saya mengajak pembaca untuk melihat aspek pasar perdagangan liberal
dari hal itu. Kuota impor sesungguhnya termasuk praktik yang diharamkan
oleh organisasi pengatur perdagangan dunia World Trade Organization (WTO). Dalam beragam kerja sama
perdagangan internasional, apalagi yang bertajuk “perdagangan bebas” (free trade) mekanisme penerapan
kuota impor termasuk yang dihindari. Di antara negara-negara ASEAN pun
praktik penetapan kuota impor ini dilarang. Kuota impor adalah mekanisme
pembatasan kuantitas barang dari luar negeri yang akan dijual di dalam
negeri. Dalam teori mekanisme ini melindungi produsen produk tersebut
(misalnya petani atau peternak) di dalam negeri. Dengan membatasi jumlah
produk impor yang beredar di dalam negeri, harga beli dari produsen lokal
diharapkan bisa dijaga karena jumlah suplai barang tidak mengganggu
keseimbangan harga.
Untuk
kepentingan produsen atau rakyat di dalam negeri, sebuah negara melakukan
kebijakan proteksionis melalui kuota impor terhadap sebuah produk. Dalam
praktiknya, mekanisme kuota impor kurang disukai di dunia internasional
karena dianggap sebagai praktik diskriminasi bagi produk negara lain. Dikatakan
diskriminasi karena di hampir semua negara, penetapan kuota impor biasanya
bukan sekadar penetapan kuantitas barang, melainkan juga disertai dengan
serangkaian prasyarat kualitas barang.
Misalnya syarat agar produk impor memenuhi
syarat kesehatan, keselamatan, dan keamanan lingkungan hidup, dan agar
produk impor melalui tahapan karantina. Artinya, kualifikasi lolos dan
tidak suatu barang sangat bergantung pertimbangan pejabat negara yang
mengurus hal itu dan standarnya belum tentu dianggap adil oleh negara lain.
Penentuannya dianggap sepihak. Persoalan kuota impor ini memang sangat
problematik karena sejatinya tidak boleh ada double-standard kecuali diperbolehkan atas dasar
kondisi-kondisi tertentu yang biasanya sudah ditetapkan seperti bencana
alam, faktor iklim, dan faktor-faktor force
majoure lainnya.
Indonesia
sebagai negara yang menerima prinsip-prinsip pasar bebas, (dan sedang
mengajukan calon sebagai dirjen WTO), tentu harus konsisten dalam
merumuskan prinsip perdagangannya di tingkat internasional. Bila kita
termasuk yang menentang praktik kuota di tingkat internasional, tentu harus
dilakukan juga di dalam negeri. Sebaliknya, bila kita mendukung kuota, kita
juga harus mendukungnya di tingkat internasional. Meskipun dilarang, ada
saja negara yang menerapkan kebijakan ini dengan alihalih melindungi produk
yang sangat sensitif (alias menyangkut hajat hidup banyak produsen dan
pemberi kerja di negeri itu).
China
menerapkan kuota impor untuk produk pertaniannya, termasuk beras dan
biji-bijian. Kini Indonesia sedang diadukan Amerika Serikat (AS) ke WTO
karena mengurangi kuota impor daging sapi dari AS dalam jumlah yang sangat
signifikan. Idealnya, kuota impor hanya boleh dijadikan instrumen pengurang
impor jika dipadukan dengan instrumen penerapan tarif.
Misalnya saja
Filipina yang baru-baru ini melakukan negosiasi penambahan kuota impor
dengan sejumlah negara di ASEAN karena keputusannya untuk melindungi petani
beras dengan mempertahankan tarif impor yang tinggi selama lima tahun ke
depan. Jadi, tariflah yang melindungi petani lokal, sementara kuota dipakai
untuk menjamin agar petani di negara lain tidak kehilangan pasar. Dalam
perdagangan liberal sebenarnya sudah ada pemahaman bahwa tidak semua produk
bisa diperdagangkan secara bebas tanpa hambatan karena realitanya negara
perlu menomorsatukan perlindungan terhadap produsen lokal. Untuk itu,
instrumen yang diizinkan adalah tarif serta perpaduan antara tarif dan
kuota impor.
Tarif
memastikan bahwa produk impor tertentu akan kena bea sehingga barang lokal
diharapkan akan tetap lebih dicari konsumen. Di sisi lain, tarif diharapkan
dapat mendongkrak pemasukan pemerintah secara lebih terbuka. Kuota impor
tidak disarankan karena selain memicu protes (dan mematikan hajat hidup)
produsen di negara lain, kuota juga dapat mendorong penggelapan barang dan
praktik penyuapan. Di Indonesia kasus suap impor daging sapi mengungkap
kenyataan kita termasuk yang tidak konsisten dengan prinsip-prinsip
kesepakatan internasional. Kita memilih jalan pintas yang dikecam negara
lain,sekaligus merugikan konsumen di negeri sendiri.
Sejak tahun
lalu muncul Peraturan Menteri Pertanian Nomor 60/Permentan/ OT.140/9/2012
dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 60/2012 yang mencanangkan per
Januari 2013 sampai Juni 2013, ada 13 jenis holtikultura (kentang, kubis, wortel,
cabai, nanas, melon, pisang, mangga, pepaya, durian, bunga krisan, bunga
anggrek, dan bunga heliconia) dan daging sapi yang dibatasi impornya.
Alih-alih mendorong swasembada, mengurangi defisit neraca perdagangan, dan
mengurangi ketergantungan pada impor, justru kita bisa lihat sendiri bahwa
di lapangan justru harga barang-barang tersebut meroket sangat tinggi.
Harga sayur-mayur dan buah di pasar tradisional melonjak, sementara produk
lokal kualitasnya masih rendah dan terbatas. Sudah saatnya pemerintah dan
masyarakat Indonesia memahami bahwa produksi barang, apalagi produk
pangan,sangatlah seperti siklus. Jika ada satu komponen produksi yang
rusak, busuk, atau terlampau mahal, ujung-ujungnya konsumen juga yang
dirugikan.
Di Indonesia untaian produksi produk pangan masih jauh dari keterpaduan. Petani
harus berjuang sendiri dalam memilih dan memproduksi hasil pertanian yang
punya nilai jual tinggi.Bibit, lahan,pupuk,teknologi pertanian serta
perkebunan, infrastruktur (irigasi, jalan, pusat pengolahan dasar), bahkan
sistem logistik dari kebun sampai pasar harus diperjuangkan sendiri. Tak
heran, yang kemudian lebih berkembang adalah bisnis perdagangan. Karena
sistem pencatatan barang di Indonesia masih serba manual, ada banyak hal
yang akhirnya mudah dikembangkan menjadi kongkalikong. Apalagi, birokrasi
di Indonesia makin lihai saja menguangkan berbagai kebijakan pemerintah
menjadi proyek yang memperkaya diri sendiri.
Kasus kuota
sapi ini sebetulnya membuka atau melanggengkan praktik korupsi atas nama
rakyat. Dengan dalih melindungi konsumen dari harga yang tinggi dan
menciptakan keseimbangan harga, kuota impor dalam sistem governance yang lemah justru menjadi
sumber korupsi dan menguntungkan pihak-pihak tertentu. Keadilan berhenti di
tingkat elite dan tidak terdistribusi dan tidak bisa dinikmati oleh rakyat
dalam bentuk harga daging sapi yang murah. Ayolah kita berhenti membodohi
masyarakat dan diri sendiri.
Selama kerangka
pikir kita cuma terpaku pada kalkulasi aliran impor dan ekspor, apalagi
yang melanggengkan praktik kongkalikong, selama itupula kita akan terus
terpuruk. Pembatasan impor akan sia-sia bila tidak dibarengi dengan
peningkatan ekspor. Hajat hidup bangsa ini tidak semata bergantung pada
kecukupan pasokan barang, tetapi juga pada kemampuan bangsa ini untuk
berproduksi dan mengisi kekurangan produksi di negara-negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar